Sebuah Seni Bertahan Hidup Selama 2020 (dan seterusnya)

Buku menjadi teman setia gue selama pandemi berlangsung, demikian pula dengan Netflix dan Spotify. Melihat postingan Moonhill tempo hari, gue jadi terpancing untuk menuliskan retrospektif 2020 juga, tapi bukannya ngomongin game atau film, gue mau ngomongin buku. Yes, books, my dears! 

Sejujurnya, gue bukan orang yang suka banget baca buku. Paling dalam satu tahun, buku yang gue baca masih bisa dihitung jari. Alasannya beragam, entah karena kesibukan, keasyikan nonton YouTube, atau karena gue jarang menemukan buku-buku menarik yang cerita dan bahasannya nggak cuma gitu-gitu aja. Well, pandemi rupanya memberi dampak, gue jadi baca buku sekarang, setiap punya waktu luang.

Buku yang gue baca kebanyakan non-fiction di tahun ini. Salah satunya, How To Keep Going-nya Austin Kleon, lanjutan dari Steal Like an Artist dan Show Your Work. Walau pun buku tersebut ditulis untuk pekerja kreatif dan seniman lainnya, gue merasa metode yang dijabarkan Austin bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari juga. Mungkin karena hidup juga ada seninya sih.

Dalam bukunya, Austin Kleon menjabarkan beberapa cara buat kita semua yang mau terus produktif dan konsisten berkarya, apa pun sih karyanya, bisa juga pekerjaan harian kita, bisa juga soal menjalani hari demi hari satu langkah dalam satu waktu. Pokoknya, buku itu berinti pada konsistensi kita meneruskan dan menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.


Isi bab dalam buku Austin, semuanya dipaparkan dalam daftar seperti ini:

  1. Setiap Hari adalah Groundhog Day
  2. Membangun Markas Ketenangan
  3. Lupakan Tujuan, Kerjakan Saja
  4. Membuat Hadiah
  5. The Ordinary + Extra Attention = The Extraordinary
  6. Basmi Monster-Monster Seni
  7. Kamu Boleh Mengubah Pikiranmu
  8. Bila Ragu, Berbenahlah
  9. Iblis Membenci Udara Segar
  10. Tanam Kebunmu

Everyday is a groundhog day! Kalau lo pernah menonton film lawas berjudul Groundhog Day (1993), mungkin lo familiar dengan maksud si Austin. Dalam film tersebut, karakter yang diperankan Bill Murray, terjebak dalam time-loop tepat di hari raya Groundhog. Murray harus menjalani hari itu terus menerus, tak peduli apa pun yang dia lakukan, dia terbangun di hari yang sama setiap pagi. Dan kelakuan yang dia lakukan sebelumnya, jadi tidak berarti, tak ada konsekuensi atau hukuman, karena semuanya akan di-reset. Menurut Austin, hidup pekerja kreatif sama persis dengan yang digambarkan dalam film tersebut. Kita bangun pagi hanya untuk melakukan pekerjaan yang sama; bangun-mandi-sarapan-berangkat kerja-pulang-tidur. Begitu terus seperti time-loop. Kalau katanya kehidupan seniman itu luar biasa, atau amat berbeda dengan kehidupan orang pada umumnya, Austin merasa itu hanya romantisasi yang berlebihan. Nggak ada yang istimewa kok, ujung-ujungnya dia juga harus duduk di meja kerja dan membuat sesuatu.

Make a gift. Ini menurut gue adalah bab yang paling penting. Sering nggak sih, lo pada berpikir, “gue mau bikin konten ini buat pamer kemampuan fotografi gue,” atau, “gue mau hidup dari hasil karya gue suatu hari nanti.” Austin bilang, uang yang kalian dapat dari hasil karya tadi nggak akan cukup kalau tidak dibarengi dengan gaya hidup sederhana. 

Begitu kamu mulai menerima penghasilan dari pekerjaanmu, hindari dorongan untuk menguangkan setiap hal kecil dari praktik kreatifmu. Pastikan setidaknya ada bagian kecil dari dirimu yang tidak tersentuh oleh pasar. Bagian kecil yang kamu simpan untuk dirimu sendiri.

Ini benar adanya, dan sudah terjadi di hidup gue tahun lalu. Gue suka banget menulis cerita, tapi karena terlalu misqueen, alhasil, gue memaksa untuk menjadikan menulis sebagai sumber mata pencaharian. Kegiatan yang awalnya menghidupi gue secara spiritual, telah gue ubah menjadi sesuatu yang menghidupi gue secara harafiah. Akhirnya, gue sempat terkena writer’s block dan nggak bisa enjoy kegiatan tulis-menulis lagi. Terbiasa menulis demi tujuan komersil, sampai-sampai gue terbawa pola pikir yang mementingkan market sewaktu menulis, bukannya menulis topik yang memang penting dan memang pengen banget gue bahas. Tiap kali lihat keyboard, mau ngetik sesuatu aja, bawaannya jadi males...banget. Untungnya di 2020, gue punya waktu membaca dan menemukan buku ini, jadi gue pun belajar dari kesalahan yang gue buat di hari kemarin.

