Faktor-faktor Penyebab Lahirnya Penggemar Toxic dalam Fandom Besar

Sumber foto Freepik.com

Artikel ini dibuat untuk menjawab pertanyaan pembaca; kenapa banyak orang toxic di fandom k-pop besar? Bagaimana sebaiknya menyikapi penggemar toxic? 

Supaya pertanyaan ini bisa dijawab dengan baik dan ga menimbukan kesalah pahaman (serta keributan), artikelnya akan dibagi jadi beberapa sub-bab yang bisa kamu lihat di daftar isi. Serta, sebelum mulai, ada baiknya kita sepakati dulu disclaimer berikut;

Artikel ini hanya sebagai sarana informasi dan hiburan. Tidak ada maksud menjelekkan, merendahkan, atau mengucilkan pihak-pihak tertentu. Mohon baca artikel dari awal sampai akhir agar kamu bisa memahami keseluruhan konteksnya. 

Nah, kalau 
disclaimer tersebut sudah bisa dipahami dengan baik, mari kita lanjut!


Membedakan Fandom yang Toxic dan Sehat

Sebelum ini, ada masa kita kenal fandom sebagai tempat hiburan yang mengasyikan. Kita bisa merayakan tokoh-tokoh fiksi (atau pun nyata) bersama-sama. Kita bisa menikmati cerita hingga semesta yang ditawarkan sambil berkenalan dengan orang baru.

Tapi, kalau lagi apes, kita mendapati neraka penuh dengan orang-orang yang tidak ramah kepada orang lain yang lebih “normatif,” “newbie atau awam,” dan “Muggle.” Tak terbentuk ruang aman untuk membicarakan sesuatu bersama mereka yang lebih “mengerti” soal seluk-beluk fandom tersebut.

Tidak hanya di fandom K-Pop kita menjumpai penggemar-penggemar yang toxic. Penggemar toxic bisa ditemukan dimana-mana dan di dalam fandom apa pun.

Contoh saja acara TV animasi Rick & Morty yang penggemarnya sempat dapat perhatian gara-gara kelakuan toxic mereka. Ada semacam “elitisme” dimana para pecinta serial animasi itu merasa diri mereka lebih baik dari orang lain di luar fandom.


Fandom Toxic vs. Sehat

Fandom yang baik itu sehat dan apresiatif. Penggemar yang baik, saling mendukung satu-sama lain dalam kolaborasi di komunitasnya. Mereka melakukan sesuatu untuk membangun satu dengan yang lain.

Fandom toxic adalah yang sebaliknya. Yaitu, ketika penggemar di dalamnya saling serang dengan penggemar lain. Ketika kritik mereka akan suatu acara atau kejadian, diaplifikasi dengan emosi berlebihan.

Penggemar toxic memiliki hubungan abusive dengan konten yang mereka gemari. Yaitu, mereka ga hanya berada di dalam fandom untuk merayakan sebuah karya atau seorang idola, tapi untuk mengendalikan dan melakukan manipulasi emosional seputar hal tersebut.

Penggemar toxic bisa juga abusive ke penggemar lainnya. Hal ini bisa terjadi ketika mereka merasa penggemar lain bukan penggemar “sejati”, dan menganggap orang lain itu palsu, hanya berpose, atau sekedar penggemar casual aja.

Orang-orang yang punya selera mainstream, biasanya merasakan tekanan dari kemarahan penggemar toxic. Contohnya, seorang penggemar toxic dari Star Trek merengutkan wajahnya ketika menyadari seseorang hanya mengerti acara itu dari orignal series, belum menonton setiap episode dari setiap serial, dan ga bicara dengan bahasa Klingon.

Kadang-kadang, target dari abuse penggemar toxic adalah anak remaja atau menjelang usia remaja. Penggemar toxic juga bisa benar-benar jahat dalam melakukan bullying. Hal ini membuat penggemar toxic lebih dari sekedar assholes, melainkan orang-orang berbahaya.

Di barat, orang-orang toxic itu tak boleh masuk ke convention atau fan club. Di Indonesia, kita juga mulai melihat usaha para mimin (admin) dan momod (moderator) menjaga komunitasnya dari orang-orang toxic tersebut. Tapi, sayangnya, usaha kita untuk menjaga fandom dari penggemar toxic, hanya makin membenarkan perasaan para tukang bully itu (menganggap diri mereka di presekusi atau di-bully).


