Mimpi Buruk Alice di Borderland




Baru-baru ini, saya menamatkan salah satu serial terbaru Netflix yang tayang sejak awal Desember, Alice in Borderland. Serial bergenre thriller ini digarap oleh Shinsuke Sato, yang naik daun setelah menyutradarai Kingdom yang sempat booming tahun lalu. Kali ini pun, Shinsuke kembali menggandeng Yamazaki Kento sebagai bintang utamanya. Saya tertarik menonton setelah beberapa hari melihat serial ini wara-wiri mewarnai linimasa media sosial saya yang kebetulan memang circle wibu. Saya pun jadi penasaran, seseru apa sih Alice in Borderland? Spoilers ahead, but no major reveals.





Diceritakan, karakter utama bernama Ryohei Arisu yang diperankan oleh Reza Rahadian Yamazaki Kento, adalah seorang drop out tanpa pekerjaan (no life) yang terobsesi dengan video game. Suatu hari, Arisu bersama kedua sahabatnya, Karube dan Chota, menemukan diri mereka 'tiba-tiba' berada di Tokyo yang hening seperti kota mati setelah adanya pemadaman listrik yang misterius. Shibuya yang biasanya dipenuhi lautan manusia secara ajaib menjadi kosong melompong. Mereka kemudian menemukan fakta bahwa Tokyo yang selama ini mereka tinggali, entah bagaimana caranya, telah berubah menjadi arena permainan raksasa dimana mereka harus mempertaruhkan nyawa agar dapat bertahan hidup.


Tempat yang mirip Tokyo tetapi bukan Tokyo itu bernama Borderland. Demi tetap hidup, para 'imigran' alias orang-orang dari 'dunia kita' yang terjebak di Borderland harus memiliki 'visa', yang sayangnya cuma bisa berlaku untuk beberapa hari saja. Bagaimana cara memperpanjang visa di Borderland? Ya, dengan berpartisipasi dalam games mengerikan yang diselenggarakan setiap malam tiba. Resiko berada di Borderland cuma dua, hidup atau mati. Kalau tidak memperpanjang visa? Shooot! Kepala tertembus tembakan laser dari langit. Kalau gagal dalam game? Dead, sayonara. Bertahan hidup pun sejujurnya tidak menjamin mereka bisa menemukan jawaban sampai kapan mereka harus menjadi citizen di Borderland, serta bagaimana mereka bisa kembali ke tempat asalnya.






Awal cerita sedikit mengingatkan saya pada Gantz, mungkin karena sama-sama harus bertahan hidup dengan cara yang primitif; siapa yang kuat akan menang. Tapi tentu saja keduanya adalah cerita yang sama sekali berbeda. Gantz memaksa para partisipan untuk berburu alien, sementara di Alice in Borderland para citizen wajib mengikuti permainan mematikan yang dibuat oleh sosok sinting misterius. Alice in Borderland, seperti judulnya, terinspirasi dari Alice in Wonderland. Dapat dilihat dari awal cerita yang mirip, dengan Arisu yang 'jatuh ke lubang kelinci' dan berakhir di dunia asing. Lalu nama-nama karakter yang diadaptasi dari tokoh-tokoh ciptaan Lewis Carroll, seperti Arisu yang diambil dari pelafalan 'Alice' dalam bahasa Jepang, Usagi yang diterjemahkan dari Rabbit, Boshiya atau (Mad) Hatter, serta Chishiya yang diambil dari nama si kucing ajaib Cheshire. Terlihat juga dari penggunaan kartu remi untuk pengkategorian games, yaitu Clubs (♣) untuk permainan tim, Diamonds (♦) untuk permainan yang membutuhkan kemampuan otak, Spades (♠) untuk permainan yang mengandalkan fisik, serta Hearts (♥) untuk permainan psikologis yang cenderung bersifat manipulatif.

Bedanya, Borderland lebih seperti mimpi buruk, dan setiap pemain ingin terbangun dari tidur panjang mereka.






FYI, serial ini diangkat dari novel grafis berjudul sama (dalam bahasa Jepang disebut Imawa no Kuni no Alice) karya Haro Aso, yang diikutsertakan juga dalam penulisan naskah serial ini. Tapi, meski tanpa membaca karya aslinya terlebih dahulu pun, serial ini cukup mudah untuk diikuti tanpa ada plot yang terlalu membingungkan. Hal-hal yang berubah dari komiknya sepertinya tidak mempengaruhi jalan cerita secara signifikan. Misteri-misteri yang ada sepanjang series pun terpecahkan dengan natural tanpa berbelit-belit. 


Yang begitu meninggalkan kesan bagi saya dari serial ini adalah sinematografi yang disuguhkan. Meski berjenis thriller dan banyak adegan berdarah, visualnya bisa dibilang cukup memanjakan mata.


Arisu, Karube, dan Chota merayakan kehidupan di tengah hiruk pikuk Tokyo

Shibuya yang mendadak kosong melompong, menyisakan Arisu dan kedua sahabatnya

Saya berdecak kagum ketika di episode pertama, kota Tokyo yang hiruk pikuk dan penuh dengan gairah kehidupan bertransformasi menjadi kota bernuansa post-apocalyptic dalam hitungan detik, sepi nan mencekam. Lalu gambaran dari sisa-sisa tempat-tempat ikonik berubah menjadi tempat-tempat yang terasa begitu asing bahkan buat kita yang sudah cukup familier dengan tempat-tempat tersebut. Serial ini juga dibumbui dengan efek visual yang kualitasnya tidak main-main. Memang sih, masih bisa ditemukan efek yang kualitasnya turun di beberapa adegan, tapi tetap tidak bisa dikategorikan jelek sekali. Untuk karakterisasinya sendiri cukup menarik. Selayaknya tokoh utama pada umumnya, Arisu juga dibekali dengan hero complex. Tapi menurut saya masih di batas wajar, tidak terasa menjengkelkan seperti tokoh-tokoh yang keseringan preaching. Pengembangan karakternya juga berjalan cukup mulus, meski bayarannya mahal hiks :'(


Si Cantik Kuina dan Chishiya

Boshiya a.k.a Hatter

Karakter-karakter pendukungnya sendiri memiliki latar belakang yang kompleks, yang untungnya dikupas secara perlahan seiring berjalannya cerita. Mekanisme koping dari masing-masing karakter yang beragam juga membuat jalan cerita semakin berwarna. Singkatnya, season perdana ini ditutup dengan cukup memuaskan serta membuat penonton penasaran akan kelanjutan petualangan Arisu dan para imigran lainnya yang masih bertahan hidup. Saya pribadi sangat menantikan season selanjutnya yang diprediksi akan rilis di penghujung tahun depan. Waah, masih lama juga, ya.


Alice in Borderland cocok dinikmati saat liburan untuk menghilangkan stress, untuk menghibur diri dari kenyataan bahwa pandemi belum juga nampak hilalnya akan berakhir dalam waktu dekat, plus Bapak Presiden yang dengan kejamnya memangkas jatah libur akhir tahun (meski kalau liburan pun kita tetap tidak bisa ke mana-mana juga, sih). Oh iya, trigger warning, serial ini dipenuhi dengan adegan-adegan yang lumayan gory karena.. yaa, namanya juga thriller. Jangan lupa juga banyak adegan dewasa yang belum boleh ditonton anak di bawah umur. Jadi, jangan ditonton bersama anak Anda yaa :)) 



Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama