Beberapa waktu lalu seorang teman dekat yang juga menulis di Moonhill, mengajak saya menonton film dokumenter original Netflix, berjudul Seaspiracy. Rupanya, selagi menikmati workcation saya juga tinggal di balik batu, sebab film ini sempat viral di media sosial dan dibicarakan oleh banyak orang, sampai website ternama dan penulis paling pintar se-Indonesia, memintamu untuk tidak menonton Seaspiracy karena berbagai alasan "kritis" katanya.
Saya punya beberapa pendapat tersendiri mengenai dokumenter Seaspiracy yang sebenarnya tak menawarkan terlalu banyak informasi baru mengenai commercial fishing, sebab isu tersebut sudah santer dibicarakan dan dipermasalahkan dari zaman saya masih kecil. Tapi saya bisa memahami kalau anak jaman now lumayan kaget seketika isu-isu mengenai dunia kelautan diangkat kembali di media komersil semacam Netflix.
Mulai dari perburuan lumba-lumba dan ikan paus yang membahayakan iklim, kemudian perbudakan kapal di negara berkembang, hingga krisis ikan di negara miskin akibat kapal-kapal perompak mencuri ikan di laut mereka. Semua dibahas di sini, sampai sisi gelap dari so-called "sustainability" yang nge-trend belakangan ini. Dokumenter ini ada bagusnya, menurut saya sih, pemaparan masalah hingga jalinan dari satu ke yang lain enak diikuti dan mudah dipahami. Kita kembali diingatkan mengenai kebobrokan sistem yang sempat terlupa dari benak beberapa waktu ini.
Tapi, tidak bisa dipungkiri, dokumenter ini memang gagal menyajikan penyelesaian masalah yang lebih berimbang dan terarah, lebih terkesan seperti buru-buru saya memberi solusi; pokoknya jangan makan ikan lagi. Mungkin karena pembuatnya sudah memastikan bahwa film ini ditujukan mengajak orang berbondong-bondong menjadi vegan, walau pun sudah ada penelitian yang menegaskan bahwa menjadi vegan tidak menyelesaikan masalah lingkungan, malah menambah parah. Kok bisa? Mungkin kalian bertanya-tanya..
Alasan mengapa menjadi vegan tidak menyelesaikan masalah iklim, salah satunya adalah Greenhouse Gas Emision. Bayangkan jika semua orang di dunia ini menjadi vegan, berapa banyak buah dan sayur yang perlu ditanam dan dipanen setiap minggunya. Pola makan vegan yang meluas kemungkinan akan membutuhkan pengangkutan yang signifikan untuk produksi dalam jumlah besar seperti itu, yang membawa banyak emisi karbon sebagai akibat dari makanan yang jauhnya bermil-mil. Itu baru satu ya.. belum termasuk beberapa alasan lain seperti; (1) penggunaan lahan dan air, (2) tanaman monokultur, (3) Genetically-Modified (GMO) Food, (4) penggunaan fertilizer, dan seterusnya.
Jadi, dari situ saja kelihatan kalau filmmaker dokumenter penyulut emosi seperti Seaspiracy ini malas memberi penyelesaian yang baik. Dulu juga sempat ada kok, film dokumenter mengenai perbudakan anak di Afrika yang sempat viral di YouTube. Entah bagaimana lanjutannya... apakah penggalangan dana tersebut membuahkan hasil?