Things Heard and Seen: Ujung-ujungnya Feminisme

Things Heard and Seen

Things Heard and Seen merupakan film bergenre horor/thriller original Netflix yang dibintangi oleh Amanda Seyfried (Catherine Claire) dan diadaptasi dari novel berjudul sama. Film ini berkisah tentang pasangan muda, Catherine dan George yang pindah ke daerah pedesaan dan tinggal di sebuah rumah yang memiliki sejarah kelam. Awalnya, George mencoba menyembunyikan sejarah rumah itu dari istrinya, Catherine. Namun, tak butuh waktu lama bagi Catherine menyadari apa yang telah terjadi di rumah tersebut setelah berbagai penampakan dan keanehan terjadi ketika ia dan putrinya hanya berdua saja.

Sekilas, sinopsis dari Things Heard and Seen terkesan biasa, tidak begitu kompleks, dan mungkin sudah banyak film horor dengan plot serupa, seperti The Conjuring, misalnya. Namun, ketika mulai menonton, kamu akan menyadari bahwa Things Heard and Seen lebih seperti drama keluarga gone wrong daripada horor atau pembunuhan biasa. Pemanpilan aktor dan pengambilan gambar ala The Haunting of Hill House, berhasil membentuk atmosfer tersendiri untuk film ini. Di tambah dengan elemen spiritual yang kuat melalui simbolisme dan foreshadowing, membuat kejadian janggal dan motivasi tiap tokohnya lebih kuat daripada film horor kebanyakan.

Buku “Heaven and Hell” menjadi kunci utama dalam keseluruhan plot film.

Tapi... (ada ‘tapi’-nya) sayangnya, Things Heard and Seen tak lepas dari kekurangan. George dan Catherine sebenarnya memiliki anak perempuan, tapi tokoh anak kecil tersebut nyaris seperti penampakan dan McGuffin, tidak banyak scene yang melibatkan anaknya, dan tak banyak pula yang dilakukan oleh anak mereka dalam film. Sang sutradara bisa saja mengganti tokoh anak itu dengan hewan peliharaan dan plotnya tak akan berbeda.

Kekurangan lain dari film ini, terletak di penutupan yang lemah. Seperti terburu-buru menyelesaikan cerita, walau masih berusaha se-aesthetic mungkin agar sesuai dengan tema dan simbolisme yang sudah dipaparkan di awal-awal film. Tokoh antagonis dalam film ini, layaknya penokohan antagonis kartun yang tidak punya banyak dimensi. Tak ada motivasi kuat dari tokoh tersebut, sungguh dangkal, sehingga penonton mungkin akan kesulitan berempati dengannya. Padahal tokoh pendukung dan (utamanya) tokoh sang istri punya cukup screen time untuk mengupas background story dan personality yang kuat. 

Amat disayangkan, Things Heard and Seen tak mampu mengakhiri film dengan ending berkesan dan memuaskan. Kalau biasanya hal ini terjadi karena pembuat film merasa tidak percaya diri dengan plot filmnya, yang terjadi pada Things Heard and Seen justru sebaliknya, sang sutradara merasa terlalu percaya diri dan seolah tak mau film horor ini disamakan dengan film horor lain.
Tesalonika

Interdisciplinary artist with background studies in Japanese literature, humanities and creative robotics. Learn more: tesalonika.com instagram email

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.