Tahun ini akan segera berakhir dalam hitungan hari saja. Sebenarnya saya enggan menuliskan retrospektif begini, namun setelah bertelepon dengan seorang teman, saya mendapat ide untuk menuangkan apa yang (mungkin) bisa menginspirasi yang lain juga.
2020 mungkin bukan tahun yang terbaik, akan tetapi, keadaannya bisa jauh lebih buruk dari yang telah kita hadapi. Pandemi berdampak pada segala bidang, bahkan bidang yang sebelumnya dianggap tahan banting, industri hiburan misalnya. Perilisan film-film harus tertunda, pembuatannya pun harus ikut ditunda, juga tuntutan bagi industri game untuk menyajikan hiburan bagi kita semua yang terjebak dalam rumah, rasanya semakin tinggi dan berat.
Mungkin saya perlu memulai dari bahasan yang pertama saya tulis di Moonhill, kontroversi The Last of Us Part II. Well, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang menyelubungi game ini bahkan sebelum resmi dirilis, TLOU Part II memenangkan berbagai penghargaan, khususnya kategori “Best Storytelling” dan “Game of The Year”. Saya dan teman saya setuju, TLOU Part II bukanlah game yang sempurna dan belum pantas menerima penghargaan “Best Storytelling” karena masalah pacing ceritanya sulit diabaikan. Saya telah menamatkan game tersebut dua kali dalam tahun ini. Rasanya, seperti menyeret-nyeret kaki yang patah. Cerita TLOU Part II terlalu pilu dan kurang bisa dinikmati sebagai “game”. Mungkin bila cerita tersebut diusung dalam media lain, akan berbeda rasanya. Atau, bila penulisnya mau memutar otak lebih keras, memperbaiki pacing yang agak berantakan, barulah narasi tersebut terasa lebih mudah dinikmati sebagai “game”.
Saya dan teman saya pun sepakat, kami tak mempermasalahkan kematian Joel, atau adanya karakter baru, Abby dan Lev. Satu-satunya masalah TLOU Part II, bagi kami, adalah pacing yang masih bisa diperbaiki. Tapi orang lain bisa beropini berbeda, mungkin ada yang membenci TLOU Part II sekaligus, atau mencintainya amat sangat. Kami, ada diantaranya.
Setiap nominasi dalam THE GAME AWARDS tahun ini memang memiliki kelemahan dan kekuatan mereka masing-masing. Pasti sulit memilih dengan metode komparatif. Kalau memang dicocokkan dengan situasi yang sedang terjadi di 2020, maka yang lebih pantas menerima “Game of The Year” bisa jadi Animal Crossing: New Horizon. Namun bila dilihat dari perspektif teknis, maka Hades bisa juga menjadi pemenang. Atau mau dari segi reimagining naratif yang pernah ada? Maka, Final Fantasy VII Remake-lah yang pantas memboyong piala. Mau yang mana? Rasanya tergantung selera dan lagi-lagi, kami pun tidak tahu dari segi mana juri menilai nominasi.
Kemudian di akhir tahun ini, telah terdengar kabar bahwa kesuksesan film Wonder Woman (2017) membuat Warner Bros memikirkan ulang ke arah mana DCEU (DC Extended Universe) akan berjalan. Sebuah berita baik, karena memang film Wonder Woman (2017) baru menjadi satu-satunya film DC yang diterima dan dipuji oleh fans... walau pun, menurut kabar, Wonder Woman 1984 tidak mendapat kehangatan yang sama.
Saya dan teman saya sepakat, film Wonder Woman di 2017 silam memang film DCEU terbaik dibandingkan deretan film DCEU lainnya (Man of Steel, Batman V Superman, Suicide Squad). Akan tetapi, bagian akhir, pertempuran Diana dengan Ares, kurang disukai oleh penggemar Wonder Woman. Anggapan, “terlalu berat CGI” dan “pertempuran yang terlalu maksa” dirasakan oleh saya dan fans lain. Karena itu, Patty Jenkins (sutradara dan penulis) memutuskan untuk mengambil haluan yang berbeda di WW84. Sekarang kebalikannya, fans DC lain yang protes, sebab WW84 tidak punya banyak adegan aksi, dan rasanya malah seperti film drama ketimbang film superhero.
“Everyone has their opinion,” ujar teman saya. Saya otomatis mengangguk-angguk setuju. “Twenty or thirty years from now, do you think people will talk about that game or that movie?” teman saya berargumen. “I think that’s what makes a work important. No one talks about Death Stranding nowadays, unless when you refer to the jokes, then, yeah. But when you point to Super Mario Bros 35, people are still playing the game and talk about it. That game has been the basis and inspiration for 3 different game titles. Why? Because of the fun. Because the makers know what makes a long lasting impression.”
Argumen teman saya, agaknya ada benarnya, bukan? Saya rasa yang terpenting bukan penghargaan atau pujian orang, tapi bagaimana para pembuat game atau film itu memberikan kesan yang tahan lama, atau tidak mudah lekang oleh waktu. Masalah teknis, cenderungnya, bisa dimaafkan bila sebuah film memiliki ending yang kuat. Tapi kalau film itu mulai dengan ide yang hebat dan ending yang lemah, pasti orang akan bilang, “filmnya tidak bagus.” Dalam kasus terakhir, itulah yang sering terjadi pada film-film Indonesia, misalnya, Supernova, Antalogi Rasa, dan hampir semuanya. Saya rasa, Wonder Woman 1984 adalah film yang berkesan, terlepas dari berapa pun adegan aksi di dalamnya, dan terlepas dari apa opini orang tentang ceritanya. Dua puluh atau tiga puluh tahun dari sekarang, bisa jadi keponakan saya masih membicarakan Wonder Woman-nya Gal Gadot dan Patty Jenkins. Dan tidak ada yang akan membicarakan film Antalogi Rasa atau Supernova.
Bagaimana dengan TLOU Part II? Apakah 20 - 30 tahun dari sekarang orang akan membicarakannya? Menurut saya pribadi, bisa jadi tidak. Membayangkan kontroversinya saja sudah lelah, dan topik yang melelahkan akan cenderung dihindari orang. Lihat saja sekarang, 2020 belum sepenuhnya berakhir, tapi topik game sudah dipenuhi soal Cyberpunk 2077 dengan segala bug kekecewaan yang mengerubunginya. TLOU Part II kembali ke permukaan hanya karena memenangkan penghargaan, yang lagi-lagi, diselubungi kontroversi. Kalau misal mereka tidak menang, saya yakin tidak ada yang ingat game tersebut pernah ada, sayangnya.