Wonder Woman dan Filosofi Stoisisme


Seru rasanya menggabungkan ikon budaya populer––yang biasanya tak dianggap terlalu serius––dengan filosofi––yang berbau ilmu. Salah satu daya tarik Super Hero dan Super Villain DC Comics adalah ideologi mereka yang saling bertentangan, membuat kisahnya makin pedas dan menantang. 

Sebenarnya, sudah bukan rahasia kalau setiap Super Hero sebenarnya merepresentasikan suatu ideologi yang dianggap baik dan diharap bisa merubah dunia jadi lebih baik. Misalnya, Batman, seorang Kantian atau penganut filosofi Kant, yang beradu dengan Joker, seorang anarkis, tentu saja sangat menarik kalau kita mengerti apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam cerita mereka. Saya akan bercerita tentang Batman dan Joker di lain hari, dan kali ini, saya ingin menjelaskan korelasi antara tokoh Wonder Woman / Diana Prince dengan Filosofi Stoisisme terlebih dahulu.

Wonder Woman merupakan tokoh Super Hero wanita yang dibuat oleh seorang psikolog dan penulis bernama William Moulton Marston, atau akrab disapa dengan Profesor Marston. Karakter Wonder Woman terinspirasi dari istri dan pasangan hidupnya, Elizabeth dan Olive Bryne, dan muncul pertama kali di Issue ke-8 All Star Comics pada Oktober 1941, kemudian dalam Sensation Comic Issue ke-1 pada Januari 1942. Di awal kemunculannya, Wonder Woman dijadikan sebagai ikon pergerakan feminisme yang kebetulan sedang gencar-gencarnya dilakukan di Amerika pada masa itu. Ada sebuah film berjudul “Professor Marston and Wonder Women” yang bisa ditonton kalau mau tahu sejarahnya lebih dalam.



Wonder Woman: Origin Story

Diceritakan Diana lahir di Themescyra, anak dari Ratu bangsa Amazon, Hippolyta. Menurut cerita ibunya, Diana dia bentuk sendiri dari tanah liat, kemudian dia memohon pada Zeus untuk memberikan kehidupan. Namun ternyata, seiring dengan perkembangan cerita komik, Diana ternyata anak dari Hippolyta dan Zeus yang berarti membuat Diana sebagai Amazon dan setengah dewa, seperti Perseus dan lain sebagainya.

Keputusan Diana meninggalkan Themescyra diawali dengan kemunculan Steve Trevor, seorang pilot dan mata-mata Amerika. Dia terdampar dan tak sengaja menemukan sebuah pulau tempat Diana dan saudari-saudarinya bersembunyi dari dunia. Dari Steve Trevor, Diana mendengar soal kondisi dunia di luar Themescyra. Sebab dia lahir, tumbuh besar di Themescyra, Hippolyta menentang keinginan Diana untuk keluar dan membantu Steve. Tapi Diana yang sudah bertekat, tetap memutuskan untuk keluar dan membantu dunia, meyakini kalau penyebab semua peperangan dan kekacauan adalah Ares, Dewa Perang.



Kebajikan dari Filosofi Stoisisme

Stoisisme merupakan filosofi dari Yunani kuno yang mulai populer di Indonesia, disebut sebagai Filosofi Teras. Ada pun kebajikan yang dipegang oleh Stoisisme yang diangkat dari Four Cardinal Virtue-nya Yunani, yaitu;


1. Kebijaksanaan (Prudence/Wisdom) – phronêsis

Kehati-hatian adalah kebajikan Stoa yang paling penting dan paling umum karena mengacu, seperti di sini, pada pengetahuan yang dipahami dengan kuat tentang apa yang baik, buruk, dan acuh tak acuh dalam hidup. Dengan kata lain, memahami hal terpenting dalam hidup atau memahami nilai sesuatu secara rasional. Kebalikannya adalah sifat kebodohan. Yang paling penting bagi kaum Stoa, itu berarti dengan tegas memahami sifat kebaikan: memahami bahwa kebajikan atau kebijaksanaan itu sendiri adalah satu-satunya kebaikan sejati, dan hidup sesuai dengan itu. Singkatnya, kebijaksanaan merupakan kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam situasi apa pun.


