Menurut Urban Dictionary, Twilighter(s)/Twi-hard(s) adalah sebutan untuk fans tetralogi Twilight yang diciptakan oleh Stephanie Meyer. Novel ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film, Twilight (Catherine Hardwicke, 2008). Ceritanya tentang percintaan antara seorang manusia, Bella Swan, dengan seorang vampir, Edward Cullen. Film kecil-kecilan yang dirilis November 2008 itu tidak terduga meledak secara komersil. Kesuksesan Twilight membuat studio filmnya, Summit Entertainment, segera mengadaptasi semua novel seri ke dalam bentuk film franchise. Mungkin kamu pernah mendengar nama seri ini sebelumnya karena ia sempat populer di akhir tahun 2000-an. Topik Twilight sendiri rasanya sudah ketinggalan zaman untuk dibicarakan–serial novel tersebut selesai tahun 2008, sedangkan serial filmnya selesai tahun 2011, dan esai ini ditulis pada tahun 2017. Sebenarnya apa sih yang menarik dari menganalisis fans Pop Culture?
Pandangan Umum Tentang Fans/Penggemar
Fans atau penggemar. Sekumpulan pemakai produk komersial. Kelompok yang sering dianggap alien, obsesif dan agresif. Keberadaannya dipandang sebelah mata. Percakapan dan kegiatan mereka sering juga masuk tanpa diundang ke dalam kehidupan sosial orang awam, terutama di era media sosial sekarang. Namun, aku merasa fans adalah pemain penting dalam dinamika kultural dan sosial. Kultur populer tidak melulu komersial, ia juga produk kultural dan––oleh karena itu–– merupakan bagian dari kehidupan berkomunikasi di dalam masyarakat. Menurutku, fandom atau kultur fans adalah salah satu penggerak kultur populer yang interaktif. Mempelajari fandom merupakan salah satu celah untuk mempelajari cara berinteraksi yang cair antara manusia dengan objek, serta manusia dengan sesamanya.
Aku memilih menganalisis kritik film Twilight untuk memahami perilaku kritikus film dalam berinteraksi dengan filmnya. Penilaian terhadap perilaku kritikus film penting karena ia menunjukkan bagaimana sebuah film dibaca dan dimaknai. Beberapa menilai film bukan hanya berdasarkan teks filmnya, melainkan juga mempertimbangkan kehadiran Twilighters sebagai konsumen produk film. Sampai hari ini aku melihat publik cenderung bereaksi buruk tentang fandom, baik fandom Twilight maupun fandom yang lain. Artikel ini mencoba memahami sebuah fandom sebagai kekuatan yang produktif. Caranya adalah membedah identitas dan interaksi fans. Untuk itu, aku menggunakan dua bingkai teori fandom: pertama, model “fandom sebagai korban patologi” yang dicetus oleh Joli Jensen; model kedua adalah argumen John Fiske tentang ekonomi kultural. Kedua teori ini digunakan untuk menguak kekuatan kubu fandom serta kekurangan kubu kritikus film dalam berinteraksi dengan film.
Kesadaran Kritikus Film Akan Keberadaan Fans
Para kritikus film Twilight sadar akan keberadaan Twilighters yang masif; mereka mengakui dan menyebutnya di tulisan mereka. Akan tetapi, banyak pengakuan yang berujung dengan stigmatisasi para fans. Jensen, seorang pakar kajian media dan kultur populer, mengatakan bahwa para fans ‘sering dicap orang yang berpotensi menjadi fanatik’. Menurut beliau, fans cenderung dilihat sebagai individu yang penyendiri, obsesif, terisolasi, dan berfantasi tentang objek hasratnya. Para fans juga dipandang rusuh dan histeris. Pandangan-pandangan ini cenderung menghakimi fans sebagai subyek yang lepas kontrol dan tidak rasional.
Sebaliknya, orang yang bukan fans dinilai lebih tertib dan lebih ‘normal’. Menurut Jensen, status elite kelompok non-fans terangkat saat ekspresi emosional fans ditempatkan sebagai sesuatu yang berlebihan, sehingga interaksi non-fans yang tertib dan non-emosional layak dirayakan sebagai hal yang ‘normal’. Ada dua faktor yang membuat fans berjarak dengan ‘orang normal’; faktor pertama adalah jenis obyek yang digemari umumnya dipandang sebagai low culture seperti musik/grup pop, fiksi eskapis, sinetron melodrama, acara realitas dan ragam; faktor kedua adalah jenis tindakan dalam menikmati obyek tersebut. Contohnya, definisi ‘fangirl’ yang diambil dari Urban Dictionary mengacu kepada perilaku tertentu, diartikan sebagai ‘sejenis spesies perempuan gila… yang diketahui antusias, meraba/grope, dan tackle ketika bertemu dengan idolanya’. Deskripsi perilaku di atas menunjukkan pandangan patologis, di mana citra fans lekat dengan hal non-normatif, dan non-fans yang memandang secara patologis ditempatkan sebagai subyek yang lebih rasional, normal, superior ketimbang fans.