Salah satu saran dari Austin soal hal ini adalah dengan membuat hadiah. Jangan mikirin duit, jangan mikirin market, jangan mikirin mau pamer atau mau membuat seseorang terkesan. Buat saja hadiah untuk seseorang yang benar-benar berarti, dan tak ada masalah kalau ternyata orang yang berarti buat lo adalah diri lo sendiri. At some point di masa depan, mungkin gue akan melihat kembali ke masa lalu dan membaca ulang apa yang pernah gue tulis di blog ini. Layaknya kapsul waktu, gue bisa memberi nasehat ke diri gue sendiri di masa depan. Soalnya, kalau nanti kita sukses dan dapat penghasilan dari karya kita, paling-paling hanya satu-dua orang yang pendapatnya paling kita dengarkan daripada yang lain. Jadi sebaiknya, kenali satu-dua orang itu. Lalu buat hadiah untuk mereka, dan teruslah membuat hadiah untuk mereka.

Apakah sesungguhnya arti dari klik itu dalam berbagai skema besar ini? Makna seluruh klik itu dalam jangka pendek adalah, bahwa semua ada secara online saat ini merupakan clickbait, yang dioptimalkan untuk rentang perhatian yang singkat. Popularitas yang cepat.

Gue tahu, perjalanan hidup gue masih perlu lanjut di tahun berikutnya dan seterusnya sampai berhenti di satu titik yang entah kapan. Setidaknya, sampai gue tiba pada titik itu, gue mau konsisten dalam menulis sembari menjaga kewarasan. Buku-nya Austin ini lagi-lagi berhasil menyadarkan gue dan membantu gue mengartikulasikan pemikiran yang sempat terlewat dalam kepala gue sendiri. Setiap membaca tulisannya, pasti gue bergumam, bener juga, atau, gue udah pernah kepikiran soal ini sebelumnya. Gaya bahasanya yang santai dan kerap memberi contoh-contoh praktek sederhana, membuat gue senang membaca buku-buku Austin seperti biasanya.


Buku lainnya yang gue habiskan di 2020 (dan telah berjasa dalam menjaga kewarasan gue sepanjang tahun ini) adalah Everything is Fucked: A Book About Hope-nya Mark Manson, penulis dari The Subtle Art of Not Giving a Fuck. Buku biru itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Segala-galanya Ambyar.

Ada 3 bahasan utama dalam buku ini; harapan, self-healing, dan tahap-tahap kedewasaan. Pertama kali gue baca, sebenarnya nggak langsung paham gitu aja. Gue merasa agak nggak nyambung dari bab pertama sampai yang terakhir. Tapi setelah melihat rangkuman dan ulasan orang lain sembari membaca ulang, gue pun paham kalau tidak hanya satu ide yang dibahas oleh Mark.


Soal Harapan: “Hope is fucked”

Mungkin lo pernah dengar istilah “Pandora’s Box” tanpa tahu ceritanya. Oke, nggak papa, gue ceritain sekarang. Jadi, dalam mitologi Yunani, Zeus dewa petir itu memberikan sebuah kotak pada Pandora, orang yang penuh dengan keingintahuan. Pandora adalah ibu para manusia kepo di dunia ini lah, kurang lebih. Zeus bilang ke Pandora untuk tidak membuka kotak tersebut, karena kalau dibuka isinya malapetaka. Tapi, ya namanya kepo kan, dibukalah kotak itu, tidak begitu jelas apakah Pandora sendiri yang membukanya atau orang lain, tapi yang jelas, kotak tersebut sudah terbuka. Alhasil, di dunia ini ada berbagai kemalangan, kejahatan, dan malapetaka. Dan di dasar kotak itu, hal yang paling terakhir mencuat adalah harapan. Yup, bukan typo, lo nggak salah baca. H-A-R-A-P-A-N.

Ada dua interpretasi dari keberadaan harapan dalam kotak berisi malapetaka tersebut: (1) kalau ada penyakit yang menyebar di dunia, pasti ada obatnya juga, atau (2) harapan adalah bagian dari petaka dan bersifat jahat.

