Sebelum mulai, langsung aja saya bilang di awal, saya nggak baca novelnya. Jadi ulasan ini akan melihat Twivotiare sebagai film saja.
Dibintangi oleh Reza Rahadian––sebagaimana 70% tokoh pria dalam film Indonesia lainnya––film berjudul Twivotiare ini berkisah tentang sepasang suami istri yang bercerai karena tidak lagi menemukan api asmara dalam hubungan mereka, namun malah jatuh cinta lagi setelah bercerai, dan memutuskan untuk menikah lagi.
Twivotiare adalah film yang diadaptasi dari novel karangan Ika Natasha. Kami punya review film Antalogi Rasa, film yang diadaptasi dari novel karangan Ika Natasha juga. Tapi catat dulu, kalau dari segi cerita, Anatalogi Rasa tidak sebagus Twivotiare.
Setelah mengenal dan berpacaran selama kurang dari satu tahun, Beno (Reza Rahadian) dan Alex (Raihaanun) memutuskan untuk menikah. Tapi pernikahan mereka pun tak berlangsung lama. Dari pembukaan film kita langsung disambut dengan kata “cerai”, kala Alex meminta Beno mengakhiri hubungan pernikahan mereka yang sudah tidak romantis dan sepi.
Meski telah bercerai dan sudah ada Denny yang siap mengisi hati Alex, rupanya, ikatan antara Beno dan Alex tidak bisa terputus seutuhnya. Mengingat Beno adalah anak tunggal, Alex pun sudah dianggap seperti anak orang tua Beno sendiri. Begitu pula rasa sayang orang tua Alex pada Beno yang sudah menganggap Beno seperti anak mereka sendiri. Alex dan Beno sendiri tidak bisa membohongi hati mereka. Masih ada kebiasaan-kebiasaan yang sulit dilepaskan oleh keduanya. Meski watak mereka bertolak belakang, tapi ada istilah opposite attract yang memang menjadi daya tarik keduanya.
Apa yang membuat Twivotiare lebih menarik dan bagus?
Jujur aja, saya nggak menyangka bisa duduk anteng nonton film Indonesia sampai 10 menit pertama. Biasanya saya nggak betah dan mulai menunjukkan gejala-gelaja film jelek seperti mual dan emosi naik turun. Tapi, kasusnya berbeda kala menonton Twivotiare. Dari segi naskah, film ini efektif membuka cerita dengan cara yang menarik, tanpa sadar, saya sudah berada di menit ke-20. Menuju ke tengah film, thanks to great chemistry antara Beno dan Alex, saya mendapati diri ini peduli pada kelangsungan hubungan mereka. Berarti, adegan-adegan flashback dan kemesraan dalam film ini punya fungsi dan benar-benar mendukung jalannya cerita hingga perkembangan karakter.
Yap, satu lagi soal perkembangan karakter. Sebenarnya inilah dosa film Indonesia kebanyakan yang bikin saya MALES BANGET nonton film lokal. Tokoh utama, apalagi dalam film romantis, selalu digambarkan dengan amat sempurna sampai penonton kesulitan untuk relate atau peduli dengan mereka sepanjang jalan cerita. Tapi berbeda dalam Twivotiare. Kedua tokoh utama dalam film ini tidak sempurna. Beno dan Alex punya kekurangan yang harus mereka perbaiki melalui berbagai macam konflik yang dilemparkan oleh penulis, untuk mencapai tujuan; memiliki pernikahan yang harmonis.
Karena ketidaksempurnaan tokoh ini lah yang membuat cerita terasa begitu berarti. Apalagi jika film ditutup dengan konklusi yang memuaskan. Rasanya perhatian kita pun terbayar di akhir film.
Posting Komentar
Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.