Jakarta kembali ke masa lockdown. Ironisnya, hampir setahun yang lalu,
saya memulai blog ini karena lockdown. Bedanya, tahun lalu banyak orang
dan perusahaan yang belum terbiasa dengan sistem kerja remote atau
sekarang dikenal dengan istilah Work From Home (WFH). Sekarang,
WFH sudah jadi keharusan, dan manusia, mau tidak mau perlu beradaptasi untuk
bertahan hidup.
Berita dan update terpercaya seputar BLACKPINK, Jisoo, Jennie, Rosé dan Lisa, hanya ada di MOONHILL Indonesia.
Kebosanan jadi tidak terelakkan. Kalau sehari-hari saya di rumah sibuk dengan
kerjaan, saya pun bisa ikut stress, dan stabilitas kesehatan mental yang sudah
susah payah saya jaga selama ini, bisa hancur berkeping-keping. Selain
menonton film atau bermain game mobile, saya kembali ke sebuah hobi
yang saya kira akan ditinggalkan untuk selama-lamanya, yaitu mengoleksi
sesuatu.
Mungkin, sebagian dari kalian sudah tahu, belakangan saya sedang
senang-senangnya mengikuti kegiatan dan update seputar Blackpink. Walau sudah hampir 5 tahun mendengarkan lagu-lagu mereka, tapi sebelumnya
saya tidak pernah mendalami atau berusaha mengenal Rosé, Jisoo, Lisa, dan
Jennie lebih jauh. Sejak menonton dokumenter
BLACKPINK: LIGHT UP THE SKY, saya jadi lebih banyak menyimak dan mencari lebih dalam, siapa mereka,
dalam acara apa saja mereka muncul, dan lain sebagainya. Rupanya, interaksi
dan reaksi mereka memang menghibur tanpa perlu berusaha. Contohnya dalam
sebuah video promosi
Netflix
untuk dokumenter mereka:
Dalam video berdurasi 5 menit, Jenni, Jisoo, Rosé dan Lisa berusaha
menggombali satu sama lain. Saya ngakak habis-habisan. “Are you the
MoOoOOoon??” Setiap mendengarnya, saya langsung mengingat reaksi tak berdaya Lisa sekaligus tawa jahil Jennie, Jisoo, dan Rosé.
Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk kemudian tertarik membeli album fisik dan koleksi mereka lainnya. Pertama adalah photobook Lisa 0327 edisi ke-2. Berhubung saya memiliki minat di dunia fotografi dan memang mengoleksi buku-buku seni atau semacam buku coffee table, saya tertarik memiliki photobook Lisa dan menambahkannya dalam rak buku saya. Dalam photobook milik Lisa, ada banyak foto yang ia ambil sendiri menggunakan kamera film miliknya. Menarik saja bagi saya melihat dunia dari sudut pandang seorang Lalisa Manoban.
Keputusan untuk menambahkan buku ini dalam koleksi juga tidak melalui proses yang singkat. Karena keterbatasan ruangan, saya jadi agak… galau pada waktu itu. Untungnya, seorang sahabat mendorong saya membeli saja buku tersebut. Jika tidak suka, toh, masih bisa dijual, katanya. Ada benarnya juga, pikir saya. Jadi ya sudah, akhirnya photobook Lisa pun masuk ke koleksi, dan sampai sekarang saya belum menyesal.
Parahnya kegemaran seperti ini memang cukup merusak isi dompet. Kalau main “asal kalap” tentu saja mengoleksi bisa berubah jadi obsesi. Saya pernah mengoleksi barang-barang berbau idol sebelumnya, dan memang tidak akan ada habisnya jika kita tidak pintar melakukan kurasi, alias memilih dan memilah dengan bijak, jenis dan benda seperti apa yang layak untuk dikoleksi.
Pada dasarnya, saya suka mengoleksi Game, CD, Vinyl, Artbook, dan Photobook. Tapi saya tak sembarang memilih. Biasanya, saya lebih memprioritaskan barang-barang limited edition ketimbang barang-barang yang diproduksi secara masal. Semakin sulit di dapat, maka saya akan semakin bersemangat dalam berburu.
Memiliki sebuah koleksi, layaknya memiliki sebuah museum pribadi. Kita berhak memilih dan menentukan standar. Karya siapa yang ingin kamu masukkan dalam museum pribadimu itu? Karya seperti apa yang ingin kamu kumpulkan dan mendokumentasikannya?
Misalnya, saya sangat menyukai single solo dari BLACKPINK Rosé, karena pesan dari lagu “On The Ground” amat mengena bagi saya pribadi, dan mengingat bahwa Rosé sendiri terlibat dalam pembuatan desain album solo pertamanya, saya ingin mendukung dan mengoleksi semua versi dari album tersebut; Vinyl, CD, Khino, hingga versi digitalnya di iTunes.
Hal yang paling menyenangkan (walau sering dikeluhkan juga) dari mengoleksi barang impor seperti ini adalah masa-masa penantian yang tak bisa dibilang singkat. Keterbatasan stok dari penjual lokal memang tidak bisa dipungkiri, membuat sebagian besar penggemar melakukan pre-order. Selain itu, membeli koleksi dari jalur pre-order biasanya mendapat lebih banyak “bonus” daripada mereka yang membeli saat stok sudah ready.
Penantian semacam ini, walau pun terdengar konyol, memberikan saya rasa antisipasi, seperti ada yang ditunggu-tunggu untuk datang dan menyapa. Senang saja kalau ada yang kita tunggu esok hari. Ada alasan untuk bangun, melakukan berbagai kegiatan atau berusaha produktif (setidaknya) sampai pesanan tiba di depan pintu. Sebab, kadang masa lockdown tidaklah mudah. Kita perlu diam di rumah berhari-hari sampai waktu yang belum bisa ditentukan, setidaknya kita aman, tapi otak ini juga perlu kesibukan dan kesehatan mental juga perlu dijaga… tentunya, tanpa merugikan isi dompet dan mengorbankan tabungan masa depan.