2. Keadilan (Justice) – dikaiosunê

Kata "keadilan" modern ini tampaknya terlalu formal atau sempit untuk apa yang dimaksud oleh kaum Stoa. Kaum Stoa tidak hanya berarti apa yang dalam arti hukum tetapi apa yang akan menjadi moral dalam hubungan kita dengan orang lain secara lebih umum. Misalnya, mereka menganggapnya mencakup sikap seorang ibu terhadap anak-anaknya atau rasa kesalehan kita terhadap dewa. Oleh karena itu di masa lalu sering diterjemahkan lebih luas sebagai "kebenaran", atau beberapa penulis modern hanya menyebutnya sebagai kebajikan sosial atau moralitas. Sifat buruknya yang berlawanan terjadi ketika kita tidak adil atau melakukan kesalahan pada orang lain secara moral. Keadilan adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur.


3. Kesederhanaan (Temperance) – sôphrosunê

Ini mengacu pada moderasi atau disiplin diri / pengendalian diri tetapi juga kesadaran diri atau kepemilikan diri. Kami bahkan dapat melihatnya sebagai hal yang berkaitan erat dengan apa yang banyak orang saat ini maksud dengan "perhatian penuh". Ini kebalikan dari sifat buruk yang disebut "kecerobohan" atau "tidak bermoral". Banyak referensi tentang perasaan "malu" yang tepat dalam Epictetus terkait dengan kebajikan ini dan kita dapat melihatnya (sangat) longgar terkait dengan gagasan Kristen tentang moral dari hati nurani. Stobaeus mengatakan bahwa itu memerlukan pengetahuan tentang "apa yang harus dipilih, dihindari, dan yang tidak" dalam hal "impuls", yaitu, itu memandu niat kita untuk bertindak berdasarkan keinginan tertentu. Diogenes Laertius mengatakan kaum Stoa mendefinisikan moderasi terutama sebagai disiplin diri yang baik (eutaksia) dan kesopanan / kesopanan (kosmistês). Intinya adalah disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri atas nafsu dan emosi.


4. Ketabahan/Keberanian (Fortitude/Courage) – andreia

Ini adalah salah satu kebajikan yang lebih sederhana. Itu jelas berarti keberanian, meskipun kaum Stoa juga memperluasnya untuk mencakup ketahanan terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan secara lebih umum. Ini kebalikan dari sikap "pengecut". Tampaknya, nilai ini berpasangan dengan kesederhanaan. Keduanya mengacu pada penguasa nafsu: mengambil sikap atas keinginan dan keberanian dari ketakutan. Karenanya, mereka mungkin berkorelasi juga dengan slogan Epictetus yang terkenal: endure and renounce. Kebajikan keberanian memungkinkan kita untuk menahan rasa takut dan mengambil sikap untuk meninggalkan keinginan yang tidak sehat. Keberanian adalah keberanian berbuat benar, berani berpegang pada perinsip yang benar. Ini bukan “berani” dalam makna sempit, seperti bernyali masuk ke kandang singa (walau pun kita membaca kisah hidup para filusuf stoa, rasanya mereka juga akan berani masuk ke kandang singa jika memang perlu...).



Wonder Woman dan Filosofi Stoisisme

Sejak awalnya karakter Diana sebagai Wonder Woman diciptakan, Professor Marston menawarkan cara yang berbeda dari Superman atau Batman untuk menyelamatkan dunia. Dia ingin Diana lebih mendahulukan kasih daripada pertikaian. Dia berharap Diana menginspirasi lebih banyak orang untuk berempati pada lawan tanpa penghakiman. Alhasil, dalam dunia DC, Wonder Woman memang dikenal sebagai super hero yang tak ringan tangan. Dia lebih dulu mengulurkan jabatan pertemanan daripada ajakan bertarung. 

