Halo, salam kenal. Saya Okta, orang gabut lainnya yang baru bergabung di
Moonhill. Saya mungkin tidak akan sesering itu menulis di sini, karena saya
punya kegabutan lain yang harus saya jalani dengan lebih sungguh-sungguh hehe.
Tapi selama sempat, saya akan mencoba berbagi sesering mungkin.
Untuk postingan pertama, saya ingin membahas mengenai salah satu film Ghibli
favorit saya, Spirited Away. Perlu digarisbawahi, saya fans berat
Studio Ghibli, tapi berhubung ini bukan ulasan film, jadi saya rasa
kecil kemungkinan kalau tulisan saya kali ini akan bias. Kalau bukan ulasan
film, terus ngomongin apa, dong? Saya akan membahas Spirited Away dan
kaitannya dengan kepercayaan Shinto. Kebetulan ini adalah salah satu materi
yang saya kerjakan demi meluluskan salah satu mata kuliah empat tahun silam.
Jadi, ini akan panjang, pemirsah. Oh iya, spoiler alert! Saya
tidak sarankan untuk lanjut membaca kalau belum menonton filmnya, ya :)
Kenapa saya memilih Spirited Away secara spesifik dan kaitannya dengan
Shinto? Hayao Miyazaki sendiri bukan penganut Shinto, tetapi
ia menghormati kepercayaan tersebut sebagai salah satu pondasi untuk hidup
yang lebih harmonis dengan alam. Miyazaki sering memasukkan unsur-unsur
Shinto dalam karya-karyanya. Salah satunya di Spirited Away yang akan saya
bahas.
Kepercayaan Shinto
Shinto adalah kepercayaan dan praktik keagamaan yang berasal dari Jepang.
Kata Shinto, yang secara harfiah berarti "jalan dewa" / "ajaran dewa", mulai
digunakan untuk membedakan kepercayaan asli Jepang dari ajaran Buddha yang
masuk pada abad ke-6 Masehi. Berbeda dengan kepercayaan lain, Shinto tidak
memiliki pendiri, tidak memiliki kitab suci spesifik, dan tidak ada dogma
ataupun standar moral tertentu, sehingga Shinto juga bisa dimaknai sebagai
sebuah filosofi dan budaya.
Dasar dari Shinto adalah keyakinan bahwa entitas-entitas supernatural yang
disebut dengan 'Kami' ada di dunia dalam berbagai perwujudan.
Kami bisa berupa dewa, roh penunggu tempat tertentu, atau roh nenek
moyang tertentu. Oleh karena itu, manusia harus menjaga harmonisasi
kehidupan dengan alam. Sebagai pandangan terhadap kehidupan, Shinto
menekankan pada makoto no kokoro (hati yang murni), atau
magokoro. Pada umumnya, penerapan pandangan ini adalah dalam
ketulusan atau kesungguhan seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam
pekerjaan yang telah dipilihnya, atau dalam hubungannya dengan orang lain.
Dalam kitab kuno magokoro ditafsirkan sebagai "pikiran yang terang
dan murni" atau "pikiran yang terang, murni, jujur, dan tulus". Pemurnian
ditekankan untuk menghasilkan keadaan pikiran seperti itu. Namun, orang yang
mencapai magokoro ini sangat langka, karena semua hal di dunia ini
begitu mudah tercemar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
pemurnian/penyucian, baik secara fisik yaitu dengan membersihkan
debu/kotoran yang tampak, maupun secara keseluruhan yaitu dengan memperbaiki
sikap dan tingkah laku kita.
Analisa Lebih Dalam dari “Spirited Away”
Spirited Away bercerita tentang Chihiro Ogino, anak perempuan berumur
sepuluh tahun yang mengalami petualangan di dunia roh. Di awal cerita,
terdapat adegan dimana Chihiro, yang sedang dalam perjalanan menuju rumah
baru bersama kedua orangtuanya, melihat torii (gerbang kuil
Shinto) yang bersandar pada sebuah pohon dengan dikelilingi
rumah-rumahan kecil di pinggir jalan. Chihiro menanyakan tentang apa yang
dilihatnya, dan dijawab tanpa antusiasme oleh ibunya bahwa rumah-rumahan
kecil itu adalah kuil yang dulunya dipakai orang untuk berdoa. Sikap ibu
Chihiro yang terkesan tidak peduli merupakan suatu gambaran dari masyarakat
modern Jepang yang sudah tidak lagi berpegang pada kepercayaan Shinto.
