Siapa yang tidak kenal dengan Harry Potter? Cerita karangan JK Rowling tentang anak laki-laki yang selamat dalam sebuah pembantaian dan diramalkan akan menyelamatkan dunia sihir dari kuasa jahat si Voldemort. Semasa kecil, setidaknya masa kecil saya dulu, pasti film “Harry Potter and The Sorcerer’s Stone” diputar di televisi, sementara film terbarunya tayang di bioskop.
Saya mengenal cerita Harry Potter jauh lebih lambat daripada teman-teman seangkatan dulu. Berhubung membaca novel bukan hobi saya juga pada waktu itu, jadi saya pun baru menonton Harry Potter sejak film ke-4, “Harry Potter and The Goblet of Fire” dibintangi oleh Robert Pattinson sebagai Cedric, dan Katie Leung sebagai Cho Chang. Dan baru mengejar ketinggalan setelah itu.
Sebenarnya, saya juga sempat menjadi fans berat Harry Potter. Saya menyalahkan World Building-nya yang keren dan petualangannya yang seru. Memang sih, Harry Potter lebih seperti film misteri detektif ketimbang sihir menyihir. Menebak-nebak siapa dalang dibalik terjadinya suatu keganjilan memang seru bagi saya. Itu saja premis film ini dari yang pertama sampai terakhir. Kisah fantasi penyihir yang bersembunyi dibalik jubah misteri detektif.
Kesuksesan film dan novel Harry Potter memang sudah tidak terelakkan. JK Rowling banjir duit, mulai dari hasil penjualan novel dan film, aksesoris dan merchandise, lalu taman hiburan juga... Tak heran kalau Rowling sempat menjadi penulis terkaya di dunia. Semua orang tampak menggilai Harry Potter. Bahkan dulu perilisan buku barunya dirayakan dimana-mana, dimuat oleh berbagai majalan, jadi pembicaraan panas di sekolah-sekolah, dan mengakibatkan antrian panjang di toko-toko buku. Mungkin, sedikitnya kita perlu berterimakasih pada Harry Potter yang telah berjasa menggugah minat baca anak-anak di generasi saya (dan termasuk saya sendiri).
Sayangnya, kejayaan Harry Potter dan JK Rowling harus berakhir. Menjelang perilisan film terakhirnya, JK Rowling mulai mengeluarkan komentar-komentar tak diminta. Fakta-fakta yang masih berhubungan seputar dunia Harry Potter tersebut dituangkan Rowling melalui cuitan di Tweeter. Barangkali masih ada yang ingat sewaktu Rowling bilang Dumbledore adalah seorang homoseksual? Saya sudah lupa di tahun berapa dan kelihatannya saya pun kesulitan menemukan cuitan tersebut sekarang. Tapi yang saya ingat, di masa yang sama, pergerakan menormalisasi LGBT baru mulai digalakkan, same-sex married mulai dilegalkan di Amerika dan berbagai belahan dunia lain pun menyusul. Dan di masa yang sama juga, belum banyak film-film box office atau pun novel populer berani menyajikan tokoh dengan orientasi seksual yang berbeda.
Pemaparan Rowling mengenai salah satu tokoh paling dicintai dan disegani di
Harry Potter, membuat beberapa orang garuk-garuk kepala. Bukan dari
orang-orang yang bigot belum punya pemikiran
terbuka saja, tapi juga dari fans Rowling lainnya. Mereka menyayangkan,
kenapa Rowling tidak membuka fakta tersebut dalam buku, tapi malah lewat
cuitan.
Dewasa ini, Rowling pun dikenal sebagai penulis yang problematik ketimbang bertalenta. Komentarnya tak berhenti seputar Harry Potter tapi juga mengacu pada sosial dan politik. Salah satu komentarnya yang salah kaprah mengenai PewDiePie (Pewds) sempat membuat seluruh dunia beranggapan Pewds adalah YouTuber yang problematik dan Disney pun membatalkan kontrak mereka dengan Pewds dan Revelmode (network penggalang dana bentukan PewDiePie, JackSepticeye, dan Markiplier).
Novel terbaru Rowling, diterbitkan dengan nama Robert Galbraith, tak lepas juga dari kontroversi, karena dianggap mengandung tema transfobia. Benar atau tidaknya klaim tersebut, saya tidak membaca novelnya karena genuinely tidak tertarik jadi saya tidak bisa mengkonfirmasi apa pun. Yang jelas, akibat promblematika yang terus berlanjut soal JK Rowling, banyak fans memutuskan pergi; ada yang memilih tidak menyukai Harry Potter lagi, ada juga yang masih menyukai Harry Potter tapi tutup mata pada JK Rowling.
