AKB48: Bisnis Jualan Mimpi – Fenomena Jatuhnya Grup Idola Terbesar dari Jepang

akb48 yasushi akimoto fraud
Imagine them performing with Social Distancing, I mean, seriously.

Siapa yang tak kenal dengan idol grup asal Jepang, AKB48? Mereka menjadi idol grup yang memiliki anggota terbanyak di Jepang, atau malah dunia. Bahkan Indonesia pun punya sister group dari AKB48 ini, yaitu JKT48.

Pada tahun 2010–2012, AKB48 dan saudara-saudaranya (SKE48, NMB48, HKT48, serta grup percabangan di negara lain, JKT48, SNH48, dan lainnya) sempat populer, dan bisa dibilang di tahun-tahun itu, mereka dalam masa keemasan. Lagu-lagu mereka selalu menjadi nomor satu di Jepang, mereka menggalang dana untuk bencana alam pada tahun 2011, dan bisa dibilang, mereka memegang “soft power” terkuat pada masanya. Anggotanya dipilih dari orang-orang biasa, kebanyakan anak-anak sekolah, yang punya impian menjadi aktris, penyanyi, penari, pokoknya ingin tenar.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, roda telah berputar, mereka pernah ada di atas, dan kini berada di bawah. AKB48 dan grupnya tidak setenar dulu. Kejatuhan itu diawali dari keluarnya salah satu anggota inti mereka, Maeda Atsuko, dan kemudian disusul oleh anggota-anggota inti lainnya. (Mereka menyebut istilah keluar dari grup dengan “graduate” atau “lulus”. Kalau begitu bisa saya katakan, mereka yang sudah bersolo karir sebagai “alumni” grup 48.) Belum lagi, beberapa anggota — termasuk anggota inti — terlibat masalah karena melanggar golden rules utama, yaitu larangan berpacaran. Kemudian datang pula isu narkoba, mafia, dan lain sebagainya, yang semakin lama ikut menenggelamkan — bahkan mencemari — nama AKB48, idol grup yang selama ini terkenal karena selalu bekerja keras untuk meraih impian.

Minegishi Minami (AKB48) terkena skandal sex dan ketahuan berpacaran. Minami mencukur rambutnya sebagai permintaan maaf.

Sekarang, lagu-lagu mereka tidak lagi terdengar, anggotanya pun sudah silih berganti, begitu banyaknya hingga sulit untuk diingat. Bahkan alumni nya juga semakin jarang terlihat. Lalu, baru-baru ini, warga Jepang memprotes keinginan pemerintah untuk menampilkan AKB48 dalam acara Olympic 2020 di Jepang. Banyak yang berkata, grup yang pernah menggalang dana untuk bencana alam 2011 lalu ini, sebagai aib Jepang. Mereka dianggap tidak mencerminkan budaya Jepang sama sekali. Dan penampilan AKB48 dalam acara Japan Expo di Thailand sempat menuai caci maki dari fansnya sendiri.

AKB48 tampil di Thailand dalam acara Japan Expo yang berakhir bencana.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan grup ini? Grup yang selama ini dikenal sebagai idol grup terbaik dan beranggotakan gadis-gadis yang gigih untuk meraih impian. Mengapa “alumni” nya pun ikut tenggelam setelah mereka “lulus”?

Saya akan mencoba membahasnya dalam artikel ini.

{alertError} Kami percaya pada hak setiap orang untuk memilih dan memilah informasi. Apabila Anda bukan orang yang mampu mendengar kritik / tidak mudah menerima pendapat dari sudut pandang berbeda, segera beralih. Jadilah pembaca yang bijak.


“Meraih Impian”? What a bullshit!

AKB48 dibentuk pada tahun 2005 di Akihabara, Tokyo, dan dibuat oleh penulis lirik lagu terkenal, Akimoto Yasushi. Teater pertama mereka berada di gedung Don Quixote di distrik Akihabara — dari situ pula mereka mendapat nama AKB. Anggotanya dipilih dari audisi, dan dua puluh orang terpilih menjadi generasi pertama, yang kemudian disebut sebagai Tim A.

