Filosofi Stoisisme pertama kali dipopulerkan di Indonesia melalui buku
Filosofi Teras oleh Henri Manampiring. Asal mula buku itu ditulis, Henri
Manampiring mendapati dirinya divonis terkena Major Depressive Disorder,
akibat berbagai tekanan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, ditambah
lagi pola pikirnya yang cenderung negatif. Di tengah pengobatan, Henri membaca
buku How to be A Stoic karya Massimo Pigliucci, yang memaparkan cara-cara
menerapkan filosofi Stoa atau Stoisisme dalam kehidupan modern.
Apa sih filosofi Stoa / Stoisisme itu?
Filosofi ini sering dikenal sebagai filosofi yang apatis, tanpa emosi, dan cenderung tidak mau terlibat dalam urusan dunia. Tapi tanggapan tersebut sebenarnya hanya salah kaprah. Stoisisme atau Stoa mengajarkan berbagai nilai yang dapat membantu kita menghadapi gangguan kecemasan atau anxiety dan depresi. Stoisisme mengajak kita untuk tidak terbawa emosi dan ego, tapi menyarankan kita untuk gunakan akal sehat supaya kita tetap bisa mengambil keputusan yang bijak, bersikap dewasa, dan tabah di masa-masa sulit.
Filosofi Stoa atau Stoisisme ini dikenal sebagai filosofinya orang-orang aristokrat atau bangsawan. Sebab tokoh-tokoh penganut filosofi ini menduduki jabatan-jabatan tertinggi dalam rumah pemerintahan Romawi di masa dulu. Misalnya, Marcus Aurelius (Emperor), Seneca (Konselor), dan Zeno of Citium (Guru Besar, penemu Stoisisme). Kecuali, Epictetus, seorang budak di Hierapolis. Lagi-lagi tanggapan tentang stoisisme ini salah, sebab siapa pun sebenarnya bisa belajar tentang Stoisisme.
Mempersiapkan Kita Pada Kemungkinan Terburuk
Filosofi ini dikenal keras, sebab dalam Stoisisme kita diajarkan untuk mengharapkan, tidak hanya yang baik-baik saja, tapi juga kemungkinan yang terburuk. Marcus Aurelius, dalam bukunya "Meditations" menuliskan, dan saya mengutip:
When you wake up in the morning, tell yourself: the people I deal with today will be meddling, ungrateful, arrogant, dishonest, jealous and surly.
"Ketika Anda bangun di pagi hari, katakan pada diri sendiri: orang yang saya hadapi hari ini akan ikut campur, tidak tahu berterima kasih, sombong, tidak jujur, cemburu dan bermuka masam." Walau pun keras, tapi ada benarnya, bukan? Bukan berarti kita jadi ber-negatif thinking, tapi kita diajarkan untuk siap ketika kita dikhianati, disandur, dicaci, dan menerima kemalangan lainnya. Sebab di dunia ini, tidak cuma ada hal baik, tapi juga ada hal buruk.
Tidak Terpenjara Dengan Pendapat Orang Lain
Maksud saya dengan "tidak terpenjara dengan pendapat orang lain" bukan soal cuek dengan kritik yang bisa membuat kita menjadi lebih baik, bukan juga soal mengacuhkan pendapat yang bisa menjadi masukan untuk memperbaiki diri sendiri. Maksud saya dengan "pendapat orang lain" adalah opini-opini orang yang membuat kita ragu dalam mengambil keputusan serta menjalani pilihan hidup yang kita tahu akan baik bagi diri kita nantinya. Seringnya kita menghambat pertumbuhan diri, karena takut mendengar opini orang lain.
Seneca, berargumen, "be your own spectator." Jadilah saksi atas dirimu sendiri. Maksudnya, menyenangkan semua orang merupakan hal yang mustahil. Daripada terkurung oleh penerimaan orang lain, ada baiknya kita menerima diri sendiri saja. Mencari persetujuan atau pengakuan dari orang lain hanya akan membuat kita terpenjara dengan opini orang, entah itu pujian atau kritik, yang akan jadi beban pikiran kita nantinya. Yang terpenting adalah diri kita. Kita saja yang harus menerima kekurangan dan kelebihan kita sebagai manusia dan mulai menyayangi diri sendiri.