Dari analisisku, aku menemukan bahwa fans Twilight sering muncul di pembuka dan penutup tulisan para kritikus film. The Miami Herald membuka artikelnya dengan kalimat: ‘Hati-hati bagi para ibu dan pasangan laki-laki yang menemani fans Twilight di bioskop: Bawalah earplugs. Anda membutuhkannya untuk berlindung dari jeritan para remaja putri’. Ada juga Reel Views yang menulis: ‘Sebagai bentuk pernyataan yang sebetulnya tidak perlu lagi dilakukan, ulasan ini tidak ditulis untuk para fans loyal novel Twilight karangan Stephanie Meyer’. ‘Twilight sudah cukup popular sehingga apa yang perlu kita lakukan adalah mundur dan membiarkan gerombolan remaja putri menyerbu bioskop untuk mengelu-elukan hubungan romantis seorang perempuan dengan laki-laki vampir’, begitu kalimat pembuka The Hollywood Reporter. Dengan penekanan fans di bagian pembuka, penulis artikel di The Miami Herald, Reel Views, The Hollywood Reporter dengan cepat membangun identitas sendiri sebagai seorang kritikus film, dan menjauhkan diri mereka dari fans. Jika kita tilik, kata “Anda”, “kita”, dan “remaja putri” mengandung sentimen diskriminatif. Mereka, “remaja putri”, beridentitas dan berperilaku berbeda dengan “kita” dan “Anda”. Strategi “saya bukanlah mereka” digunakan kritikus untuk menghindari dirinya diasosiasikan dengan kelompok penonton yang ‘tidak normal’.
Kritik dan Stigmatisasi
Matthew Patrick King–kritikus dan sutradara film Sex and the City–menulis, ‘pasca film The Sisterhood of the Traveling Pants (Ken Kwapis, 2005), Twilight adalah film untuk remaja yang baru menginjak usia dewasa tetapi belum cukup umur untuk menikmati film Sex and the City (Matthew Patrick King, 2008). Oleh karena itu, Twilight mempunyai potensi besar menguasai box office’. Dengan menyebut dua judul film lainnya, King mencoba memposisikan Twilight berdasarkan genre dan target penontonnya, yaitu genre film romantis dan remaja (putri) sebagai penonton. Tulisannya juga berupaya menilai dan terkesan menggurui tingkat kedewasaan remaja. Contoh kritik lain dari MovieTime: ‘Saya khawatir dengan kondisi remaja putri yang terpapar omong kosong laki-laki narsis, pucat, dan sensitif, apalagi saat Edward menyatakan cintanya kepada Bella dan membandingkannya dengan heroin.’ Twilight dinilai membawa pengaruh buruk, dan penonton remaja putri belum bisa menilai sendiri mana yang buruk dan tidak. Ini bisa saja menunjukkan parental worry, tetapi ini juga dapat dilihat sebagai perilaku menggurui. Penonton remaja putri dinilai sebagai individu-individu yang vulnerable, tidak mampu membentuk opini kritis dan melindungi diri sendiri dari pengaruh ‘buruk’ film.
Ada juga kritikus film yang mencitrakan diri mereka sebagai figur yang merawat dan melindungi penonton dengan merekomendasikan film lain yang lebih baik. Roger Ebert mengakhiri tulisannya dengan, ‘sedang tayang sekarang film vampir remaja yang lebih baik dan lebih realistis, Let the Right One in (Thomas Alfredson, 2008)’. Twilight diumpamakan sebagai versi halunya film Let the Right One in. Dengan merekomendasikan film lain, kritikus mendorong calon penonton untuk menjauhi Twilight dan mengonsumsi film yang lebih ‘sehat’.
Berdasarkan studi konten dan nada tulisan ulasan film Twilight, kita menemukan kritikus yang membedakan dirinya sebagai agen yang normatif, kritis, dan superior. Ini problematik karena superioritas mereka dihasilkan dari menstereotip fans sebagai kelompok yang lemah dan direndahkan. Pembacaan ini senada dengan model analisis Jensen, “fandom sebagai korban patologi”, yang dipakai untuk menjustifikasi status kritikus sebagai agen yang mengayomi publik dan lebih bijak ketimbang para fans–korban yang dijauhi karena dipandang ‘tidak normal’.
Akan tetapi, apa benar fans selemah itu? Apa suara kritikus adalah satu-satunya suara yang layak didengarkan? Analisis keduaku mencoba melihat bagaimana fans dan kritikus berinteraksi dengan Twilight dengan cara mereka masing-masing. Fans terlihat sebagai kelompok yang aktif berpartisipasi, sedangkan kritikus terlihat cukup kesulitan untuk ‘masuk’ ke film. MTV mengungkapkan, ‘sebagai penonton rasanya mustahil untuk merasakan level mania seperti ini. Lebih mudah untuk memutar bola mata dan disconnect’. Hal senada diutarakan oleh Reel Views, ‘film ini terasa seperti film yang dibuat untuk klub tertentu dan saya bukan anggotanya’. Kesulitan kritikus dalam mengapresiasi film ini dapat ditelusuri dengan menggunakan teori yang dicetus oleh Fiske, seorang ahli kebudayaan. Beliau berpendapat bahwa latar belakang sosial dan identitas yang berbeda-beda membuat penonton menghasilkan pembacaan yang berbeda-beda pula, baik itu fans maupun kritikus.