Faktor-faktor Penyebab Lahirnya Fandom Toxic

Posesif, merasa berhak atas sesuatu (entitlement), dan merasa lebih superior dari orang lain, merupakan 3 elemen penting terbentuknya fandom toxic. Hmm… nikmat ga tuh!

Sifat posesif itu berarti penggemar toxic “merasa memiliki” konten yang mereka gemari, dan hanya milik mereka saja. Yah, ibarat seseorang punya kekasih, lalu kekasihnya ga boleh bergaul atau berinteraksi dengan orang lain mana pun selain dirinya.

Penggemar toxic melihat hal yang dia gemari sebagai “wilayah” atau “properti” yang mereka jadikan hak milik (merasa berhak atas hal yang digemari). Penggemar sehat (atau at least ga toxic) menyadari fakta kalau mereka mengapresiasi tanpa rasa berhak memiliki hal yang mereka sukai.

Contoh terbaik dari sikap posesif biasanya ditemui dalam kalangan penggemar idola pop atau idola Jepang. Para perempuan di-stalk dan dilecehkan oleh penggemar yang merasa “berhak” atas perempuan yang mereka sukai. Jadi, jika seorang idola perempuan membuat keputusan yang tak menyenangkan hati penggemar, mereka akan menyerang, mengancam, dan melecehkan idola tersebut.

Sikap-sikap semacam itulah yang terlahir dari mentalitas posesif.

Sebaliknya, penggemar yang baik akan menghargai (respect), mengaggumi, dan memuji sesuatu atau seseorang, tanpa berusaha mengontrol orang-orang dibalik hal yang mereka sukai.

Entitlement (bisa diartikan juga dengan “sok” dan “paling berhak” atas sesuatu) bergandengan tangan dengan sifat posesif. Secara dalam kepala mereka berpikir memiliki hal atau orang yang disukai, pihak manajemen atau penciptanya “HARUS” melakukan apa pun yang mereka minta.

Contoh, penggemar toxic meminta pasangan romantis atau “shipping” terjadi dalam sebuah series. Jika hal itu ga terjadi, mereka akan sangat geram dan marah, hingga mengirimkan “ancaman pembunuhan” ke si pencipta atau penulis dari serial tersebut.

Sebaliknya, penggemar yang baik, mungkin menginginkan sesuatu atau berpikir “jalan ceritanya bisa lebih baik” jika series mengarah ke jalan lain. Namun, mereka paham kalau kadang pembuat acara tidak melakukan apa yang mereka inginkan. Penggemar yang baik akan menerima hal tersebut, serta menghargai arahan kreatif yang dipilih oleh si pengarang, secara penggemar yang baik juga ga menganggap karya itu sebagai milik mereka sendiri.

Kemudian, merasa lebih superior. Penggemar toxic merasa lebih superior dari penggemar lain yang tidak intens / obsessive, mereka yang sering diberi label penggemar “casual”.

Penggemar toxic juga merasa dirinya “LEBIH BAIK” dari penggemar lain. Mereka memberi julukan pada penggemar lain dengan sebutan “normies” atau “Muggles” atau sebutan penuh penghinaan lainnya, hanya agar dirinya merasa menjadi bagian dari sebuah klub elit.

Penggemar toxic biasanya komplain tentang interaksinya dengan orang lain yang tak seobsesif mereka, menganggap orang lain itu “bodoh” dan “dangkal” sampai menganggap orang lain tidak cukup pintar untuk mengerti apa pun yang mereka sukai.

Sementara itu, penggemar yang sehat, menerima orang lain yang bukan penggemar. Mereka tidak begitu memikirkan fakta kalau orang lain bisa punya kegemaran yang berbeda.

Rasa superioritas para penggemar toxic atas non-penggemar dan penggemar biasa disebabkan oleh karena mereka mengasosiasikan fandom dengan hal yang mereka sukai dan kecerdasan atau kedalaman pemahaman.

