Berawal dari pembicaraan di grup dan pengalaman pribadi menikmati budaya populer, saya sering sering menangkap ada anggapan bahwa usia menjelang 30 tahun ke atas, seharusnya tidak lagi mengikuti kesenangan menonton film, mendengarkan musik, atau aktif di komunitas fandom. Agaknya tanggapan tersebut akan saya bantah dalam artikel ini dengan mengungkap beberapa fakta dan kajian budaya populer yang sempat saya dapatkan semasa kuliah dulu. Jadi, bersiaplah.
DISCLAIMER: Beberapa jurnal, artikel lain, dan buku yang saya baca untuk menulis artikel ini, akan saya cantumkan dalam tautan sesuai dengan topik terkait. Bagi yang ingin mengecek sendiri faktanya, silahkan mengklik tautan tersebut nanti ya. Saya malas bikin daftar pustaka soalnya terlalu ribet dan tidak efisien.
Budaya populer terbentuk karena urbanisasi – Segi Historis
Saya sudah lupa dimana jurnal atau buku yang menjadi acuan dosen ketika mengajar di kelas mata kuliah Kajian Budaya Populer, jika menemukannya, saya akan menautkannya di sini, tapi untuk saat ini, saya membaca jurnal penelitian dari Meneliti.com berjudul Sudut Pandang Ruang Budaya Pop. Intinya, dari ingatan penjelasan dosen dan yang juga disebutkan dalam jurnat barusan, Budaya Populer terbentuk karena adanya era urbanisasi, dimana orang-orang dari desa bermigrasi ke kota untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi atau bekerja.
Kesibukan kota yang padat akan pendatang, pekerjaan penuh persaingan dan kadar stress yang tidak terhindarkan, menjadi peluang bisnis bagi media massa untuk menciptakan sebuah hiburan yang mudah dinikmati, mudah diproduksi, dan dapat dengan mudah didapatkan. Berbeda dari budaya tinggi yang cenderung eksklusif, sulit didapatkan, dan memerlukan pendidikan khusus untuk bisa menikmati. Soalnya, siapa yang punya waktu mempelajari Mozart atau Wagner di tengah padatnya jadwal meeting dan deadline pekerjaan?
Jauh dari kelurga dan kurangnya waktu untuk bersosialisasi, orang-orang kota cenderung merasa kesepian. Akhirnya, untuk mengurangi efek tersebut, acara televisi di jam pulang kantor - makan malam, menjadi populer dan digemari. Program televisi di waktu-waktu tersebut juga dirancang agar tidak terlalu berat, menghibur, dan punya variasi menarik. Contoh saja serial drama televisi yang biasanya ditayangkan sekitar pukul 6 sore sampai 7 malam. Saking larisnya rating acara di jam tersebut, makanya ada istilah prime time di dunia penyiaran Amerika.
Jenis-jenis budaya populer, bukan cuma K-Pop dan Drakor
Seberapa sering kamu mendengar ucapan orang lain atau orang tua sendiri yang bilang, "kamu kan udah tua, kok masih suka main game?" atau "udah gede mending mikirin masa depan dan siap-siap bangun keluarga" dan seterusnya. Sebetulnya, ucapan seperti itu bisa jadi masukan yang baik bagi orang yang terlalu tenggelam dalam hobi dan kegemarannya sampai menelantarkan kebaikan diri sendiri dan masa depannya. Tapi ucapan itu tidak akan relevan bagi seseorang yang sibuk bekerja di siang hari, bertanggungjawab, mandiri, dan sudah mampu kebutuhan finansialnya.
Lagian, budaya populer itu banyak jenisnya, nggak sebatas K-Pop, Drakor, atau Anime. Misalnya, novel dan majalah juga termasuk. Komik, kartun, film dan serial barat yang kamu sukai juga termasuk. Musik dari band favoritmu juga termasuk dalam budaya populer. Bahkan hal-hal viral yang kamu lihat di media sosial atau trend terkini juga masuk dalam lingkup budaya populer. Bahkan YouTube atau situs lain yang jadi kesukaanmu juga masuk ke ranah budaya ini.
Kok bisa? Ya karena mereka memenuhi ciri-ciri budaya populer:
- Menjadi trend
- Punya keseragaman bentuk
- Mudah dinikmati (adaptabilitas)
- Punya keunikan yang melekat (durabilitas)
- Mudah didapat (profitabilitas)
Budaya populer itu luas sekali, apalagi era kontemporer, dengan mudahnya mendaptkan informasi dan menjadi populer di internet. Jadi kalau pengotak-kotakan usia itu hanya urusan marketing saja untuk memahami lingkup target pasar mereka.
Hampir semua orang saat ini menjadi penikmat budaya populer, apalagi orang kota dan kalangan pekerja yang butuh hiburan melepas stress. Dampak jangka panjangnya, hiburan semacam ini bisa menjadi alternatif yang baik dari segi psikologis, seperti memberi tujuan, membantu orang dewasa menemukan teman baru melalui kegemaran yang sama, atau mengurangi angka bunuh diri di kota-kota besar.
Kita tidak boleh menghakimi orang yang menikmati kehidupannya selama tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Selama dinikmati dengan bertanggungjawab (tidak mengabaikan pekerjaan demi kesenangan, masih giat belajar dan tidak senang-senang melulu, atau tidak menggunakan media sosial untuk menyerang orang lain) menurutku menyukai K-Pop atau Drakor ya sah-sah saja, selama dipergunakan untuk mengisi waktu luang dan bukan mengisi hidup.