Oke, sebelum mulai, saya mau bilang, saya belum baca novelnya. Antalogi Rasa merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul sama, karya penulis kondang, Ika Natasha. Hmm... sampai di sini, ekspektasi saya tinggi, guys. Dari pujian novelnya, dan saya mengutip dari Herjunot Ali, pemeran Harris dalam film ini:
Antologi Rasa adalah salah satu karya yang mewakili sebuah generasi. Tidak banyak novel yang melekat pada hati setiap pembacanya, seolah mereka bisa hidup merasakan “rasa” dari setiap tokohnya. Cerita yang mampu meninggalkan ragam emosi. Sangat mudah bagi kita untuk jatuh cinta pada novel ini, karena Ika Natassa menuturkannya begitu tulus.
Oke, fine. Saya akan baca novelnya di lain hari. Tapi, sesuai janji, saya akan mengkritisi film Indonesia jauh lebih pedas daripada film luar demi kemajuan perfilman negara kita tercinta ini. Buat pembaca yang kurang bisa menerima kritikan pedas, sila angkat kaki sekarang daripada sakit hati. Tapi, kalau mau tahu menetap dan terus membaca, douzo...
Antalogi Rasa merupakan sebuah film yang berfokus pada tiga karakter, Keara, Ruly, dan Harris. Hadirlah sebuah cinta segitiga di antara persahabatan mereka. Keara mencintai Ruly, tapi Ruly tidak pernah memberikan lampu hijau. Haris menyukai Keara, tapi sayangnya, dia sudah terjebak dalam friendzone.
Di atas kertas, film ini tampak menjanjikan; disutradari oleh Rizal Mantovani, dan screenplay atau dalam bahasa umum, naskah film, ditulis oleh Ferry Lesmana dan Donny Dhirgantoro. Tapi sayang banget, film ini biasa aja. Akting pemainnya pun biasa aja. Sumpah, saya kecewa.
Menurut saya kelemahan pertama film ini terletak dari penulisan skripnya yang jelek. Menit pertama nonton, impresi saya cuma, "nggak nyata nih orang, masa ngebatin pakai bahasa novel." Sebenarnya tidak masalah, mau menyuarakan isi kepala seorang tokoh, namun ada baiknya penulis naskah juga menyadari, ini film, zheyenk. Tunjukan dengan gambar, adegan, ekspresi pemeran, bukan dengan bahasa novel dijiplak mentah-mentah. Tidak heran sih, akting pemainnya jadi terlihat biasa aja, sebab naskahnya juga biasa aja. Pemeran tidak ditantang mengekspresikan sebuah perasaan lewat gimik tubuh dan lain sebagainya. Mereka hanya disuruh bicara, dan penonton dengan relanya percaya. But, I digress...
Kelemahan kedua, pengertian "cinta" dalam film ini rasanya dangkal. Sepertinya memang dari novelnya sudah begitu. Tapi, lagi-lagi, saya belum baca. Cara Harris mendeskripsikan rasa "CINTA" nya pada Keara, sebatas fisik; matanya, wangi parfumnya, dan senyumnya. Memang, Keara cantik, tapi apa nilai seorang Keara untuk dicintai hanya sebatas penampilan fisik? Lumayan problematik penggambaran cinta semacam ini.
Karakter Keara sendiri juga tidak istimewa-istimewa amat. Keara dalam film ini, menurut saya, wanita egois. Sikap itu terwujud dari caranya menyalahkan Harris atas "kejadian" sehabis dugem. Padahal dengan jelas dia mencium bibir Harris lebih dulu. I mean, gurl.... puhlease... Tanpa introspeksi, Keara melimpahkan kekesalannya pada Harris. Poor Harris. Walau playboy, dia cukup gentleman untuk menanyakan apakah Keara benar-benar yakin mau melakukannya atau tidak. Bukan juga rahasia, kalau cowok heteroseksual mendekati perempuan, bisa jadi dia suka. Keara tak sedikit pun peka dengan perasaan Harris. Siapa sih, yang rela mengantarkan cewek malam-malam berburu pembalut kalau bukan karena sayang atau suka?