Awalnya mereka tidak dikenal, dan bisa dibilang tidak ada yang tertarik. Anggotanya hanya berisikan gadis-gadis biasa, yang berusaha untuk meraih impian mereka. Mereka sampai menebarkan brosur di jalanan, dan hanya bermodal pada kerja keras, serta keyakinan bila suatu hari mereka akan meraih impian, menjadi terkenal. Pertunjukan pertama mereka hanya ditonton oleh tujuh orang, dan mereka tetap menampilkan performa terbaik mereka sebagai idol amatiran.

Percepat waktu hingga 6 tahun kemudian, AKB48 mengadakan konser tunggal di Tokyo Dome. Itu adalah penanda puncak kejayaan Grup48 yang akhirnya sudah beranggotakan lebih dari 100 gadis remaja, dan memiliki jutaan fans yang rela mendukung anggota favorit mereka untuk meraih impiannya.

Begitu cerita yang saya tahu mengenai AKB48 ini. Namun, apakah benar grup ini diciptakan agar anggotanya bisa meraih mimpi?

Walau memang promosinya seperti itu, namun dari yang saya lihat dan amati, AKB48 tidak lebih dari sakadar pertunjukan pencarian bakat seperti Indonesian Idol, atau X Factor. Mengapa? Sebab, dua acara televisi di atas juga menjual hal yang sama. Impian. Bukan hanya pada anggota grup itu sendiri, tapi diutamakan pada fans.

Transformasi Itano Tomomi (AKB48).

Siapa yang tidak terhenyuh melihat gadis-gadis remaja biasa berjuang untuk menghibur fansnya, hingga akhirnya mereka bisa menjadi idol grup nomor satu di Jepang serta namanya dikenal oleh dunia? Budaya populer adalah soal itu, menemukan apa yang diinginkan oleh masa, untuk dijadikan uang.

Saya rasa yang membentuk AKB48 mengerti betul akan impian dari setiap orang. Orang yang biasa-biasa saja, tentu ingin menjadi luar biasa suatu hari nanti. Anggota grup ini berubah, bertransformasi, dari culun menjadi sangat cantik. Transformasi dari orang biasa, menjadi idol, adalah letak nilai jual utama grup 48. Mereka menjadi role-model bahwa seseorang bisa berkembang, menjanjikan bahwa kerja keras akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Setiap anggota memiliki kisah hidup mereka masing-masing, dan fans berhak memilih anggota mana yang mereka sukai untuk mereka dukung. Sama seperti sistem voting untuk mendukung peserta Indonesian Idol, mana orang yang mewakili daerahmu? Atau peserta mana yang cerita hidupnya mirip denganmu? Penonton, atau fans, dibuat seolah-olah memiliki kuasa untuk mewujudkan impian mereka.

Transformasi dari orang biasa menjadi idol, merupakan nilai jual utama grup 48

Tapi, sama hal nya dengan pemenang Indonesian Idol, kemana anggota mereka setelah lulus dari grup 48?


Dari Tanah Kembali Ke Tanah

Selamanya, orang biasa akan tetap kembali menjadi orang biasa, mau seberapa besar pun impian mereka untuk mencapai langit, kerja keras saja tidak cukup. Demikian pula dengan AKB48. Mereka yang diambil dari orang biasa, setelah lulus, tidak lagi memiliki kemampuan untuk bersaing dalam industri hiburan yang sangat ketat.

AKB48, tidak lebih dari sekadar alat menjual angan-angan. AKB48 tidak pernah dibentuk untuk mengasah bakat, namun untuk menjual mimpi. Tidak ada satu pun anggotanya yang benar-benar bisa menari atau menyanyi. Tidak ada satu pun anggotanya yang memiliki bakat berakting, dan tidak ada yang punya jiwa seni.

Semasa di dalam grup, posisi mereka aman, karena lagu-lagu dan koreografi itu telah ditentukan oleh si pembuat. Namun, ketika mereka keluar, tidak ada modal yang membantu mereka untuk bertahan lama dalam derasnya persaingan.

AKB48 tidak pernah dibentuk untuk mengasah bakat, namun untuk menjual mimpi.

