Mengadaptasi buku ke layar lebar, selalu menjadi hal yang sulit. Apalagi kalau bukunya diceritakan dengan sudut pandang orang pertama. Novel pemenang penghargaan Pulitzer karangan Donna Tartt berjudul The Goldfinch, padat akan narasi dan juga kaya akan gaya penulisan tematik. Dan ketika diterjemahkan dalam bahasa visual, malah menghasilkan film yang boring.
Berkisah tentang Theo Decker, seorang anak laki-laki yang ibunya tewas setelah pemboman di galeri seni New York City. Di tengah panasnya moment tersebut, Theo mencuri lukisan yang sangat berharga bernama "The Goldfinch". Sebuah lukisan yang, tanpa sepengetahuannya saat itu, akan mengubah jalan hidupnya.
Film di mulai dari adegan Theo dewasa meminum obat di sebuah kamar hotel sewaan, mencoba membunuh dirinya karena sebuah penyesalan yang kita belum mengerti. Kemudian adegan kilas balik dimunculkan, seiring dengan narasi dari Theo dewasa, menyusul pada kejadian di kamar hotel tersebut di akhir cerita. Tentang pemboman di galeri seni yang menewaskan ibunya, tentang Mrs Barbour yang mengangkatnya sebagai anak sampai suatu hari dia dijemput oleh ayah kandungnya dan harus pindah dari New York ke LA, lalu ketika Theo berteman dengan Boris, bocah Rusia yang sudah kecanduan alkohol hingga narkoba, dan memiliki ayah yang suka memukul. Di sela-sela semua adegan itu, Theo juga sering melihat kembali ke pemboman di galeri New York, saat dia tanpa sengaja mencuri lukisan “The Goldfinch” dan selalu membawanya kemana pun dia pergi, dan tak memberitahu siapa pun kecuali Boris.
Satu-satunya bagian yang paling seru dari film ini hanya bagian menjelang akhir. Ketika Theo dan Boris berusaha mendapatkan kembali “The Goldfinch” dari tangan bandar narkoba terbesar di Amsterdam. Dan di bagian akhir film itu pula, dialog menonjok dipaparkan melalui Boris dewasa, bahwa selama ini, Theo merasa telah membunuh ibunya sendiri, dan menganggap dirinya bukan orang baik-baik, makanya dia pantas mati dan ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi.
Kalau seandainya film ini tidak pernah ada, sepertinya novel karya Donna Tartt sendiri sudah cukup menjadi wakil penyampai pesan indah yang tersemat dalam kisah “The Goldfinch”. Sayang sekali, padahal sinematografinya apik, dan pemeran dalam film ini pun juga tak ada yang kurang, tapi alurnya, menurut saya, kurang bagus dan terlalu lambat, sampai terkesan diseret-seret. Masalahnya, juga, kisah Theo Decker tidak bisa disampaikan secara visual dan mengandalkan paparan kejadian hidupnya, tapi penjelasan intim dari hatinya ke benak pembaca.
Entahlah, saya pun bingung. Novelnya keren sekali, tapi filmnya malah mengecewakan. Saya rasa bahasa visual bukannya memperkuat, tapi malah menghilangkan keintiman cerita ini dengan penonton. Pergumulan hatinya Theo, dimana dia membenci dirinya dengan amat sangat, kekecewaan pada ayahnya, kebingungannya ketika menyadari lukisan The Goldfinch hilang... Kalau novelnya berhasil memberi kalimat menohok dari Boris dan menyampaikan isi kepala Theo dengan baik, dalam film ini dialog-dialog tersebut jadi terkesan maksa, demi menyudahi siksaan film ini saja. Penampilan Elgort yang sebenarnya baik-baik saja, jadi aneh dan terkesan tidak nyambung dengan pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.
Posting Komentar
Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.