Kalau kamu seperti saya, orang yang suka nontonin review film dari luar, sembari mereview film untuk penonton Indonesia, pasti terasa bedanya, antara cara orang barat mereview film dengan cara orang Indonesia mereview film. Di luar (dan saya rasa di Indonesia pun sama) film itu bisnis. Harga bioskop tidak semurah di Indonesia. Kalau di Indonesia harga satu tiket tidak sampai 50ribu rupiah (weekdays), sementara harga tiket di luar negri, seperti Singapore misalnya, satu tiket bisa sampai 150ribu rupiah (weekdays) dan 250ribu rupiah (weekend).
Gunanya review film di luar hampir sama seperti review barang elektronik di Indonesia. Harga tiket bioskop yang mahal, tentunya membuat orang berhati-hati "menghabiskan" uang mereka untuk menonton film. Nggak bisa nonton sembarang film, kalau filmnya jelek, rugi dong. Sementara kalau di Indonesia, film jelek pun nggak ada masalah, toh harga tiketnya nggak terlalu mahal. Tetap rugi tapi nggak sebanyak kerugian yang dirasakan penduduk di negara dengan harga tiket nonton mencapai 250ribu rupiah, kan?
Di Indonesia, posisi review film agak berbeda, bukan ke arah mana yang worth it ditonton, tapi lebih ke rekomendasi tontonan kalau lagi ada waktu atau mau jalan bareng teman. Dengan kata lain, orang Indonesia yang mengulas film lebih melihat ke arah "seru" atau tidaknya sebuah film, "bagus" atau tidaknya jalan cerita tersebut, juga "mudah" atau tidaknya cerita film tersebut diterima oleh masyarakat kita. Misalnya dalam scenario yang sering terjadi saat mengobrol dengan teman atau saudara, seperti ini:
si A: "Nonton film Tenet yuk!"
si B: "Yakin? Ceritanya kompleks banget."
si A: "Aduh, lagi nggak pengen mikir, yang film biasa tapi seru aja, ada nggak?"
si B: "Kalau mau animasi, ada Soul-nya Pixar, kalau mau yang film orang, ada Wonder Woman 84."
si A: "Nah! Animasi aja, pasti lucu!"
Kurang lebih seperti itulah hasil pengamatan saya. Kita melihat ulasan film seperti mau beli barang di warung. Sayang anak... sayang anak... boleh kakak film-nya!
Sebagai orang Indonesia, saya merasa review-nya orang luar tidak terlalu memberi dampak ke pilihan film yang akan saya tonton di bisokop, dibilang jelek pun, saya paling tetap akan menonton, walau dengan motivasi, "kenapa ya, kok dibilang jelek?" Dibilang kurang kreatif atau ceritanya masuk ke berbagai kategori trope pun, saya akan tetap menyukai filmnya. Mungkin balik lagi ke soal selera.
Orang Amerika, menonton film buatan Amerika, rasanya akan berbeda dari orang Indonesia yang menonton film Amerika. Orang Amerika menonton film Amerika, bisa jadi seperti orang Indonesia menonton film Indonesia. Kita yang tidak tinggal di negara asal pembuatan film tersebut, mungkin akan terkendala dalam segi pemahaman budaya dan sosial yang terkandung dalam film. Misalnnya, "Once Upon a Time in Hollywood" (2019) kurang dimengerti oleh penonton Indonesia, sebab tak banyak dari kita yang paham / tahu-menahu kasus pembantaian keluarga aktris Sharon Tate di 1969. Kalau orang Amerika pasti langsung paham, kenapa ending dan jalan ceritanya seperti itu. Hollywood dikenal dengan gaya film mereka yang selalu "Happy Ending". Orang Amerika yang tahu Sharon Tate meninggal di tangan pengikut sekte Charles Manson, pasti paham apa yang sedang dilakukan Quentin Tarantino, mencoba menulis ulang malam tragis dari lensa kamera Hollywood (alias dibuat Happy Ending). Saya yang awalnya juga tidak paham-paham amat, mau tidak mau googling usai menonton.
Mengamati hal tersebut, saya rasa masih ada harapan dan peluang bagi film-film Indonesia untuk dicintai rakyatnya. Dulu Indonesia pernah punya film-film yang berani, menampilkan tokoh LGBT dalam Arisan (2003), Coklat Stroberi (2007), dan tak lupa Lovely Man (2011) yang tak hanya berani menceritakan tokoh transgender, tapi juga menyajikan sebuah cerita mengharukan nan realistis. Kemudian ada Siti (2014), bercerita tentang seorang istri dan ibu dari keluarga menengah kebawah, yang harus menghidupi keluarganya sebab suaminya jatuh sakit, sempat tayang sejenak di bioskop beberpa tahun lalu. Film-film tersebut punya cerita sederhana yang sampai sekarang masih memberi kesan mendalam bagi saya, setidaknya, yang pernah menonton, dan selalu saya rekomendasikan pada teman-teman dari luar negeri yang ingin menonton film Indonesia.
Rekomendasi lain:- Petualangan Sherina (2000)
- Lentera Merah (2006)
- Ayat-Ayat Cinta (2008)
- Pintu Terlarang (2009)
- Habibi & Ainun (2012)
- Crazy Awesome Teachers / Guru-guru Gokil (2020)
Entah apa yang terjadi dengan film-film Indonesia di tengah jalan... pupus. Film Indonesia yang bagus dan mudah diakses paling bisa dihitung jari dan pasti dibintangi oleh Reza Rahadian. Bukannya memilih pemain film karena kemampuan akting, justru tampang yang jadi penilaian utama, contohnya Paula Verhoeven atau Carissa Perusset. Ehm.... Setiap lihat film Indonesia yang sekarang ini, kalau ditanya pendapatnya, jawabannya selalu, "kecewa tapi tidak kaget."