Hal ini juga terjadi pada peserta X Factor. Harry Styles (ex-One Direction), Zayn Malik (ex-One Direction), Camilla Cabello (ex-Fifth Harmoni), mereka bukan pemenang dari ajang pencarian bakat tersebut, namun nama mereka sekarang lebih dikenal dari yang memenangkan acara itu. Mengapa? Karena mereka memang sengaja tidak dimenangkan. Mereka tidak memiliki faktor x yang membuat mereka layak bersaing dengan orang-orang biasa. Mereka sudah berbakat dari awal, dan acara televisi itu bukan tempat mereka menjadi terkenal. Tujuan utama acara X Factor adalah menjual impian. Saat pertama peserta masuk dalam ruang audisi, kita diberikan sedikit gambaran mengenai kehidupan mereka yang biasa-biasa saja. Lalu, mereka lolos, kita ikut merasa senang, karena itu semacam menjadi pembuktian bahwa kita pun — yang sedang menonton — memiliki harapan untuk meraih impian yang sama pula. Kemudian saat akhir dari keseluruhan acara, kita melihat betapa berbedanya penampilan peserta yang awalnya biasa-biasa saja, kini menjadi lebih cantik, lebih percaya diri, dan lain sebagainya. Dan rupanya, hanya sampai satu album, mereka hilang. Dari tanah kembali ke tanah. Mereka diizinkan menang karena mereka memiliki faktor x itu tadi, orang biasa yang dapat dijadikan luar biasa, demi menarik sebanyak mungkin penonton.

Maeda Atsuko, 2006.

Anggota AKB48 yang telah lulus dari grup tersebut, tidak mampu mencetak rekor yang sama seperti saat bersama grup 48. Hal ini disebabkan oleh anggotanya yang memang tidak memiliki jiwa seni. Mereka tidak dipilih karena bakat, namun memiliki faktor x yang bisa dijual.

Maeda Atsuko misalnya, dia hanya gadis remaja yang tidak cantik, polos, dan memiliki mimpi menjadi aktris. Dia tidak memiliki bakat berakting, jujur saja, dan AKB48 bukan akademi untuk melatihnya agar bisa berakting. Saya sangat setuju memang bila Maeda Atsuko mendapat julukan “wajah dari AKB48” dari penciptanya, Akimoto Yasushi. AKB48 memang menjual cerita hidup, transformasinya, dan impiannya demi mendapat uang dari penjualan album, merchandise, tiket teater, serta konser.

Maeda Atsuko dipeluk oleh Oshima Yuko.

Beberapa tahun setelah dia lulus, saya tidak lagi melihat Maeda tampil dalam film-film besar. Belakangan ini dia hanya mendapatkan peran-peran kecil, atau malah iklan TV. Twitternya juga sudah sepi, terakhir di-update pada tahun 2017 lalu. Fanbasenya sudah mati. Lagunya sudah tidak enak. Pamornya benar-benar turun drastis setelah keluar dari AKB48, karena sejak awal dia memang hanya gadis biasa yang diberi make-over, bukan seniman.

Justru anggota yang memiliki bakat berakting seperti Oshima Yuko, semasa dalam grup AKB, dipukul mundur berkali-kali oleh Management grup 48, diperlakukan sebagai anak tiri. Entah karena tidak percaya, atau karena mereka menyadari Oshima Yuko tidak memiliki faktor x yang semenjual Maeda Atsuko. Memang Oshima Yuko pernah menjadi aktris cilik, sementara Maeda Atsuko memulai dari nol.

Terlepas dari itu, hal ini semakin membuktikan bahwa AKB48 memang tidak dibuat untuk mengembangkan bakat anggotanya, tapi menjual cerita mereka, dongeng, mitos tentang impian pada masyarakat, meyakinkan orang untuk percaya bahwa kerja keras akan membawamu meraih impian. Ya, memang kerja keras akan membawa kita meraih impian, namun hal yang dikerjakan itu juga menentukan. Tidak mungkin seseorang kerja keras menanam padi, kemudian berharap akan memanen pisang. Kalau memang AKB48 adalah tempat meraih impian, maka seharusnya mereka tidak menganaktirikan anggota-anggota berbakat seperti Oshima Yuko, atau anggota lain yang digeser jauh ke belakang.