Miyazaki sendiri menyebutkan bahwa orang Jepang di zaman kakeknya memercayai
bahwa roh/dewa (kami) ada di mana saja—di pohon, sungai,
serangga, sumur, dan lain-lain. Namun, kepercayaan ini tidak bertahan sampai
generasinya. Meski demikian, Miyazaki menyukai pemikiran dimana manusia
sebaiknya menghormati segala hal karena bisa saja ada 'dewa' di dalamnya.
Hal itu ia tuangkan dalam Spirited Away.
Film ini mencontohkan Shinto dan kokoro (hati/jiwa) dengan atmosfir
dan karakterisasinya. Namun, kompleksitas konsep tersebut tidak mudah
dipahami oleh mereka yang tidak mengenal budaya atau kebiasaan Jepang
(Callis, 2010). Karakter-karakter dalam Spirited Away memperlihatkan bahwa
dalam keadaan bersih/murni, seseorang atau sesuatu bisa menjadi sesuatu
yang lain.
Mari kita breakdown lebih lanjut melalui tokoh-tokohnya.
Karakter utama, Chihiro, digambarkan memiliki sikap yang manja, egois,
penakut, dan ceroboh di awal cerita. Ini menandakan bahwa
kokoro-nya tidak bersih/tercemar. Dia bahkan tidak tahu tentang
kuil yang berada di pinggir jalan. Tidak heran jika ia tidak bisa
merasakan keberadaan kami di sekitarnya karena keadaan
kokoro-nya pada saat itu. Namun, seiring dengan banyaknya hal yang
dialaminya selama di dunia roh, ia telah berhasil mencapai
makoto no kokoro. Seseorang yang telah mencapai
makoto no kokoro, tidak hanya membantu diri sendiri, tetapi ia juga
akan mampu membantu orang lain untuk menjadi bersih/murni kembali.
Chihiro, melalui petualangannya, berhasil menemukan jati diri sekaligus
mencapai kemurnian hatinya.
Konsep Kesucian Diri Kepercayaan Shinto dalam “Spirited Away”
Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada kedua orang tuanya. Sejak
kemunculannya, kita bisa melihat bahwa gambaran kedua orangtua Chihiro
begitu mencerminkan sosok manusia modern pada umumnya, khususnya di
Jepang. Sebagai negara dengan perekonomian yang baik, masyarakat Jepang
sudah terpengaruh oleh budaya hedonis dan konsumeris. Hal ini bisa
mempengaruhi moral seseorang. Ketika orangtua Chihiro menemukan kedai
makanan, bukannya menunggu izin dari pemiliknya, mereka malah cuek saja
makan karena merasa aman dengan membawa uang serta kartu kredit. Mereka
begitu bergantung pada sesuatu yang bersifat materi, sehingga melupakan
tata krama. Hal ini terjadi karena kokoro mereka tercemar. Hingga
akhir cerita, mereka tidak mendapatkan apa-apa dan bahkan tidak mengingat
sama sekali peristiwa kamikakushi (spirited away) yang mereka
alami.
Orang tua Chihiro berubah menjadi babi © Studio Gibli |
Menurut saya, melihat dari kepribadiannya, besar kemungkinan
kedua orang tua Chihiro adalah baby boomer Jepang yang lahir
antara tahun 1947-1949. Pada saat itu, kondisi Jepang sedang
sulit-sulitnya, dan bisa makan enak tentunya menjadi satu kemewahan luar
biasa. Ini menjelaskan perbedaan antara sikap orangtua Chihiro dengan
Chihiro yang tidak tergoda melihat makanan enak. Apalagi mengingat latar
dari Spirited Away adalah di Jepang tahun 2000-an setelah masa
The Lost Decade (Ushinawareta Juunen). The Lost Decade
terjadi selama 1990-2000, tepatnya setelah Bubble Economy (baburu keizai). Pada masa Bubble Economy, ekonomi sangat stabil. Namun, setelah
'gelembung'-nya pecah, muncul masalah dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Masalah yang muncul tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga
sosial. The Lost Decade disebut sebagai masa dimana masyarakat Jepang
mengalami kemunduran, baik secara finansial maupun moral.
Di lain pihak, anak mereka justru berhasil membantu orang lain untuk
menjadi bersih/murni kembali. Seperti dalam kasus Dewa Bau yang sebenarnya
adalah Dewa Sungai. Apa yang terjadi pada Dewa Sungai merupakan akibat
dari perlakuan manusia. Mereka mencemari sungai dengan sampah dan hal itu
mengubah Dewa Sungai menjadi sesuatu yang lain. Tetapi, berkat bantuan
Chihiro, ia menemukan identitasnya yang asli, yaitu Dewa Sungai Kuno yang
bersih. Ini menjadi salah satu bukti bahwa kokoro Chihiro
perlahan-lahan menjadi bersih, dilihat dari sikap baiknya terhadap sesama.
