Sejak awal
serial karya Ryan Murphy dan Brad Falchuk tayang di FX sampai saat ini Netflix
& Disney+, saya sudah gemar mengikuti kisah cerita ber-genre horror mereka
ini berjudul American Horror Stories. Ketertarikan ini muncul seketika pada
saat pembukaan/intro series ini pada season awal berjudul Murder House
(Rumah Pembunuhan) yang membuat saya tidak berani menontonnya dalam keadaan
kamar yang gelap (lampu kamar langsung dinyalakan lagi).
Dengan penyajian
latar belakang tragedi rumah berhantu yang cukup terperinci, watak karakter
yang relatable, kisah cerita yang menarik dan adegan seram sekaligus
sadis yang mendebarkan membuat saya terjun kedalam kategori fans berat American
Horror Story. Awalnya saya masih tidak paham mengapa serial ini memiliki judul
tersebut, melainkan kisah cerita horror yang menceritakan rumah angker bukan
judul yang pantas di klaim sebagai kisah horror Amerika, kecuali tujuannya
adalah menceritakan latar dan karakter tertentu secara spesifik seperti rumah
1120 Westchester Place: Murder House.
Ternyata,
setelah season pertama selesai, season kedepannya sudah mulai jelas alasan
dibalik judul tersebut. Pada season
kedua menceritakan kisah tragedi di rumah sakit jiwa, dan ketiga di rumah/sekolah
penyihir, membuat “American Horror Story” pantas untuk dijudulkan
seperti itu. Ternyata American Horror Story menampilkan cerita yang
berbeda di tiap seasonnya, dari season pertama sampai terbarunya yaitu season
kesepuluh. Hal ini membuat saya penasaran setiap tayangnya.
Seiring
berjalannya series tersebut, American Horror Story atau disingkat AHS,
menampilkan tidak hanya cerita yang berbeda, namun gaya horror yang berbeda
juga dengan pemeran yang sama. Dari setiap season AHS perlahan membuat saya
lupa dengan inti dari sebuah genre horror, dengan kata lain terdapat elemen
yang hilang atau tidak tersalurkan dari series AHS ini yaitu “menyeramkan”.
Iya, mungkin ini dari saya pribadi yang gemar nonton genre horror menjadikan
saya kebal terhadap adegan-adegan yang seharusnya membuat penonton takut,
tetapi tidak berlaku untuk saya. Walaupun begitu, hal ini tidak membuat saya
berhenti mengikuti cerita AHS setiap rilisnya, mengapa demikian?
Terkait
menyeramkan atau tidaknya AHS, ternyata AHS terfokuskan pada ceritanya
dibanding dengan adegan menyeramkannya seperti kebanyakan genre horror lain, dimana
bagian-bagian seram yang terkandung menjadi faktor penentu bagus atau tidaknya
sebuah acara genre horror. Setelah membaca beberapa artikel mengenai serial AHS
dan bertukar pikiran dengan beberapa teman dan kerabat saya yang mengikuti
serial AHS, membuat saya cukup terkejut dan terbuka pikiran saya. Rupanya AHS
sendiri lebih mementingkan perbedaan atau keunikan di dalam kategori horror
thriller, arahan ini menghasilkan AHS menelusuri hal-hal lain yang membuat kita
ketagihan akan menonton genre horror. Dengan penelusuran lain ini, bukan
berarti rasa seram dan menakutkan dari genre horror itu dihapuskan, justru
terdapat banyak sekali hal-hal yang membuat kita tidak berani untuk menyaksikannya
ataupun muncul rasa takut kita dengan melihat segala sesuatu yang disajikan
oleh AHS; seperti sosok menyeramkan monster-monster yang ada di hampir setiap
season, ataupun keberadaan sosok pembunuh berantai yang kita tidak akan menduga
kapan akan membunuh protagonisnya dan pastinya adegan berlumuran darah yang
sebagian dari kita tidak kuat untuk melihatnya. Dengan kata lain, definisi
“horror” dari AHS lebih menjurus ke horror psikologis atau psychological
horror ataupun juga psychological thriller. Oleh sebab itu, mungkin
bagi kita yang rajin menyaksikan horror lokal ataupun film horror, akan kebal
dengan seramnya AHS.
Dengan banyaknya
orang yang tertarik dengan jenis horror yang seperti ini, membuat Ryan Murphy
dan Brad Falchuk mampu membuka ruang untuk mengeksplorasi antologi AHS. Kesempatan tersebut memicu terbentuknya sebuah
dunia horror yang luas terinspirasi dari film-film horror Hollywood masa lalu, menyatu
dengan budaya pop masa kini. Kita bisa melihat kedua aspek tersebut dipadukan
dengan sentuhan Ryan Murphy yang sering sekali mengangkat topik-topik sensitif
dan karakter-karakter terpinggirkan nan terabaikan seperti; perempuan, ras, gender
dan seksualitas. Berikut aspek-aspek ikonik yang dieksplorasi di dalam tubuh
AHS dari karya Ryan Murphy dan Brad Falchuk tiap seasonnya;
1. American Horror
Story: Murder House
(Rumah angker, hantu gentayangan)
2. American Horror
Story: Asylum
(Rumah sakit jiwa,
eksperimen manusia, iblis, alien)
3. American Horror
Story: Coven
(Penyihir, voodo, salem)
4. American Horror
Story: Freak show
(Badut
psikopat, pertunjukan manusia aneh)
5. American Horror
Story: Hotel
(Vampir,
pembunuh berantai, anak iblis, pemerkosaan, hantu gentayangan, zombie)
6. American Horror
Story: Roanoke
(pemujaan
setan, hantu lahan pertanian)
7. American Horror
Story: Cult
(Pembunuhan,
Charles Manson, fanatik politik)
8. American Horror
Story: Apocalypse
(Warlock, anti
kristus, perang dunia III)
9. American Horror
Story: 1984
(Slasher klasik,
pembunuh berantai, pemujaan setan)
10. American Horror
Story: Double Feature
(Vampir, Alien, Area-51)
Jika diperhatikan, sudah cukup banyak sekali aspek terkandung dalam cerita horror yang telah ditunjukkan di AHS, dan itupun belum termasuk miniseries baru dari AHS dengan judul hampir serupa yaitu American Horror Stories, dengan cerita yang berbeda-beda tiap episodenya.