Tidak mungkin seseorang bekerja keras menanam padi, kemudian berharap akan memanen pisang.

Banyak lulusan mereka yang beralih profesi sebagai bintang porno, atau hilang, lenyap begitu saja. Tidak ada yang mencetak Bagaimana pun kualitas lulusan sebuah grup masih menentukan nilai tempat mereka berasal. Management AKB48 & Akimoto Yasushi, membawa bibit kegagalan itu dari awal, dan kini mereka menuai hasilnya.

Sekarang setelah mereka dihujat oleh masyarakat Jepang, diprotes agar tidak tampil dalam acara paling penting, Olympiade 2020. saya rasa adalah hal yang wajar. Memang ada lebih banyak penyanyi atau band lain yang lebih pantas mewakili Jepang. Kualitas dan koreografi AKB48 yang sudah ketinggalan zaman, akan sangat mempermalukan nama negara asal mereka.

Sudah Gagal Sejak Awal

Bisnis AKB48 dan grup saudaranya, bukan soal mengejar impian, tapi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari kondisi sosial yang mengenaskan. Konsep penjualan mimpi yang bertolak belakang dengan kegiatan grup, membuktikan bahwa AKB48 sudah gagal sejak awal. Selama management memang tidak berniat menggali bakat, atau memberikan pelatihan yang sesuai dengan impian anggotanya, proyek ini tidak akan berhasil.

Setiap orang pasti ingin percaya bila impian mereka akan tercapai, bila suatu hari nanti mereka akan menjadi seseorang yang istimewa, seperti transformasi yang dialami oleh anggota grup 48. Padahal, AKB48 gagal menghasilkan lulusan yang bermutu. Management grup 48 hanya berfokus pada uang, bukan perkembangan anggotanya. Tenggelamnya nama lulusan mereka justru menggali kubur mereka semakin dalam.

Apa yang mereka jadikan nilai jual, kini terbukti hanya sebuah angan-angan semu. “Dukung mereka untuk meraih mimpi!” katanya, benarkah? Bila “wajah dari AKB48” yaitu Maeda Atsuko, tidak menjadi apa-apa setelah lulus, lalu, apa jadinya member lain yang berada di barisan belakang? Tak heran jika semakin lama fans merasa dibohongi, uang mereka dikuras, dan apa pun yang mereka lakukan untuk mendukung anggota kesukaan hanya usaha yang hal sia-sia.

Dari awalnya anggota grup 48 tidak benar-benar memiliki impian, jadi wajar bila mereka memilih masuk ke dalam idol grup yang irrelevan seperti 48. Orang yang benar-benar tahu apa yang mereka inginkan, pasti tidak akan membuang waktu menjadi anggota idol grup, mereka lebih baik berlatih dan masuk dalam lingkungan yang sesuai dengan tujuan mereka. Misalnya, bila ingin menjadi penyanyi, tentunya seseorang belajar dulu memainkan musik, mengarang lagu, kemudian mengirim karya mereka ke record label, atau bahkan mengunggahnya ke internet.

Tenggelamnya nama lulusan mereka justru menggali kubur mereka semakin dalam.

Dalam fenomena penjualan mimpi seperti AKB48, X Factor, atau Indoneisan Idol, sebenarnya, tidak ada yang diuntungkan dalam selain pundi-pundi produsernya. Seberapa pun besar uang yang dikeluarkan fans untuk membeli single, album, tiket pertunjukan, hadiah untuk para idol, tidak akan menjadi apa-apa. Setelah lulus, mereka hanya akan kembali menjadi orang biasa-biasa, dan semua yang dikatakan tentang “idola adalah orang yang berjuang meraih impian” itu bullshit. Mereka berusaha menyepelekan, menggampangkan, proses meraih sebuah mimpi demi mendapat simpati. Coba lihat penyanyi-penyanyi yang sekarang kalian kenal, yang dimulai dari bawah seperti Justin Bieber. Pada mulanya Justin Bieber ditemukan karena dia memang memiliki bakat. Walau diterpa kontroversi, cacian, hinaan, toh, nama & karyanya masih merajai tangga lagu terbaik, memenangkan berbagai penghargaan dan lain sebagainya.