Hal yang sama juga ia terapkan pada Kaonashi. Tokoh Kaonashi
merepresentasikan orang yang individualis, tidak dapat
berbicara/berkomunikasi, suram, dan kesepian. Kalau menurut dosen saya,
kemungkinan besar ia merupakan representasi hikikomori, atau orang
yang menarik diri dari masyarakat. Bisa jadi, ya? Ia datang sendiri dan
wujudnya kadang transparan, seakan-akan tidak dilihat atau dipedulikan
orang di sekitarnya. Ketika Chihiro memulai interaksi dengannya, ia
kemudian merasa bahwa Chihiro adalah satu-satunya orang yang peduli
padanya. Karenanya, Kaonashi mencoba mencari perhatian Chihiro dengan
sesuatu yang bersifat materi. Begitu Chihiro menolak pemberiannya, ia
menjadi sosok yang menyeramkan. Kaonashi belum mengerti bahwa materi
bukanlah segalanya, harta tidak bisa membeli persahabatan. Ini pun terjadi
karena hatinya tertutup oleh rasa kesepiannya. Lagi-lagi, Chihiro menuntun
orang lain menuju kesucian hatinya. Ia membantu menghilangkan 'kotoran'
dalam diri Kaonashi dengan dango yang ia dapatkan dari Dewa Sungai,
padahal ia berencana menolong orangtuanya dengan dango
tersebut. Hal ini adalah bagian dari diri Chihiro yang baru, ia
memprioritaskan untuk menolong mereka yang lebih membutuhkan bantuannya.
Sekaligus rela berkorban demi membantu sesama.
Tokoh Chihiro dalam Spirited Away © Studio Gibli |
Klimaks tindakan heroik Chihiro terlihat saat ia dengan berani mendatangi
Zeniba untuk meminta maaf atas perbuatan buruk Haku. Di sini adalah puncak
dari pencapaian makoto no kokoro-nya. Tidak mengherankan jika ia
kemudian bisa mengingat kejadian di masa kecilnya yang telah lama
terpendam dalam ingatannya. Adegan dimana Chihiro mengingat nama asli Haku
adalah perwujudan dari apa yang disebut dengan shinjin gouitsu,
istilah yang digunakan untuk menyebut bersatunya kami dengan roh
manusia. Shinjin gouitsu hanya bisa terjadi apabila seseorang telah
mencapai makoto no kokoro. Di sini, Chihiro juga secara tidak
langsung telah membebaskan Haku dari Yubaba dengan mengembalikan
identitasnya. Seperti yang diceritakan dalam film, Yubaba mengontrol orang
dengan mencuri nama mereka.
Setelah mencapai magokoro, tidak hanya mengingat kembali
'pertemuan' dengan Haku di masa kecilnya, Chihiro juga bisa melewati tes
yang diberikan Yubaba. Chihiro dengan yakin menjawab bahwa kedua
orangtuanya tidak ada di antara sekumpulan babi yang ditunjukan Yubaba.
Dengan cara ini, ia berhasil mematahkan kutukan kedua orangtuanya
sekaligus mengembalikan mereka ke dunia nyata. Bahkan ketika kembali, ia
menjadi satu-satunya orang yang mengingat bahwa mereka pernah mengalami
kamikakushi.
Terlepas dari unsur kepercayaan Shinto yang dimunculkan dalam film ini,
saya rasa pesan yang benar-benar ingin disampaikan oleh Miyazaki sendiri
adalah bahwa tidak ada ruginya berbuat baik terhadap sesama dan menjaga
alam. Ini juga terlihat dari film-filmnya yang lain. Seperti dalam Nausicaä, Ponyo, dan Princess Mononoke. Saya tidak merasa Miyazaki ingin
menciptakan karakter yang murni 100% baik, 100% jahat. Menjadi manusia
berarti kita memiliki sifat-sifat yang manusiawi pula. Kita bisa saja
egois, cuek, membenci dunia, dan itu wajar saja. Tetapi, dengan melihat
sekitar dan memahami sesama, memahami bahwa sesekali kita perlu
mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, mungkin kita bisa
menjadi manusia yang seutuhnya, mencapai magokoro seperti Chihiro.
Who knows? :)
Referensi Luar
Boyd, James W. & Nishimura, Tetsuya. Oktober 2004.
“Shinto Perspectives in Miyazaki's Anime Film Spirited Away”.
Journal of Religion & Film.
Callis, Cari. (2010).
“Nothing That Happens is Ever Forgotten”. Anime and
Philosophy (Steiff and Tamplin).