Film Lightyear garapan Disney/Pixar tidak jadi masuk ke tanah air akibat Disney menolak adegan ciuman antara dua wanita dalam film tersebut dipotong. Bukan hanya Indonesia yang menolak penayangan film tersebut, tapi negara-negara lain seberi UAE (United Arab Emirates), Tiongkok, India dan Malaysia pun ikut memboikot.
America, Doctor Strange in The Multiverse of Madness / Marvel |
Sebetulnya bukan hanya film Lightyear saja yang menjadi kontroversi tahun ini. Film Doctor Strange in The Multiverse of Madness juga sempat mendapat ancaman diboikot lantaran menampilkan karakter LGBT. Untung saja, kita masih bisa melihat aksi Doctor Strange melawan Scarlett Witch di bioskop kesayangan kita, tak seperti Lightyear.
Akibat aksi boikot dari beberapa negara dengan jumlah penduduk (potensi penonton/audiens) yang banyak, film Lightyear jadi flop dari Box Office. Pendapatan di penayangan minggu pertama tidak seberapa dan masih jauh dari keuntungan. Modal yang dikeluarkan untuk memproduksi Lightyear, kurang lebih sebesar 200juta dolar sementara pendapatan di minggu pertama hanya sebesar 51,7juta dolar dari Amerika saja, dikalahkan oleh Jurassic World Dominion dengan pembukaan di minggu pertama sebesar 750juta dolar.
Disney tampaknya akan tetap baik-baik saja, meski harus mengalami kerugian sebesar ini. Majalah Forbes meyakini ketergantungan Disney pada film-film Marvel setelah Lightyear gagal meraup keuntungan tahun ini. Lagi pula, Disney juga sudah memenangkan persaingan di kancah layanan streaming dengan Disney+ mereka.
Apakah Disney satu-satunya perusahaan besar yang menggalakkan representasi kaum marginal (LGBT, Protagonis Wanita, Ragam Ras)?
Jawaban singkat, tidak. Disney bukan satu-satunya perusahaan besar yang menggalakkan representasi kaum marginal dalam film-film mereka. Perusahaan lain, terutama yang bergerak dalam bidang teknologi dan hiburan, seperti Google, Apple, dan Microsoft, sudah melakukan hal yang sama. Hanya saja, karena film dan serial yang diproduksi oleh Apple TV+ memiliki target audiens di usia dan latar belakang yang berbeda dari Disney, menampilkan biopik penulis gay seperti Emily Dickinson, bukan hal yang mengejutkan. Warner Bros yang memproduksi franchise Harry Potter, juga tak segan mengikuti kegilaan JK Rowling, maju dengan Fantastic Beast dan menampilkan tokoh LGBT (Dumbledore dan Grindelwald) dalam film. Jadi, jika kamu berpikir Disney yang berubah, sebetulnya kamu hanya kurang peka.
Biopik Dickinson / Apple TV+ |
Semua perusahaan besar melakukannya. Netflix, siapa yang tidak tahu, sudah dikenal sejak awal menjadi fenomenal di 2016 dengan film dan serial yang tak segan menampilkan representasi dari kaum marginal, yaitu LGBT, Protagonis wanita atau kulit hitam dan ras yang sering didiskriminasi lainnya. Hal itu pula yang membuat Netflix memiliki pengikut dan penggemar setia, meskipun pada akhirnya kehilangan audiens akibat kesalahan strategi.
Serial Netflix |
Tapi, di sini, mungkin kalian ada yang bertanya-tanya, apa sih yang menyebabkan Disney bisa seberani itu? Faktor apa yang membuat perusahaan-perusahaan raksasa yang kita kenal, mau peduli dengan masalah sosial, lingkungan dan tatanan? Jawaban sederhana dari semua pertanyaan itu adalah uang. Tapi, kata uang yang saya maksud, bukan dari dompet kita semata, namun juga dari sumber yang lebih besar, siapa lagi jika bukan investor.
Apa itu ESG dan kaitannya dengan investor?
ESG merupakan singkatan dari Environmental, Social, dan Governance. ESG adalah tolak ukur bagi investor untuk memastikan keuntungan jangka panjang dari investasi mereka. Terutama setelah adanya gerakan “investasi bertanggungjawab” yang mengakibatkan banyak perusahaan manajemen investasi memperhatikan efek jangka panjang (sustainability) daripada jangka pendek saja.
Sebelumnya, investor institusional hanya fokus memaksimalkan keuntungan jangka pendek dari investasi mereka. Perusahaan-perusahaan manajemen investasi besar, sebelum ini tak memperhatikan dampak lingkungan, sosial, serta tatanan dari investasi mereka pada perusahaan-perusahaan besar. Maka, dengan melek-nya kita semua akan dampak buruk pembuangan limbah produksi terhadap lingkungan, pengolahan data dan algoritma dalam ranah sosial, serta sistem perusahaan yang korup atau kegiatan menghindari pajak, lahirlah 3 pilar yang disebut dengan ESG tadi. Manajemen investasi besar di dunia sekarang ini, mulai memperhatikan skor ESG perusahaan sebelum mengucurkan uang mereka.
ESG: Environmental, Social, and Governance
Berdasarkan Investopedia, 3 pilar ESG dibagi dalam 3 kategori; Lingkungan, Sosial, dan Tatanan. Kriteria penilaian untuk tiap-tiap kategori adalah sebagai berikut:
Penilaian kriteria lingkungan, mempertimbangkan kinerja perusahaan dalam menjaga alam, misalnya;
- Aksi untuk perubahan iklim
- Emisi dan pengurangan gas rumah kaca
- Penggunaan air
Penilaian kriteria sosial memeriksa bagaimana mengelola hubungan dengan karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat di mana perusahaan beroperasi. Tema-tema itu meliputi:
- Standar tenaga kerja
- Kinerja kesehatan dan keselamatan
- Cara perusahaan memperlakukan klien dan pelanggan
- Apakah perusahaan menyumbangkan persentase dari keuntungannya kepada masyarakat setempat atau mendorong karyawan untuk melakukan pekerjaan sukarela untuk masyarakat?
Penilaian kriteria tatanan berurusan dengan kepemimpinan perusahaan, gaji eksekutif, audit, kontrol internal, dan hak pemegang saham. Ini termasuk:
- Tindakan anti korupsi
- Transparansi pajak
- Bagaimana keputusan dibuat di seluruh dewan eksekutif?
Pemerintah sudah tidak bisa untuk tutup mata, mengingat ESG juga menguntungkan bagi mereka. Dalam poin penilaian kategori Governance, ada keharusan dalam melakukan transparansi pajak. Berarti, perusahaan yang ingin mendapat skor ESG yang bagus, harus menjadi perusahaan yang taat membayar pajak ke pemerintah di mana mereka beroperasi.
Kriteria penilaian dalam kategori sosial, yaitu kontribusi pada masyarakat yang harus lakukan untuk perusahaan di tempat mereka beroperasi juga bisa membantu pemerintah meningkatkan kualitas SDM di wilayahnya, turut meringankan beban pemerintah. Bagaimana perusahaan memperlakukan pelanggan, misalnya dalam konteks bahasan kali ini adalah representasi kaum marginal, memiliki andil yang cukup besar, mengingat banyaknya protes akan kurangnya representasi ras dan orientasi seksual dalam media-media populer, akan dipertimbangkan oleh investor.
Tak terkecuali, keharusan perusahaan mempertanggungjawabkan dampak dari produk dan produksi mereka pada lingkungan dan alam, merupakan gerakan yang tidak akan sia-sia untuk tahun-tahun mendatang. Perubahan iklim bukan soal sepele, jika manusia tidak bertindak sekarang, nantinya Bumi kita tidak dapat dihuni oleh generasi mendatang.
Jadi, ada apa dengan Disney?
Perubahan yang terjadi pada Disney, hanya usaha untuk memulihkan citra mereka, karena terlanjur mempromosikan hubungan asmara tidak sehat (itu loh, yang putri-putri kerajaan yang selalu jatuh cinta pandangan pertama), pemeran utama selalu kulit putih, white-washing tokoh ras asia (The Ancient One, Marvel), dan lain sebagainya. Tak bisa dipungkiri, portfolio Disney yang sebelum ini tidak memberi dampak sosial yang baik. Singkatnya, Disney sedang dalam proses membenahi portfolio mereka dari segi sosial jika ingin mendapat pendanaan dari investor besar.
Hmm… kalau kalian masih ingat, film Disney Frozen itu dirilis tahun berapa ya? 2013? Ya, berarti sudah selama itu proses tersebut berlangsung.
Kalau tidak salah, sempat ada wacana memperlihatkan bahwa Elsa ternyata gay, kan?
Bukan hanya Disney yang melakukannya. Kemunculan idola K-Pop sebagai brand ambassador merek-merek fesyen ternama juga salah satu usaha perusahaan mendapat kucuran dana investor. Aksesibilitas dan kebijakan penggunaan data pengguna yang dilakukan oleh perusahaan teknologi besar di dunia juga tidak lain dan tidak bukan dilatarbelakangi oleh ESG. Mau tidak mau, suka atau pun tidak, kita akan terus melihat perubahan seperti ini terjadi secara berkala di masa mendatang.
Semoga tulisan kali ini bisa mencerahkan pikiran pembaca sekaligus menjawab pertanyaan, “what the heck is going on?”