Fokus Pada yang Ada Dalam Kendali Kita
Dalam stoisisme, ada dua jenis hal dalam kehidupan kita; (1) hal yang dapat kita dikendalikan, dan (2) hal yang tidak dapat kita kendalikan. Di bukunya, How To Be a Stoic, Massimo Pigliucci memberikan analogi tentang seorang pemanah. Selihai apa pun kemampuan si pemanah, ada hal yang tidak dapat dia kendalikan, yaitu arah tiupan angin. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh seorang pemanah, hanya mengarahkan anak panah ke target, dan melepaskannya di waktu yang tepat. Soal anak panah tepat mengenai sasaran atau tidak, itu ada di luar kendali si pemanah.
Foto Ilustrasi Pemanah oleh Audi Nissen dari Unsplash |
Semakin kita sadar, ada banyak sekali hal-hal yang berada di luar kendali. Misalnya, opini orang lain, atau kemacetan jalan ke kantor pagi ini. Kalau terus menerus memusingkan hal yang ada di luar kendali kita, yang ada kita hanya frustasi, cemas, gelisah, dan lain sebagainya. Beda cerita kalau kita fokus dengan hal yang ada dalam kendali, yaitu reaksi kita terhadap kejadian yang menimpa kita. Tidak perlu terpancing emosi kalau kita diejek orang, katakan saja pada mereka, "kalau mereka benar-benar tahu siapa saya, tentunya bukan itu saja kekuranganku yang bisa dia ejek." Badass, kan?
Belajar Hidup di Masa Sekarang
There is no amount of guilt can change the past, and no amount of anxiety will change tomorrow. Hiduplah di masa sekarang. Apa yang kita lakukan hari ini, akan mempengaruhi hidup kita di masa depan. Apa yang terjadi di masa lalu, hanya dapat kita pelajari, tanpa perlu disesali, karena kita bisa lebih bijaksana dan dewasa hari ini karena yang terjadi di masa lalu. Yang paling penting, adalah hari ini; usaha kita, tindakan kita, pilihan dan juga sikap kita.
Seringnya, seseorang lebih tersiksa dengan apa yang dia pikir akan terjadi di masa depan, daripada hal yang sebenarnya terjadi nanti. Jadi, kalau mau bahagia, menurut stoisisme, berhentilah mencemaskan masa depan yang belum terjadi. Kalau pun ada kesulitan yang datang di esok hari, hadapilah dengan senjata yang sama yang membuatmu bertahan hari ini, akal sehat.
Baca Juga: Seperti Apakah Hubungan Pacaran yang Sehat itu?
Belajar Mengamati Diri Sendiri Dari Perspektif Orang Ke-3
Apa ya maksudnya, mengamati diri sendiri dari perspektif orang ke-3? Maksudnya, kita belajar menilai diri kita dari perspektif luar. Jurnaling merupakan cara yang bagus untuk mempraktikan latihan ini. Dengan menuliskan kegiatanmu, serta mencurahkan pikiran ke halaman kosong, kamu bisa belajar menilai diri sendiri sekaligus mengingatkan diri sendiri dari sudut pandang orang ke-3. Istilah lainnya, meditasi.
Ambil saja waktu sejenak untuk sendiri dengan diri kita, diam, jauhkan diri dari distraksi. Latihan meditasi ini dapat membantu kita lebih sadar pada niat dibalik setiap tindakan kita, dan melepaskan ego, sehingga tidak mudah terbawa emosi. Jadilah juri yang adil atas diri sendiri, tanpa rasa kepemilikan, lepaskan identitasmu sejenak saja. Lihatlah dirimu seperti seorang teman. Berikan nasihat, seperti seorang konselor melihat murid mereka tanpa menghakimi. Ini juga praktik yang bagus untuk menumbuhkan self-love.
Sekian dulu dari saya mengenai Stoisisme ini. Sebenarnya, masih banyak latihan dan pelajaran lain yang bisa kita ambil dari Stoisisme untuk dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin dalam artikel lainnya, kami akan berusaha menjelaskannya secara rinci. Sambil menunggu, semoga artikel ini bisa membantumu lebih enteng menjalani kehidupan dan masa-masa sulit.
Referensi Luar:
- Review Buku Filosofi Teras, oleh Ade Irwansyah di blog Gramedia.com
- Buku "Filosofi Teras" oleh Henri Manampiring
- Buku "How to Be a Stoic" oleh Massimo Pigliucci
- Video Filosofi "Stoicism" oleh The School of Life di YouTube
- Video "10 Life Lessons From The Stoic Master Seneca" oleh Philosophies for Life di YouTube
Posting Komentar
Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.