Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 24 Desember 2018 di katiaelson.com
Belakangan saya melihat banyak sekali orang menjadi booktuber, bookstagram, atau pengulas buku, yang secara formal disebut sebagai kritikus sastra. Entah karena ikut-ikutan trend luar negeri atau memang mereka memiliki skill dan pengetahuan untuk mengulas karya sastra?
Kritik sastra merupakan sebuah bentuk apresiasi atas sebuah karya, misalnya cerpen, novel, dan bahkan film. Kritik bukan caci-maki. Uraiannya bisa dalam bentuk deskripsi, analisis, atau komparatif (perbandingan dua variabel). Agar ulasan dapat dipertanggungjawabkan, ada baiknya belajar cara menilai dan mengkritik dengan baik. Langkah-langkah yang saya berikan tidak mutlak, tapi penting untuk diperhatikan dan dicermati.
{tocify} $title={Table of Contents}
Perhatikan unsur yang terkandung dalam karya
Ingat semasa belajar Bahasa Indonesia di sekolah dulu? Kita disuruh menjabarkan unsur intrinsik dari suatu bacaan seusai membacanya. Unsur intrinsik yang dimaksud adalah:
- Latar
- Alur
- Tokoh
- Sudut pandang
Sementara, unsur ekstrinsik adalah unsur lain di luar cerita, misalnya, latar belakang pencipta atau pengarang novel. Kalau dalam kuliah sastra, ada beberapa jenis kajian, yaitu; sosial, budaya, dan psikologi.
Efektifitas penceritaan
Unsur intrinsik merupakan alat bagi pengarang menyampaikan cerita. Baca dulu ceritanya sampai tuntas, lalu coba jawab pertanyaan berikut: Kisah tersebut bertempat dimana? Apakah sebuah desa? Ataukah kota? Apakah si tokoh adalah orang desa yang pindah ke kota? Kemudian, alur penceritaannya bagaimana? Apakah maju mundur, dari kisah si tokoh di desa lalu ketika dia sudah pindah ke kota? Atau alurnya bergerak maju, mengikuti si tokoh dari desa sampai akhirnya pindah ke kota?
Tokoh yang diceritakan pun harus kalian kenali. Siapa saja nama-namanya? Apa saja peran mereka dalam cerita tersebut? Agar ulasanmu tidak terkesan malas dan asal-asalan, coba ajukan pertanyaan berikut: Kenapa tokoh utama di kisah ini ingin pindah dari desa? Apakah dia punya masalah dengan orang di sekitarnya? Kalau iya, coba kalian pelajari mengapa si tokoh merasa tertekan dengan tokoh-tokoh lain di desa. Apakah orang tuanya menyebalkan? Dan lain sebagainya. Kalau ternyata 'tidak', mungkin si tokoh utama punya motivasi lain yang mendorongnya melakukan sesuatu. Mungkin dia ingin mencari hal baru? Lalu kalian bisa bertanya lagi, apakah dia berhasil menemukan apa yang dicarinya di kota?
Mengenali motivasi karakter dalam cerita, kalian bisa memahami apakah tindakan dan pilihan si karakter masuk akal atau tidak. Dapatkah kamu berempati pada mereka? Biasanya, ketika pembaca atau penonton mampu berempati dengan si karakter utama, cerita akan terasa lebih menarik. Makanya, ada istilah "three-dimensional character" yaitu saat karakter dalam sebuah cerita terasa begitu nyata seperti manusia sungguhan yang kompleks, punya kekurangan dan kelebihan, sehingga jalan cerita ikut menjadi sulit ditebak.
Sudut pandang penceritaan dapat mempengaruhi efektifitas sebuah cerita. Ada tiga jenis sudut pandang: orang pertama (aku), orang kedua (kau), dan orang ketiga (dia). Ketika pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga, pembaca memiliki keuntungan untuk mengetahui isi pikiran si tokoh (dia). Biasanya sudut pandang ini efektif untuk menceritakan cerita fantasi, seperti Harry Potter (JK Rowling). Sementara, ketika pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama (aku), ada kalanya cerita dijabarkan oleh tokoh yang tidak dapat diandalkan / tidak reliable. Misalnya, novel The Girl on The Train yang diceritakan dari sudut pandang seorang pecandu alkohol, mampu menambah elemen misteri dan supense.
Memberikan penilaian terhadap suatu karya secara obyektif
Agar ulasanmu dipercaya dan dingarkan oleh orang lain, tentunya kamu harus membaca karya atau menonton film tersebut sampai selesai. Bersikaplah objektif, meskipun analisa dan penafsiran biasanya ditarik dari pengalaman subjektif seseorang, namun sikap objektif tetap harus menjadi dasar yang kuat. Hilangkanlah rasa suka atau tidak suka. Buang jauh-jauh prasangka dan syakwasangka (keraguan/rasa tidak percaya). Simpan pandangan apriori (menebak-nebak). Cerita yang kita anggap bagus secara pribadi, belum tentu menjadi selera orang lain. Cerita yang kita rasa kurang bagus bisa jadi cocok untuk demografi pembaca tertentu.
– –
Daftar Pustaka
[1] Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Indonesia.
[2] Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press, Indonesia.