Top Gun: Maverick, akhirnya tayang di bioskop. Kembalinya Tom Cruise memerankan Pete "Maverick" Mitchell menciptakan hype tersendiri. Generasi Millenial mungkin mengenalnya saat menjadi agen rahasia dari film Mission Impossible, tapi baby boomers––bapak ibu kita––mengingatnya sebagai pilot di film Top Gun.
Top Gun adalah film Hollywood yang tayang pertama kali pada tahun 1986. Pada masanya, Top Gun menjadi film yang luar biasa. Dengan keterbatasan teknologi CGI pada masanya, aksi Pete mengemudikan pesawat tempur benar-benar menegangkan, mampu membawa penonton terbawa dalam cerita. Pada 2022, Top Gun: Maverick akhirnya dirilis ke dunia, setelah 3 tahun tertunda akibat pandemi. Sutradara film ini pun meminimalisir efek komputer dan mengandalkan technical effect. Keseluruhan Top Gun: Maverick direkam menggunakan kamera berteknologi IMAX.
Penjelasan Alur Cerita Top Gun: Maverick
Terlepas dari nostalgia, Top Gun: Maverick menceritakan tentang kelanjutan kisah Pete "Maverick" Mitchell sebagai kapten dan pilot pesawat tempur. Dalam film pertama, Maverick kehilangan co-pilot sekaligus sahabatnya, Goose. Dalam film terbaru ini, Maverick sudah menua begitu pula dengan banyak tokoh-tokoh kunci lain seperti Ice Man.
Sebelumnya, dalam film pertama, Goose memiliki seorang anak laki-laki. Maverick kala itu berjanji untuk menjadi penjaga bagi anak sahabatnya itu setelah Goose meninggal. Kali ini, anak Goose sudah besar, masuk ke Angkatan Laut, menjadi seorang pilot pesawat tempur seperti ayahnya. Anak itu memberi dirinya julukan Rooster.
Tak masuk dalam film, tapi Maverick sempat menarik pendaftaran Rooster dari Angkatan Laut dan menunda karir anak sahabatnya itu selama 4 tahun. Hal tersebut membuat hubungan Rooster dan Maverick tak cukup baik. Ditambah lagi, Rooster masih menyalahkan Maverick atas kematian ayahnya. Semakin runyamlah perhelatan batin antara dua karakter ini yang kemudian menjadi pusat cerita Top Gun: Maverick.
Tanpa Mengandalkan Nostalgia Semata
Jika saya tidak menonton bersama mama––yang pernah menonton film Top Gun pertama––saya masih tetap bisa menikmati kelanjutan dari film legendaris Hollywood era 80-an ini. Bagaimana bisa begitu? Saya rasa, selain karena akting pemain yang total dalam film ini, banyak adegan penting yang tak sepenuhnya terjadi dalam film pertama mau pun kedua. Kepingan kunci dari konflik utama film ini juga dijelaskan dengan baik melalui adegan flashback mau pun dialog antar karakter.
Memang ada masanya saya bisa melihat pembuat filmnya berusaha menekankan nostalgia. Tapi jika tidak diimbangi oleh konflik yang menarik, peran tiap aktor yang total dan mampu membawa penonton berempati pada tokoh mereka, tentunya nostalgia saja tak cukup membuat saya mengapresiasi kemegahan film Hollywood di level ini.
Sebagai penonton saya merasa dimanjakan oleh keindahan dan keapikan pertarungan di atas awan. Bagaimana rumitnya situasi eksternal mau pun internal (dalam diri para tokoh) digambarkan dengan sangat baik meski tanpa kata-kata. Sampai saya mendapati diri ini menangis melihat ending-nya (padahal saya tidak pernah menonton film pertamanya).
Rasanya Top Gun: Maverick bukan sebuah sekuel saja. Entah mengapa ada kesan reboot yang ingin dihadirkan khusus untuk generasi muda saat ini. Hollywood seolah menolak untuk redup, seolah tak ingin tenggelam dalam hype K-Drama dan K-Movies. Saya jadi ingat mengapa film Hollywood amat kita sukai sebelum memasuki titik jenuhnya beberapa tahun belakangan. Apa pun itu, saya bisa bilang, film ini layak kamu tonton di bioskop!