AKB48 sama sekali bukan figur yang patut untuk dicontoh dalam hal meraih mimpi. Indonesian Idol, demikian pula dengan X Factor, semua itu semu, digunakan sebagai media hiburan semata.

Saran saya, bila kalian memang ingin mendukung seseorang meraih impiannya, pastikan dia tidak sedang menanam padi dan berharap memanen pisang. Ada banyak seniman berbakat di luar sana yang lebih pantas menerima dukunganmu, dan tentunya tidak akan memperkaya lintah-lintah haus uang.

Artikel ini ditulis oleh Katia Elson dan diterbitkan pertama kali di Medium.com pada 20 Maret 2018. Penerbitan artikel dalam situs Moonhill.id adalah atas seizin penulis, demi referensi artikel Moonhill.id kedepannya.

3 Komentar

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

  1. nyolong tulisan orang ya bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon dibaca dengan baik disclaimernya di akhir artikel.

      Hapus
    2. Saya rasa jika Kritik ini di ambil dari sudut pandang Orang indonesia yah memang seperti itu yang terlihat (Mungkin Bisa saja kenyataanya tidak seperti itu atau bahkan bisa lebih parah dari itu), tapi jika kita ambil sudut pandang dari perspektif Seorang Seniman, lulusan AKB48 yah tidak terkenal karena memang mungkin, mereka lebih memilih menjadi Warga biasa untuk menjalani hidup (bisa karena kenyamanan hidup mereka), bukan berarti mereka tidak terjun ke dunia entertain lagi karena merasa mereka adalah sampah/tidak berbakat.
      Ayolah Kita Semua tahu bahwa Idol itu salah karena mempekerjakan anak dibawah umur menjadi public figure, seperti BabyMetal, Produce48's mereka mencari anak SD/SMP untuk mendapatkan pundi pundi keunagan, ini sama saja seperti perbudakan di zaman Post Modern !!.

      Lagi pula di Kritik diatas seolah-olah hanya menyalahkan perusahaan dan management 48, lalu Peran pemerintah setempat & orang tua dimana, seharusnya mereka menyadari management idol tidak baik karena mempekerjakan anak dibawah umur (yang Notabenenya mereka masih belum bisa untuk mengambil Keputusan yang baik dan benar), Selain itu si Penulis selalu mengambil sisi Seniman harus Terkenal :D WKWKWKKWKW

      Bisa Saja Lulusan AKB48 menjadi Seniman Indie atau Mengatasnamakan Anonim
      Sipenulis tidak mengambil sisi seorang seniman indie atau Seniman Anonim (yang tidak mau mengatasnamakan mereka layaknya Spider-man).
      Disini jelas terlihat perbedaan sudut pandang budaya kita seperti menjadi Artist AV adalah hal tabu di indonesia, tetapi di Jepang Menjadi Artist AV adalah hal yang sangat menjajikan untuk hidup, bahkan terlepas dari menjadi artis AV dengan nama Anonim (seperti wajah menggunakan masker atau di sensor) disana menjadi artis AV sama saja sebagi Seniman, karena nyatanya Film AV di jepang kenapa bagian Kemaluannya di Sensor karena itu adalah Seni dari AV itu sendiri.
      Saya Sebagai Seniman merasa lucu melihat artikel diatas, Seolah-olah Factor X seseorang hanya ditentunakan berdasarkan genre mayoritas umum dan tidak memikirkan sudut pandang sang senimanya (dengan embel-embel hanya menyalahkan acara TV atau Managementnya).
      Saya rasa Seniman yang berbakat sekalipun dan yang terkenal sekalipun bisa memilih untuk menutup karirnya sebagai Seniman karena Faktor X, seperti Hiro Mizushima, Yui Satonaka, & Yuriko Shiratori.

      Hapus

Posting Komentar

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama