Dua Garis Biru: Film Bagus yang Tidak Siap Diterima Orang Indonesia


Penulis skenario Gina S Noer, menjalani debutnya sebagai sutradara lewat film berjudul Dua Garis Biru, atau Two Blue Stripes dalam bahasa Inggris. Film yang berkisah tentang dua remaja SMA,  Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda), sempat menuai kontroversi lantaran mengangkat isu hamil di luar nikah. Rameeee... banget! Pada kebakaran jenggot dan menghujat membabi-buta, padahal belum menonton filmnya. Lucunya lagi, yang digaris bawahi bukan arahan kreatif, penulisan skenario, atau segi artistik lainnya, simply karena film ini bercerita tentang dua anak muda yang menikah di usia muda.


Sebuah film hanya akan sebagus penulisan skenario dan kemampuan aktris membawakan tokoh cerita tersebut. Dari segi naskah, film ini punya premis menarik, menggugah dan realistis. Mengangkat isu hamil muda di luar pernikahan, bukan menjadi soal, atau harus menjadi alasan mengapa film ini tidak layak ditonton. Justru sebaliknya, film ini perlu ditonton oleh anak remaja, agar mereka melihat dampak dari kesalahan Dara dan Bima. Mungkin, ada baiknya para orang tua, Mentri Pendidikan, dan orang yang bertanggungjawab memimpin negara ini, ikut menonton film Dua Garis Biru juga. Kenapa?


Kurangnya Sex Education di Indonesia

Entah bagaimana kalian di sekolah dulu, atau sekarang, tapi saya menyadari betul, kurangnya Sex Education di negara ini. Dara bisa hamil dari Bima, lantaran Bima tidak tahu pentingnya menggunakan kondom ketika berhubungan sex. Kelemahan dari pola pikir "segala-galanya tentang sex itu tabu" digambarkan dengan baik dalam film ini. Baik di sekolah, mau pun di rumah, Dara dan Bima tidak mendapatkan arahan.

Angka kejadian kehamilan remaja di Indonesia adalah 48 per 1.000 perempuan pada tahun 2012. Angka kejadian kehamilan remaja di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan angka kejadian kehamilan remaja sebanyak 6 di Malaysia dan 41 di Thailand pada tahun 2014 (World Bank Group). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas, 2013) yang mendata perempuan usia 10-54 tahun yang sedang hamil, masih didapatkan kehamilan pada usia sangat muda (<15 tahun) dengan proporsi (0,02%) terutama di pedesaan sebesar (0,03%). Sedangkan proporsi kehamilan pada usia muda (15-19 tahun) adalah 1,97 % dan di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Dari hasil survey Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2014, setiap tahun 15 juta remaja berusia 15-25 tahun melahirkan dan 2012 persen dari sekitar 2,5 juta kasus KTD dan aborsi di Indonesia yang dilakukan oleh remaja. [SUMBER]

Jadi Orang Tua Bukan Hal Mudah

Tokoh Dara yang diperankan oleh Zara JKT48, dikenal sebagai murid pandai di kelas, berasal dari keluarga menengah ke atas, dan punya cita-cita melanjutkan sekolah di Korea. Sementara Bima, tipikal murid malas, nilai selalu jelek, dan dianggap tidak memiliki masa depan. Keduanya memiliki tempramen berbeda. Kalau Dara lebih outspoken, Bima lebih sabar. Tapi, Dara juga lebih realistis, sementara Bima lebih banyak bermimpi.

Seketika mengetahui Dara hamil, Bima bermaksud untuk kabur. Tetapi, setelah diajak bicara oleh ayahnya, Bima memutuskan untuk tinggal dan bertanggungjawab. Bima bertekat tidak akan meninggalkan Dara dalam keadaan dan kondisi apa pun. Keputusan Bima mendapat tantangan pertama, kala orang tua Dara meninggalkan Dara bersama Bima. Tantangan kedua dan seterusnya berlanjut, membuat Bima dan Dara sadar, menjadi orang tua bukan perkara mudah. Baik menjadi seorang ibu mau pun bapak.


Seringnya orang muda, seperti Bima dan Dara, menganggap enteng peranan "orang tua". Salah kaprah itu terjadi karena kedua orang tua Bima mau pun Dara jarang terbuka, apalagi terlibat dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua Bima dan Dara sempat menyesali ketidakhadiran mereka dalam kehidupan anak-anaknya. Terutama di usia krusial, remaja menjelang dewasa muda. Kalau seandainya, mereka berkomunikasi dan lebih terbuka pada anak, mungkin Dara dan Bima tak perlu melakukan kesalahan fatal yang mengancam masa depan mereka.

