Pernahkah kamu melihat sebuah film kemudian berpikir, “wah, kalau aja ada sekuelnya, karena film pertamanya bagus banget.” Atau kamu menonton sekuel sebuah film kemudian berpikir, “ya ampun, kok nggak sebagus film pertamanya ya?”
{tocify} $title={Table of Contents}
Kali ini, saya akan memberikan kalian sebuah insight tentang kepantasan sebuah film mendapat sekuel atau tidak dari sudut pandang pengkajian fiksi. Stay tuned!
Ketika membicarakan sekuel film, ada baiknya kita perlu melihat contoh-contoh film berseri yang sukses di pasaran belakangan ini, seperti serial film super hero Marvel, Harry Potter, The Lord of The Rings, dan Star Wars Episode 1-6. Disadari atau tidak, agaknya ada beberapa kesamaan dari ketiga serial yang saya sebut barusan. Apa aja?
Perjalanan Tokoh Utama Masih Panjang
Apa sih esensi dari sebuah cerita kalau bukan perjalanan si tokoh utama? Misalnya, dari anak yang penakut, jadi anak yang pemberani. Itulah yang disebut sebagai cerita. Perkembangan tokoh utama dari awal ke akhir itu disebut dengan istilah “Character Development” (Perkembangan Karakter).
Poin ini yang paling sering dibahas ketika Moonhill menulis ulasan film, komik, atau novel. Karena perkembangan karakter itu penting banget bagi kami. Dari situ, kami bisa menilai apakah cerita tersebut memiliki nilai yang bisa diserap penonton dan pembaca atau tidak. Ke”ada”an nilai itu juga yang bisa membantu kami menentukan apakah film atau cerita yang ingin disampaikan pantas untuk direkomendasikan ke pembaca Moonhill atau tidak.
Kadang perkembangan karakter ini tidak bisa selesai hanya di satu film saja. Contohnya tokoh Iron Man, dibutuhkan 3 film Iron Man, dan 4 film Avengers sampai perkembangan karakter seorang Tony Stark benar-benar lengkap. Di dalam 7 film tersebut, Iron Man dihadapkan dengan konflik-konflik dan masalah yang nggak bisa dianggap enteh, sebab tujuan konflik adalah menguji kepercayaan dan juga kebohongan yang dipercayai oleh si tokoh utama.
Jika kita kembali ke film pertama Iron Man, Tony Stark dikenal sebagai seorang pengusaha dan insinyur cerdas yang arogan dan egois. Sikap itu sangat kontras jika dibandingan dengan perngorbanan dirinya di Avengers: Endgame.
Konflik Utama Belum Usai
Kadang, tidak selalu tokoh utama mampu mengakhiri konflik dan berubah menjadi lebih baik. Ada juga tipe Character Development ke arah negatif. Contoh saja Anakin Skywalker dalam serial Star Wars. Ketika tokoh lain berharap Anakin akan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam semesta cerita mereka, rupanya yang terjadi malah kebalikannya; Anakin beralih ke sisi gelap (The Dark Side) dan berubah menjadi Darth Vader.
Konflik utama yang belum usai itu, akhirnya membawa kita berkenalan dengan Luke Skywalker, anak dari Anakin. Lagi-lagi, semua berharap kali ini Luke bisa membawa kedamaian. Perkembangan karakter Anakin ke arah yang lebih positif, belum tercapai dan akhirnya diwariskan pada Luke.
Hal serupa juga terjadi dalam serial The Lord Of The Rings dan Harry Potter. Tidak selalu tokoh utama dalam film pertama akan menyelesaikan konflik. Akhirnya, terciptalah ruang untuk membuat sekuel demi melanjutkan alur dan mencontohkan perkembangan karakter yang sempat gagal dilakukan oleh tokoh sebelumnya, atau tokoh yang sama bisa mendapat kesempatan kedua.
Masih Banyak Bagian Dunia Buatan si Penulis yang Belum Dijamah
Jika seorang penulis menciptakan sebuah dunia yang amat luas, ini bisa jadi ladang bagi film berseri untuk mengeksplorasi keutuhan dunia buatan tersebut. Contoh saja spin-off Harry Potter bertajuk Fantastic Beast. Kalau dalam film utamanya, perkembangan karakter Harry Potter (yang sebenarnya tidak ada) dan konflik utama si Harry Potter sudah usai juga, JK Rowling masih punya peluang melanjutkan cerita ke arah lain, yaitu mengekspansi dunia sihirnya ke wilayah lain selain Inggris.
Dalam film Fantastic Beast, banyak sekali kritikus dan jurnalis film yang melihat potensi dari spin-off Harry Potter ini. Komentarnya selalu senada, “akhirnya kita bisa melihat dunia sihir si Harry Potter di Amerika, dan mungkin kita bisa melihat dunia sihir lain di wilayah selain Eropa apalagi Inggris.”
Sayangnya, ketidakpahaman penulis (mungkin), membuat semangat penonton akan serial Fantastic Beast padam. Kebanyakan malah kecewa dengan jalan cerita film ke-2, karena dianggap terlalu “maksa” dan berusaha “politically correct”.
Jadi begitulah pembaca yang budiman. Semoga kamu bisa mendapatkan insight baru soal film berseri dan teori pengkajian fiksi dari artikel Moonhill kali ini.