Interpretasi ke-2 memang tidak begitu populer sih. Tapi kalau dipikir-pikir, kata Mark, harapan nggak cuma melatarbelakangi aksi heroik Pilecki’s (diceritakan dalam bab awal), tapi harapan jugalah yang melatarbelakangi pergerakan Nazi. Layaknya pisau bedah yang amat-amat tajam, harapan bisa menyelamatkan nyawa seseorang, atau bisa juga menghancurkan seseorang.

Hope is, therefore, destructive. Hope depends on the rejection of what currently is. Because Hope requires something to be broken. Hope requires that we renounce a part of ourselves and/or part of the world. It requires us to be anti-something.

Setelah hampir sebagian awal buku ini si Mark bilang harapan itu penting, tiba-tiba dia memaparkan fakta kalau harapan juga destruktif, alias menghancurkan. Dari kisah heroik, dan penjelasan mengapa hal yang paling berbahaya adalah menjadi apatis (tidak punya perasaan/empati) akibat kehilangan harapan, lalu dari bagaimana manusia memanfaatkan krisis harapan untuk menanamkan ideologi-ideologi radikal, harapan terbagi dalam dua jenis, yang baik dan yang buruk, yang sehat dan yang tidak sehat. 

Mark menyelesaikan argumen dan masalah yang dia bikin sendiri dalam bukunya. Dia merasa, dilema soal harapan sebenarnya sudah dipecahkan oleh Nietzsche bertahun-tahun yang lalu. Nietzsche sudah pernah memprediksi kalau era modern akan sangat sulit bagi manusia menemukan harapan dan/atau berharap secara sehat. Dalam bukunya “Beyond Good and Evil” Nietzche menganjurkan kita semua untuk melihat lebih jauh dari sekadar hitam dan putih, atau baik dan jahat saja. Bagi-nya, moralitas masa depan bisa dimulai dengan amor fati, kalau secara harafiah berarti cintai nasib-mu.

Amor fati bagi Nietzsche, berarti penerimaan tanpa syarat akan pengalaman hidup: yang baik dan yang buruk, yang menyenangkan dan yang tidak, yang berarti dan yang tidak berarti sekalipun.

It meant loving one’s pain, embracing one’s suffering. It meant closing the separation between one’s desires and reality not by striving for more desires, but by simply desiring reality.

Uh! Kena nggak tuh di hati? Secara sederhana, berarti kita tidak mengharapkan apa pun. Hope for nothing. Berharap pada realita yang ada, bukan yang ngga ada, bukan di masa depan atau di masa lalu, tapi yang ada sekarang ini. Haraplah apa yang ada di depan mata kita sekarang. Karena harapan pada dasarnya bernilai nihil (ultimately empty). Apa pun yang bisa dikonseptualisasikan oleh benak kita pasti punya kelemahan, terbatas, dan mampu mencelakai orang terlalu memuja konsep itu berlebihan dalam jangka panjang. Jangan harapkan kebahagiaan. Jangan harapkan kesengsaraan akan berkurang. Jangan berharap untuk mengembangkan karaktermu. Jangan berharap untuk menghilangkan kekuranganmu. Harapkan ini. Harapkan peluang tak terbatas dan penindasan yang ada dalam setiap momen. Harapkan kesengsaraan yang datang bersama dengan kebebasan. Setiap rasa sakit yang datang setelah kebahagiaan. Setiap kebijaksanaan yang datang setelah keabaian. Setiap kekuatan yang datang dari perelaan.

Demikian sebagian akhir dari buku ini dimulai dan dilanjutkan mengenai bagaimana kehidupan tanpa mengandalkan harapan. Gue salut sih sama Mark yang berani menawarkan argumen berbeda dari buku self-help kebanyakan. Gue, jujur aja, bukan orang yang religius atau suka dengar nasehat yang gampang diomong tapi nggak jelas prakteknya. Sudah terlalu sering melihat dan kecewa, mungkin, akan kelakuan manusia-manusia di sekitar gue pada awal tahun ini ditambah dengan kejadian-kejadian kurang mengenakkan di masa lalu. Kadang kita (atau gue, lebih tepatnya) butuh membaca buku semacam ini, setidaknya demi belajar dari yang tadi udah gue sebut. Pastinya butuh latihan, berusaha memahami sembari praktek, nggak mungkin sehari langsung jadi. Emangnya percetakan Benhil? 

Begitulah kurang lebih beberapa bab dari buku-buku yang paling berkesan untuk gue pribadi di tahun 2020 ini. Semoga kalian pun terinspirasi untuk ikut membaca buku yang gue sebut. Siapa tahu buku yang menemani gue melalui tahun 2020 ini, bisa juga membantu kalian untuk melalui tahun-tahun kedepannya.

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.