The Good Place merupakan serial televisi sitkom Amerika, dibintangi oleh aktor
kondang Ted Danson sebagai Michael, arsitek yang merancang surga, dan
Kristen Bell sebagai Eleanor Shellstrop. Kisah ini ditulis dan
diproduseri oleh Michael Schur, produser dan penulis dari serial televisi
The Office. The Good Place dapat ditonton di Netflix dari season 1-3,
padahal sebenarnya serial televisi ini sudah tamat sejak awal tahun ini di
season ke-5.
Sebelum melanjutkan, saya perlu memperingatkan, kalau akan ada banyak
spoiler dalam postingan ini. Sulit rasanya membahas analisa The Good
Place tanpa membocorkan plot-twist utama. Bagi yang belum menonton dan
tak ingin mendapat bocoran apa pun, silahkan minggir sejenak, kembali setelah
Anda sudah selesai menikmati sitkom super lucu ini.
The Good Place season pertama dimulai ketika Eleanor Shellstrop datang ke
kantor Michael yang memberitahunya kalau dia sudah mati dan sekarang berada di
surga, atau di alam baka disebut "The Good Place" tempat dimana orang-orang
yang baik selama hidupnya bisa tinggal dan bersenang-senang selama-lamanya.
Well, kita tahu lah ya, konsep surga itu bagaimana. Sayangnya, Eleanor
rupanya tidak seharusnya berada di Good Place, dia egois, curang, tidak ramah
sama sekali. Mau tak mau, supaya tidak dibawa ke Bad Place (alias neraka),
Eleanor berusaha menjadi orang baik, dia meminta tolong pada Chidi, seorang
profesor filosofi etik yang juga "belahan jiwa" Eleanor di Good
Place untuk mengajarinya jadi orang baik.
Di beberapa episode selanjutnya, Eleanor mengetahui kalau ternyata Jian-yu,
biksu yang bersumpah untuk diam, ternyata juga tidak seharusnya berada di Good
Place. Nama asli Jian-yu adalah Jason, dia tidak berasal dari Asia, dia
berasal dari Amerika, Jason pastinya bukan biksu, melainkan seorang
dancer dan DJ. Alhasil, Chidi tidak hanya mengajari Eleanor, tapi juga
Jason.
Perlahan namun pasti, Eleanor menyadari kalau The Good Place sebenarnya bukan
surga tetapi neraka, dan Michael bukan malaikat, tapi iblis yang merancang
neraka baru untuk menyiksa manusia dengan menggunakan manusia lain, secara
harafiah menggambarkan arti dari kata-kata filusuf, "hell is other people." Eleanor berusaha keras menyembunyikan tabiat aslinya, begitu pula dengan
Jason. Tak lama, Chidi pun tersiksa karena harus merubah Eleanor dan Jason
menjadi orang baik, sementara Tahani harus terus pencitraan supaya merasa
lebih baik tentang dirinya sendiri.
Konsep dari sitkom ini sungguh menarik dan menantang pertanyaan mengenai surga
dan neraka, demikian pula dengan kemampuan kita sebagai manusia untuk menjadi
versi yang terbaik dari diri kita masing-masing.
"Jangan jadi dirimu! Itu saran sesat. Jadilah versi terbaik dari dirimu!"
–
Eleanor pada Jason.
Neraka, kita kira adalah tempat, dimana jiwa-jiwa manusia akan disiksa
selamanya, tapi sebenarnya di The Good Place, neraka tak pernah diperlihatkan
secara eksplisit, justru neraka hanya diperlihatkan secara simbolis melalui
pergulatan karakter dengan masalah mereka; Eleanor dengan ketakutannya
kehilangan kesenangan; Tahani dengan rasa tak pernah menjadi nomor satu
walau pun sudah berusaha setengah mati; Chidi dengan ketakutannya
melakukan kesalahan dan overthinking; Jason dengan ketidak
mampuannya menilai kalau dirinya masih perlu banyak belajar. Jadi kalau saya
boleh menyimpulkan, sitkom ini berusaha memberitahu kita kalau neraka adalah
kita sendiri, bukan tempat yang akan kita datangi setelah kematian,
justru di kehidupan sekarang ini, kita bisa menciptakan neraka kita sendiri
melalui sikap dan cara berpikir yang salah.
Surga, walau pun terkesan sebagai tempat yang indah, namun kehidupan
yang isinya hanya kebahagiaan, lama-lama akan menjadi hampa. Lebih buruknya
lagi, kehampaan tersebut tidak akan berujung karena (menurut cerita) jiwa-jiwa
manusia akan menghabiskan waktu di surga selama-lamanya. Bayangkan,
senang-senang lalu merasakan kehampaan selama-lamanya, apa bedanya dengan
neraka? Michael menyelesaikan masalah surga dengan menciptakan pintu yang bisa
dimasuki oleh siapa saja yang sudah puas bersenang-senang di surga, sehingga
mereka tak perlu merasa hampa selama-lamanya. Mengetahui akan ada "akhir" dari
semua kesenangan yang kita alami, membuat kita lebih menghargai kesenangan
yang ada dan yang akan datang.
“The problem is, if all you care about in the world is the velvet rope, you
will always be unhappy, no matter which side you're on.”
– Tahani
Al-Jamil
Pada akhirnya, Eleanor, Chidi, Jason, Tahani, bahkan Michael, berhasil masuk
ke surga.
Mereka berhasil karena mereka bersatu, mereka belajar dari satu sama lain
untuk bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka di masa lalu.
Kelebihan masing-tiap karakter, menyumbangkan hal baik untuk membantu
mengatasi kekuangan karakter lain. Misalnya, Eleanor yang spontan dan tak
banyak berpikir, membuat Chidi tak lagi terlalu overthinking dalam
mengambil keputusan. Jason yang kompulsif jadi lebih berhati-hati dalam
bertindak karena ada Tahani yang selalu menyuruhnya lebih berhati-hati. Ide
yang awalnya berbunyi "hell is other people" rupanya bisa berubah 180Âş,
berkat pertemanan masing-masing karakter, mereka mampu mencapai surga.
Lalu bagaimana dengan soal menjadi orang baik? Sebenarnya tak ada orang yang
bisa 100% baik, kita semua pasti punya sisi jelek, tetapi kita semua berusaha
tidak mengikuti kebiasaan buruk, bukan demi orang lain, namun demi diri
sendiri lebih dulu. Lagi pula, kita tak berhutang apa pun pada orang lain,
begitu pula dengan orang lain pada kita, mereka tak punya hutang apa pun.
Paling tidak, menepati janji pada diri sendiri dulu, seperti ujaran Chidi pada
Eleanor, "aku berjanji akan mengajarimu, jadi aku menepati janji itu untuk
diriku sendiri, sebagaimana pun kau selalu mengejekku, aku tetap
menjalaninya." Makanya, kita harus mengenal diri sendiri lebih dulu, pastikan
janji yang keluar dari mulut kita memang sebenarnya bisa kita penuhi.