Pandangan Fans VS Pandangan Kritikus Terhadap Film
Para kritikus mempelajari estetika dan narasi film; mereka umumnya mengapresiasi film sebagai teks. Di lain pihak, para fans mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan seri Twilight; membaca novel, menonton wawancara, atau saling bertukar berita di antara komunitas mereka sendiri. Perbedaan jenis topik ini menjelaskan kenapa para fans dapat mengapresiasi film secara interaktif, sementara para kritikus kesulitan berinteraksi seperti yang diutarakan oleh Reel Views, ‘jika kamu ingin bisa menikmati Twilight, kamu harus membaca bukunya’.
Fiske berpendapat para fans mempunyai insight unik dan mempunyai keuntungan lebih dibandingkan dengan kritikus. Beliau berkata, ‘di ranah pengetahuan populer, pengetahuan semacam itu membuat fans peka dengan proses produksi yang biasanya luput karena tertutup oleh teks, pengetahuan yang tidak dapat diakses oleh non-fans’. Aktivitas fans bisa dilihat sebagai langkah investasi yang rewarding, buktinya mereka mendapat akses informatif mengenai teks dan konteks film. Mereka dapat menikmati Twilight. Sementara itu, bagi kritikus yang tidak berinvestasi di kapital budaya Twilight, mereka tidak mendapatkan akses semacam itu.
MTV mengkritik hubungan antara Twilight dengan fans-nya yang dipandang terlalu eksklusif sehingga khalayak umum (termasuk MTV) merasa terpinggirkan: ‘Twilight diperuntukkan hanya untuk para fans... sebuah manuver yang salah jika film ini ingin menarik penonton umum’. Padahal film adalah produk kultural yang dimaknai berdasarkan interaksi penonton dengan si film, jika begini, apakah kritik MTV valid? Menurutku, di kasus film Twilight (dan produk populer yang serupa), para fans memang mempunyai kapital budaya lebih untuk dikonversi menjadi pengalaman menonton yang positif–aktif dan produktif. Perasaan terpinggirkan yang dialami oleh MTV adalah contoh kurangnya kapital budaya Twilight yang dimiliki, sehingga konversi kapital budaya rendah, dan pengalaman menonton MTV menjadi tidak seaktif fans. Pantas saja jika kritikus (dan penonton umum) tidak nyambung saat menonton Twilight.
Di dalam dimensi ekonomi kultural, ini artinya para fans adalah agen kultural yang penting. Keberadaan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata karena mereka juga mempunyai modal kapital budaya yang relevan dalam memaknai film dan produk kultural lainnya–hal yang malah kurang bisa dilakukan oleh kritikus film. Fans adalah kelompok yang berpartisipasi aktif dan bahkan bermutualisme secara menguntungkan dengan produk yang dipilih. Tidak semua fans adalah individu yang vulnerable, gampang dieksploitasi, dan tidak mampu membentuk opini atas apa yang mereka konsumsi.
Akhir kata…
Esai ini memang mengkritik selera kritikus yang mendominasi resepsi film secara formal, namun aku juga tidak merasa modal kapital pengetahuan yang dimiliki kritikus adalah modal kapital budaya yang salah. Menurutku, tidak ada modal yang paling benar dan tepat untuk berinteraksi dengan film. Semuanya sah-sah saja. Yang ingin aku garis bawahi adalah tidak ada modal dan cara berinteraksi yang lebih superior dari yang lain. Jensen pernah memperingatkan kita akibat dari superioritas dan dominasi semacam ini: kita berisiko ‘memutus tali hubungan kita dan pemahaman tentang nilai dan arti yang dibangun bersama di era kontemporer ini’.
Daftar Pustaka
- Berardinelli, James, ‘**1/2 Twilight (United States, 2008)’. Review of Twilight. Reel Views. 20 November 2008.
- Bourdieu, Pierre, ‘The Field of Cultural Production, or: The Economic World Reversed’. The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Ed. Randal Johnson. Polity Press, Cambridge, 1993.
- Ebert, Roger. ‘Twilight’. Review of Twilight. RogerEbert.com. 20 November 2008.
- Fiske, John, ‘The Cultural Economy of Fandom’. The Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. Ed. Lisa A. Lewis. Routledge, London, 1992.
- Frederick, Sara, ‘Twilight (PG-13) **1/2’. Review of Twilight. The Miami herald. 20 November 2008.
- Hessey, Ruth. ‘Twilight’. Review of Twilight. ABC’s Movie Time. 20 November 2008.
- Honeycutt, Kirk, ‘Film Review: Twilight’. Review of Twilight. The Hollywood Reporter. 20 November 2008.
- Jensen, Joli, ‘Fandom as Pathology: The Consequences of Characterisation’. The Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. Ed. Lisa A. Lewis. Routledge, London, 1992.
- Legel, Laremy, ‘Review: Twilight Movie Made for the Fans Alone’. Review of Twilight. MTV. 20 November 2008.
Posting Komentar
Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.