Sekarang, semua hal mengenai JK Rowling, membuat saya sendiri juga bertanya-tanya kadang, ada apa dengannya? Apa yang membuatnya memulai segala kegilaan ini? Dan apakah dia sendiri sadar dengan hal yang dia sedang lakukan?
Cerita Harry Potter Sebenarnya Overrated
Cara paling mudah ketika mencoba memahami pemikiran seorang penulis adalah melalui karyanya. Sifat tokoh Harry Potter sendiri terkesan terlalu hero-complex, dia merasa harus menyelamatkan semua orang, karena dia merasa dirinya adalah Sang Terpilih (the chosen one).
Disadari atau tidak, mungkin ada bagian dari Rowling yang tertuang dalam tokoh utama ceritanya. Komentar-komentar tak diminta dari cuitan berbau sosial politik, bisa jadi berasal dari dorongan dalam diri Rowling untuk membenarkan keadaan yang dia anggap salah.
Sebesar apa pun impact yang dimiliki oleh Harry Potter, sebenarnya cerita tersebut terlalu overrated. Semua tokoh, termasuk Harry Potter dan penjahat utamanya, Voldemort, terlalu dangkal dan hampir tak ada perkembangan karakter sama sekali. Tidak ada alasan yang jelas mengapa Voldemort menjadi Voldemort yang amat jahat dan bengis. Keinginan dan kebutuhan tokoh hampir tidak ada, kalau pun ada, hanya sedangkal “inggin menjadi pahlawan” atau “menguasai dunia”. Saya mengikuti Harry Potter jujur saja karena tertarik dengan Voldemort. Saya ingin tahu, apa sih yang membuat Voldemort sejahat itu? Namun, sayangnya, sampai akhir cerita, pertanyaan saya tak pernah terjawab. Dia jahat (titik). Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai motivasi dan latar belakang penokohannya.
Cukup dimengerti karena kisah Harry Potter sebenarnya sejenis escapism bagi anak-anak. Hogwarts adalah tipe sekolah yang kita inginkan semasa kecil. Lebih seru mempelajari sihir dan hewan-hewan magis daripada belajar matematika atau biologi. Pembangunan dunia sihir Rowling hanya berpusat pada Hogwarts. Dan kalau boleh jujur, tidak ada sistem yang jelas mengenai penggunaan sihir di dunia Rowling. Satu-satunya mantra paling mematikan adalah avadakedavra, tapi mantra itu adalah mantra terlarang dan biasanya hanya digunakan oleh pengguna sihir hitam, seperti Voldemort dan pengikutnya. Jadi kira-kira bagaimana Harry Potter, Dumbledore, dan pengguna sihir putih lainnya mempertahankan diri? Hanya pakai sihir defense seperti accio atau wingardium leviosa. Oh well, kalau katanya Voldemort mau menguasai dunia muggle, apakah dia akan me-wingardium leviosa sebuah tank dan bom nuklir? Saya tidak yakin, strategi tersebut akan terlaksana dengan baik.
Kebenaran fiksi, menurut Burhan Nurgiantoro dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diakui “keabsahannya” sesuai dengan pandangan terhadap masalah hidup dan kehidupan. Dari pengamatanku, sistem dunia sihir Rowling berlandas pada hitam dan putih tok. Dan ini tercermin dari pola pikirnya juga. Pemikiran seperti ini sebenarnya bisa jadi berbahaya dalam taraf tertentu. Apalagi menilai manusia yang kompleks, bisa jadi abu-abu, bukan sekedar siapa pahlawan dan siapa penjahatnya.
Kenapa Naskah Harry Potter ditolak Berkali-kali oleh Penerbit?
Kalau pengalaman saya yang sempat menjadi editor masih berlaku, sebenarnya saya tidak kaget kenapa cerita Harry Potter tidak diterima oleh penerbit. Penerbit mencari naskah dengan bab awal yang mampu menarik perhatian pembaca tanpa membaca belasan atau puluhan bab setelahnya. Sementara bab awal Harry Potter sebenarnya tidak buruk, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan penerbit. Dalam bab 4 atau 5, mungkin, saya tidak ingat, barulah Harry Potter menyajikan berbagai hal yang menarik untuk pembaca (demografiknya, dalam kasus ini, anak-anak). Anak-anak tak ingin menebak-nebak sesuatu, mereka ingin “menemukan” lebih banyak tentang dunia Harry Potter.
Tidak heran, kalau kita kilas balik cerita bagaimana naskah Harry Potter akhirnya diterbitkan, sebenarnya karena naskah tersebut ditemukan dan dibaca oleh anak pemilik penerbit. Anak perempuan itu membaca tentang Hogwarts, ia meminta ayahnya untuk melanjutkan kisah tersebut karena ia ingin “menemukan” lebih banyak tentang Hogwarts. Ahem... escapism. Jenis penulisan Rowling sebenarnya sederhana, sangat simpel, tapi parafrasa yang ia gunakan membuat seseorang mengira dia membaca suatu naskah yang kompleks padahal tidak. Jenis penulisan Rowling memang sulit dimengerti oleh orang dewasa, tapi sangat disukai oleh anak-anak. Simpel, tapi vivid dalam menggambarkan hal-hal yang perlu dijelaskan.
Hal lain yang membuat orang dewasa kesulitan melihat nilai dari naskah Rowling adalah karena cerita Harry Potter sebenarnya tidak benar-benar memiliki “plot”. Coba, apakah kalian masih ingat “plot” dari The Chamber of Secret? Satu buku penuh, ceritanya hanya tentang Harry menemukan buku harian Tom / Voldemort, dan menyelamatkan Ginny dari pelet-nya Voldemort. Kenapa? Karena...lagi-lagi, keinginan dan kebutuhan Harry tidak jelas. Harry Potter sebagai karakter utama, tidak benar-benar memiliki karakter, alih-alih perkembangan karakter selama 6 buku dan 7 film berlangsung. Karena tak ada keinginan dan kebutuhan yang jelas, Harry lebih seperti diseret-seret oleh alur cerita ketimbang “memilih” apa yang akan ia lakukan karena suatu kejadian. Cause and effect jadi tidak benar-benar ada. Sebagian atau lebih kisah Harry Potter lebih mengarah pada sisi escapism tadi. Berusaha menggaet pembaca dengan kerennya sekolah Hogwarts dan lain sebagainya ketimbang memajukan poin-poin plot.
JK Rowling juga Manusia
Sebelum JK Rowling bergelimangan harta, dia adalah seorang single parent yang tak punya banyak uang. Dia tinggal di sebuah flat murah di London dan berusaha menghidupi keluarganya dengan penghasilan yang tak seberapa. Naskah Harry Potter yang ia tulis juga berkali-kali ditolak oleh penerbit. Sampai akhirnya, suatu hari, keberuntungan datang, naskahnya diterima dan sekarang dia menjadi salah satu penulis terkaya.
One time hit author adalah fenomena yang biasa. Banyak penulis dari luar atau pun lokal yang terkenal dan mendadak kaya karena satu karyanya meledak di pasaran. Tapi “biasa” belum tentu membuat orang yang mengalaminya terbiasa. Dunia berubah dengan sangat cepat ketika Harry Potter berakhir. Ingatkan bagaimana industri film dan penerbit berusaha memenuhi keinginan pasar untuk menerbitkan dan membuat lebih banyak film dengan tokoh utama kulit hitam, wanita, atau tokoh non-heteroseksual. Sementara, Harry Potter adalah tipikal cerita white savior, tokoh utama laki-laki kulit putih, yang konon akan menjadi penyelamat umat manusia dan penyihir. Ahem... Mungkin Rowling tahu, cepat atau lambat keberuntungannya mulai habis.
Menurut saya, Rowling sedang berusaha membuat karyanya tetap relevan di tengah pergerakan sosial pada masa itu. Tapi sayangnya, semakin dia berusaha memegang kendali, semakin orang membenci tindakannya. Rowling sampai dikenal sebagai seorang penulis bertangan besi, usahanya sampai sejauh menjaga IP (Intellectual Property) Harry Potter dengan amat sangat ketat, melarang adanya fanfiction.
Hanya Harry Potter yang Rowling miliki untuk saat ini. Dan melihat pandangan orang tentangnya sekarang, membuat saya meragu siapa pun akan melirik karya barunya lagi di masa depan. Kalau seandainya, Rowling meninggalkan Harry Potter sebagaimana mestinya, mungkin orang-orang masih akan menyukai dan membicarakan karyanya, bahkan memaafkan kekurangan dari cerita tersebut. Tetapi, bukannya meninggalkan karya yang sudah berakhir dan fokus membuat karya baru yang lebih baik, Rowling berupaya untuk memperbaiki masa lalu. That doesn’t work very well, does it?