Karakter Ruly digambarkan seperti hantu. Muncul lalu hilang lagi. Awalnya, kita mengenal sosok Ruly hanya dari sudut pandang Keara. Kesempurnaannya di mata Keara, nyaris seperti mitos. Mungkin karena dilihat dari sudut pandang cewek baperan. Kebaikan Ruly bisa dibilang wajar, selayaknya teman yang baik, Ruly menjaga Harris dan Keara. Entah karena filmnya yang gagal mengikut sertakan seperti apa sosok Ruly dalam buku yang membuat Keara tergila-gila, atau memang tidak pernah ada gambaran yang jelas seperti apa si Ruly ini? Seistimewa apa dia, sampai Keara takut kehilangan sosok Ruly? Saya agak curiga, Ruly ini, antara kelewat sopan, atau sebenarnya gay.
Mendekati bagian akhir film, kita diajak mengenal sosok Ruly. Barulah kita tahu dengan jelas, siapa sebenarnya Ruly, bukan dari kaca mata Keara. Rupanya dia tipe teman yang setia dan baik. Tipenya memang digambarkan seperti ksatria. Pria yang cerdas dan sempurna sebagai tokoh fiksi, setidaknya dalam film ini. Saya sampai tidak setuju kalau Keara bersama dengan Ruly. Ruly terlalu baik untuk Keara yang egois. Tapi ternyata, Ruly punya Denis, mantan kekasih yang masih dekat.
Konflik yang terjadi selanjutnya, terasa dragging. Saling tidak bisa menyampaikan perasaan dan lain sebagainya. Memang, lumayan persis dengan dunia nyata. Tapi daripada digunakan untuk menyeret-nyeret mayat hidup, ada progres lain yang lebih penting untuk ditunjukan, misalnya sebuah revelation yang bisa membangun akhir cerita supaya lebih mantap.
Penyelesain dari konflik, tidak memberikan perkembangan yang jelas bagi para tokoh. Seolah terjadi di luar film. Padahal itu bagian yang penting. Sampai akhir, hanya Harris yang berubah jadi lebih dewasa, memilih untuk move on, fokus pada masa depannya. Sementara, Keara dan Ruly, entahlah... ditinggalkan begitu saja. Keara masih berusaha mengejar pria yang tidak bisa dia gapai, bahkan alasannya tak ingin ditinggal Harris pergi ke Singapura, dilandasi oleh keegoisan, nggak ada yang bisa menemani si cantik Keara lagi... huhu sad! Bukan karena dia sayang pada Harris, tapi karena dia akan kesepian. Argumen saya, kalau Keara benar "cinta", dia akan peduli dengan masa depan Harris. Lalu, Ruly, dia hilang lagi seperti hantu.
Satu yang patut dipuji dari film ini, sinematografinya. Teknik pengambilan gambar yang apik, sound yang enak banget di dengar. Soundtrack-nya tidak terlalu mengganggu, malah pas. Sesuai kualitasnya untuk film layar lebar, sebab ada banyak film Indonesia yang tampak seperti sinetron.
Hal berkesan lain dari film Antalogi Rasa adalah kutipan dari film ini:
"Kalau dia bikin kamu ketawa, tandanya kamu suka. Tapi, kalau dia bikin kamu nangis, tandanya kamu cinta."
Percaya atau tidak, agaknya kutipan tersebut ada benarnya. Saya tidak tertawa menonton film ini, tandanya saya tidak suka. Saya juga tidak menangis menonton film ini, tandanya saya tidak cinta.
Maaf kalau terlalu keras, tapi kritik film ini dibuat dengan harapan agar film Indonesia bisa lebih baik lagi kedepannya. Semoga ya, saya sih tidak berharap banyak. Entah masalahnya ada dari cerita aslinya, atau memang adaptasi ini gagal. Saya akan menyempatkan diri membaca novelnya demi memastikan. Sebegitu pedulinya... kalau dipikir-pikir. Tapi memang saya peduli.