Masyarakat kita tidak perlu cerita yang terlalu kompleks untuk merasa terhibur. Akting pemain dalam membawakan adegan penuh emosi, yang tak hanya menangis dan marah, tapi juga raut wajah ngempet sewaktu merasakan sesuatu yang ia tahu membuatnya merasa kurang nyaman dan lain sebagainya. Ditambah dengan pengambilan gambar yang apik, soundtrack yang cantik, dan alur cerita yang masuk akal... itu saja.
Film Hollywood juga tidak semua bagus, ada banyak masalah, dan stereotip. Dan saya yakin tidak ada sebuah karya yang sempurna. Akan tetapi, berkaca dari cara orang Indonesia "memilih" tontonan, saya yakin, film kita masih punya harapan di negeri sendiri, kalau seandainya para produser dan sutradara mau mempelajari kesalahan dan kelebihan para sepuh dan mengamati reaksi masyarakat kita.
Mungkin ada semacam fenomena "lost in translation" begitu... Sewaktu orang Indonesia lagi senang-senangnya menonton film superhero Marvel, para pembuat film kita mengira kita mau film superhero, lalu lahirlah Semesta Bumi Langit (SBL). Jangan kira saya pesimis, sebab saya juga menunggu-nunggu kelanjutan dari film-film SBL. Tapi intinya yang disukai orang-orang Indonesia bukan sekedar superhero dan efek CGI mahal.. tapi konfliknya.. aksinya... perkembangan tokoh-tokohnya... easter egg-nya dan... ahem, pesan moral-nya (baik tersirat mau pun tersurat).
Sewaktu film The Raid (2011) sukses di tanah air mau pun di luar negeri, saya tidak heran, sebab film tersebut punya dua wajah yang unik bagi dua kebudayaan berbeda. Bagi kita, orang Indonesia, The Raid adalah film aksi pertama yang mampu memenuhi ekspektasi kita yang sudah sering menonton film aksi garapan Hollywood. Mulai dari pengambilan gambar, koreografi, bumbu misteri dalam cerita, perkembangan tokohnya, semua pas. Dan bagi orang luar negeri yang tak tahu banyak tentang Indonesia, adegan pencak silat (seni bela diri asli Indonesia) terlihat segar dan unch-unch.
Mengingat pembukaan artikel ini, Certified Fresh di Rotten Tomatoes, dan mendapat ulasan positif dari review luar negeri, artinya The Raid, film Indonesia, layak ditonton di bioskop seharga 250ribu per tiket. Apa kita tidak bangga? Saya aja bangga. Sebab ini sebuah pencapaian yang jarang terjadi buat para aktor dan sineas perfilman Indonesia. Sebuah film yang berterima bagi kritikus mau pun penonton, dari luar negeri dan dalam negeri.
Sayangnya, menurutku, yang mematikan film-film Indonesia bagus (dan juga film luar) adalah keserakahan. Kalau ada satu film Indonesia bagus, seperti Habibi & Ainun (2012), para produser film kita cenderung menguangkan judul tersebut habis-habisan. Mulai dari sekuel, prekuel, sekuel prekuel, serial... entah perlu berapa kali Reza Rahadian memerankan Habibie.
Reza Rahadian menjadi simbol dari fenomena lost in translation tadi. Yang diinginkan penonton film Indonesia bukan hanya aktor-nya, tapi kemampuan aktingnya. Yang dipuji bukan judulnya, tapi karena alur cerita dan elemen-elemen yang terkandung dalam film tersebut. Dan mungkin saya bisa mengerti ketakutan investor atau pun produser film Indonesia. Masyarakat kita, mungkin, kebanyakan, belum terbiasa menerima hal baru, judul baru dengan cerita dan pemain yang baru pula. Bukannya membuat karya baru, akhirnya judul film sukses di-abuse habis-habisan. Apa kalau perlu, kita naikin aja harga tiket nonton? Supaya sineas kita juga punya modal buat bikin film berkualitas, dan penonton juga lebih kritis memilih tontonan.
Perjalanan film Indonesia masih panjang. Mungkin juga di depan sana, tak sesuram yang kita bayangkan. Saya ingin melihat film-film Indonesia yang bagus-bagus lagi seperti dulu. Yang berani dan yang mampu mengangkat isu-isu tabu. Menyorotkan lensa kamera pada hal-hal yang tak sering dilihat orang. Saya ingin melihat penampilan aktor dan aktris kompeten. Mungkin, dengan optimisme yang sehat dan segala kerendahan hati, keinginan tersebut bisa dicapai. Kita bisa belajar dari judul-judul sukses, menerapkan alur cerita bernilai ditambah penggarapan yang apik pula. Saya ingin melihat film-film Indonesia lain dengan Certified Fresh bertengger di Rotten Tomatoes.
Saya tidak tahu bagaimana mengakhiri postingan panjang ini. Mungkin saya perlu bilang, kalau ini hanya opini saya. Bisa jadi saya salah. Kalau kalian berpendapat lain, boleh dong dibagi... :D
thanks for your information, dont forget to visit airlangga university website https://www.unair.ac.id/2022/05/28/dosen-unair-film-jadi-media-potensial-populerkan-cerita-tradisional/
BalasHapus