Sudah Menikah pun Bisa Bercerai

Ketidakmampuan Bima melihat dari sudut pandang realistis, ditambah besarnya harapan Dara agar 'suaminya' bisa memberikan hidup layak atau setidaknya menjadi contoh yang baik untuk anak mereka kelak, akhirnya menjadi beban yang terlalu berat bagi kedua calon orang tua yang masih terlalu muda ini. Bima dan Dara bertengkar hebat pada suatu malam, dan Dara akhirnya mengerti mengapa ibunya menyarakan agar anak yang nantinya lahir diberikan pada saudara mereka saja.

Tidak ada jaminan pasti dalam pernikahan, walau pun sempat ada cinta di dalamnya. Dara melihat kedua orang tuanya sering bertengkar mengenai hal sepele, padahal usia mereka sudah bukan belasan lagi. Orang tua Bima pun demikian, masih sering berbeda pandangan. Apalagi Dara dan Bima nantinya? Rupanya, kata "sayang" dan "cinta" saja tidak cukup.

Membangun sebuah keluarga, apalagi membesarkan seorang anak, bukan pekerjaan mudah, dan pernikahan tak selalu memberi jaminan. Pernikahan punya tanggungjawab dan kesulitan masing-masing. Sampai di usia berapa pun, perbedaan pendapat dengan pasangan bisa saja terjadi. Pentingnya kedewasaan emosional dalam meresponi masalah di suatu hubungan baru akan didapat setelah melalui proses dan pengalaman. Demikian juga pengertian dan kerjasama dari kedua belah pihak.



Satu-satunya kelemahan yang saya lihat dalam film ini adalah perkembangan karakter Bima yang kurang ditonjolkan. Karakter Dara masih lebih berkembang daripada Bima, walau pun perkembangan itu juga tidak terlalu signifikan. Tokoh-tokoh yang benar-benar bisa dibilang berkembang, justru tokoh ibu Bima yang diperankan oleh Cut Mini Theo. Di awal dia seperti ibu yang cerewet, over-reacting, dan tidak pernah bisa mendengarkan penjelasan orang lain. Di akhir cerita, ibu Bima menjadi lebih sabar, dan tak cepat bereaksi. Lucu juga sebenarnya, padahal karakter utamanya bukan dia. Bima masih seperti pertama kali diperkenalkan pada penonton; sok romantis, nggak pake otak, dan (amat mengejutkannya) masih tidak memiliki rasa tanggungjawab soal sekolah. Sementara, Dara masih penyabar, pendiam, pintar, dan outspoken.

Sering sekali film Indonesia lemah di bagian Act 3; Penyelesaian. Tapi paling kuat di Act 2; Konflik dan Drama. Ada apa ya? Saya kok sampai bingung. Rasanya para penulis naskah lokal paling pandai "menyuguhkan masalah" ketimbang memberi penyelesaian. Kalau mau protes, coba protes bagian yang baru saya jabarkan itu. Dari dulu...selalu begitu. Contoh saja Antalogi Rasa yang nggak karuan itu. Mungkin karena tak ada kritikus yang sadar? Atau karena mereka tidak punya value yang kuat sewaktu memilih menceritakan kisah filmnya? Entahlah... kalau ada sineas yang baca, boleh lah berbagi, kenapa? Kalian itu kenapa? Uuuu chayang... chayang... Kepo dong.

Dibilang sebagai film debut sang sutradara, film ini terbilang apik. Terutama soal pengambilan gambar, penyajian konflik, pengenalan karakter, dan tetek bengek lainnya. Tapi masih sangat lemah di Act 3 dan perkembangan karakter. Semoga kedepannya, film-film Gina S Noer mampu menyajikan perkembangan dan penyelesaian konflik yang apik, bukan cuma unggul di ranah visual dan kawan-kawannya. Story is king.
Tesalonika

I write, draw, and design things. I study Japanese literature, humanities and creative robotics. Learn more: tesalonika.com instagram email

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.

Mau terus update? Ikuti kami di Telegram, Whatsapp atau langganan surat kabar via email di bawah ini, GRATIS!!!



Jika blog ini bermanfaat, kamu bisa mendukung kreator menghasilkan lebih banyak konten bermanfaat dengan cara memberi donasi.