Terlepas dari berbagai kontroversi yang meliputi komik Wonder Woman di awal-awal, semakin modern, adaptasi Wonder Woman sudah lebih disempurnakan sesuai dengan harapan awal penciptanya. Patty Jenkins, sutradara dan penulis naskah untuk film Wonder Woman dan Wonder Woman 1984, memang sengaja membuat Wonder Woman lebih stoic dari sebelumnya demi memperkuat latar belakang karakter Wonder Woman itu sendiri (dari Yunani Kuno). Diana adalah makhluk setengah dewa, atau the chosen one. Diana mengambil tanggungjawab untuk menyelamatkan umat manusia dari kejahatan. Terlepas dari kekuatan fisik dan persenjataan para dewa yang ia miliki, Diana juga mendapatkan tantangan mental sampai emosional dari lawannya.

Beberapa nilai-nilai kebajikan stoa, yang sudah dijelaskan di atas, tersemat dalam adaptasi Patty Jenkins mulai dari film Wonder Woman pertama, hingga yang paling baru ini.



1. Bukan Tentang Siapa yang Pantas, Tapi Tentang Apa yang Kita Percayai

Kalimat tersebut merupakan pesan pertama dalam film Wonder Woman tahun 2017 lalu. Sebelum pertarungan terakhir melawan Ares, Diana sempat goyah, sebab rupanya, membunuh General Ludendorff yang ia percayai sebagai biang peperangan saja tidak cukup menghentikan peperangan. Rupanya memang manusia suka berperang, dan Ares tak pernah menyuruh mereka melakukan apa pun, dia hanya membisikkan kebenaran, tapi tak pernah mempengaruhi manusia untuk menyerang satu sama lain. Ares bukan Dewa Perang, melainkan Dewa Kebenaran. Kebenarannya, memang hati manusia mudah dinodai.

Tapi Diana tidak sepenuhnya percaya pada Ares. Diana juga mengenal manusia-manusia yang baik, seperti Betsy, Steve Trevor, dan teman-teman seperjuangannya menyelamatkan sebuah kota terpencil di perbatasan Jerman. Manusia adalah makhluk yang kompleks, ada yang baik dan ada yang buruk, tak sekedar semua hitam dan putih saja. Mengenal Steve Trevor membuka mata Diana dan melihat manusia dengan sudut pandang yang baru; dia percaya kalau memang ada orang-orang yang jahat, tapi dia juga percaya kalau ada orang-orang baik. Tak semua yang hidup pantas mendapatkan hidup, dan tak semua yang sudah mati pantas untuk mati. Tak semua manusia akan tetap jahat, mereka juga bisa berubah menjadi baik suatu hari nanti. Persis seperti pengertian “kebijaksanaan” dan “keadilan” sesuai dengan pengertian stoisisme; bijaksana dalam melihat dan menilai yang baik dan yang buruk, adil dalam memperlakukan orang lain. 

Diana tak semerta-merta membunuh Doctor Poison, tangan kanan General Ludendorff. Diana mampu melihat kalau wanita itu pun juga korban dari Ares dan ketidakmengertiannya memilah mana yang baik dan yang buruk untuk dilakukan.


2. Dibutuhkan Keberanian untuk Menerima Kebenaran

Ini adalah inti dari film Wonder Woman yang ke-2. Ketika Diana merasa kesepian dan mendapati dirinya merindukan sosok Steve Trevor, Diana tanpa sengaja meminta pada batu Dreamstone untuk membawa Steve kembali ke kehidupannya. Dan benar saja, Steve kembali. Namun, kemudian, Diana mempelajari kalau Dreamstone diciptakan oleh Dewa Kebohongan, ada harga yang harus Diana bayar untuk keinginannya, Diana pun, perlahan-lahan, kehilangan kekuatannya.

Dengan keadaan dunia di ambang kehancuran, Diana mau tak mau harus mencabut permohonannya dan kehilangan Steve Trevor sekali lagi. Tapi Diana tahu, Steve memang sudah tiada, dan itulah kebenaran yang harus ia terima dengan berani. 

“Dikotomi Kendali” merupakan salah satu dari banyaknya ajaran Stoisisme yang lain; ada hal yang bisa kita kendalikan dan ada hal yang tidak. Kematian Steve Trevor merupakan satu hal yang tidak bisa Diana kendalikan. Tapi dia bisa menyelamatkan dunia hari ini, dan pilihan itu ada dalam kendalinya. 

Keberanian merupakan satu dari empat kebajikan utama Stoisisme. Dengan melepaskan Steve Trevor sekali lagi, Diana mengambil sikap berani dan tabah untuk menerima kenyataan; semua orang yang ia sayangi mungkin akan pergi suatu hari nanti secara alami. Tapi, segalanya tetap indah apa adanya. Dan ada begitu banyak hal di dunia ini yang tetap indah, walau pun Steve sudah tak lagi bersamanya.


3. Kehidupan Diana Prince yang Jauh dari Sorotan Media

Diana tidak pernah mau disorot oleh media saat dia beraksi sebagai Wonder Woman. Bahkan dengan sengaja, Diana selalu awas pada kamera CCTV yang mungkin akan membongkar jati dirinya. Tanpa busana Wonder Woman pun, dia hidup sederhana seperti manusia pada umumnya, punya pekerjaan dan profesi. Bahkan dalam film ke-2, Diana bercerita pada Barbara Minerva (yang nantinya akan menjadi Cheetah) kalau dia jarang keluar rumah, tidak pernah ikut berpesta atau berkencan. Dan dengan pengetahuan yang dia miliki, Diana masih tetap belajar dan mengembangkan dirinya. Kalau bukan kesederhanaan, entah apa lagi sebutannya.


4. Tidak Menjadi Sama Seperti Lawannya

Balas dendam terbaik adalah dengan tidak menjadi sama seperti musuhmu, tulis Marcus Aurelius dalam bukunya, Meditations. Ada alasan mengapa Cheetah dan Ares adalah Arc Nemesis terbaik untuk Wonder Woman. Mereka punya kesamaan dan perbedaan yang selaras.

Sama dengan Cheetah (Barbara Minerva), Diana menginginkan hal yang nyaris mustahil. Keinginan keduanya dikabulkan oleh Dreamstone; Barbara menjadi cantik, kuat, seksi, dan keren seperti Diana; dan Diana memiliki Steve Trevor kembali dalam hidupnya. Yang berbeda dari keduanya adalah keputusan yang mereka ambil. Ketika Diana berani menarik kembali permohonannya, Barbara melakukan sebaliknya, dia ingin mempertahankan kekuatannya.

Sementara, dengan Ares, Diana sering sekali nyaris terpengaruh oleh Ares, baik dalam film mau pun komik. Dalam film pertama, Diana hampir percaya kalau semua manusia tidak pantas diselamatkan, bahkan nyaris mengikuti keinginan Ares untuk menghabisi seluruh umat manusia sekalian. Tapi Diana sering kali berhasil mengambil keputusan yang sebaliknya; keputusan yang berbeda dari lawannya.



Tidak seperti pahlawan super tradisional lainnya, Wonder Woman bertarung TIDAK hanya menggunakan kekuatan fisik saja, tetapi juga akal sehat dan hatinya. Cinta, kebijaksanaan, dan belas kasih Diana akan membimbing kita untuk membuat dunia menjadi lebih baik.


Referensi Luar

Tesalonika

Interdisciplinary artist with background studies in Japanese literature, humanities and creative robotics. Learn more: tesalonika.com instagram email

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.