Yang menyedihkan adalah, para penggemar yang berteriak paling keras tentang betapa pintarnya menyukai sesuatu membuat mereka sebenarnya adalah penggemar yang paling tidak cerdas dari hal itu. Tapi mereka juga yang paling mungkin mendapatkan perhatian media, meski pun jika mereka minoritas kecil di dalam fandom.


Echo-chamber Sebagai Mamak dari Para Penggemar Toxic

Budaya penggemar toxic, lebih sering kita jumpai seketika internet menjadi sebuah echo-chamber (ruang gema). Sebuah echo-chamber adalah ruang, tempat, dalam suatu forum atau media sosial, dimana opini yang berbeda tidak bisa ditoleransi.

Ini berarti kelompok tersebut memiliki mentalitas yang konformis dan seperti kawanan. Segala sesuatu yang mereka lakukan dan katakan memberi makan preferensi in-group dan bias out-group. Ketika orang luar masuk dan secara tidak sengaja membuat kecerobohan di salah satu kelompok ini, mereka biasanya 'dididik' dengan kasar atau di-banned.

Masih ingat ribut-ribut masalah politik di Internet beberapa waktu lalu? Ya, ada dokumenter Netflix tentang masalah ini berjudul, Social Dilemma.

Echo-chamber memberi makan fanatisme ala sekte dari para penggemar toxic. Hal itu memberanikan mereka untuk merasa seperti bagian dari kelompok besar yang diisi dengan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Betapa pun kecilnya sudut pandang dalam sebuah fandom, kamu akan menemukan jurang yang cukup besar dari orang-orang yang memegang sudut pandang tersebut.


Latar Belakang Penggemar Toxic yang Juga Toxic dan Amat Kompleks


Narsisme yang Tertutup

Banyak penggemar datang dari kehidupan yang ter-bully atau diasingkan secara sosial karena kegemaran mereka. Hal itu membuat fandom menjadi sangat penting dan menjadi bagian sentral dalam identitas mereka.

Konsep akan diri mereka dibangun dari fakta bahwa kegemaran mereka telah menjadikannya seorang outcast atau kalangan terbuang. Untuk merasionalkan pengasingan itu beberapa orang berpikir kalau hal itu terjadi karena orang yang tidak sepintar mereka merasa cemburu. Orang lain yang mengasingkan mereka, tidak mampu mengerti hal yang SANGAT KEREN DAN INTELEKTUAL yang digemari oleh penggemar tersebut.

Penggemar toxic acara Rick and Morty melihatnya seperti itu. Tapi bukan hanya mereka yang menganggap:

  1. Hal Yang Kusukai membuatku Istimewa
  2. Aku di-bully karena aku ini Istimewa

Narsisme yang Buka-bukaan

Dalam beberapa kasus, yang berarti ga sedikit kasusnya, penggemar toxic inilah yang menjadi bully dan membenci orang lain. Mereka bisa jadi seorang perempuan yang membenci perempuan lain yang menyukai makeup, atau seorang kutu buku yang menertawai penggemar bola dan basket.

Seseorang bisa sangat terbawa arus sampai menganggap diri mereka “lebih keren” dari orang lain karena kegemaran yang berbeda. Akan ada waktu untuk mereka menyadari kalau pandangan orang di luar dunia mereka justru sebaliknya (mereka tidak sekeren dan sebaik yang mereka pikirkan dari sudut pandang orang lain), dan itu rasanya ga enak.

Dampak dari Perundungan dan Diskriminasi

Ketika sebuah perundungan (bullying) terjadi, rasa takut dari kejadian itu membuat korbannya menjadi hype-vigilant. Ketakutan itu membuat seseorang bisa melakukan banyak hal gila. Mereka bisa mengembangkan pandangan paranoid, reaksi berlebihan terhadap kritik akan diri mereka atau hal yang mereka sukai.

Karena rasa takut di-bully lagi, beberapa orang melakukan bullying ke orang lain. Atau melakukan hal yang melebihi porsi dari hal terkait (merundung orang lain karena kesukaan mereka, seperti contoh di sub-bab sebelumnya).

Jadi, rasa takut tersebut melahirkan lingkaran setan yang tak ada hentinya.

Kecanduan Validasi dan Perhatian

Konflik yang tadi sudah dijelaskan, kemudian menciptakan pendirian dan rasa memiliki yang dikaitkan ke preferensi in-group, sebuah “surga aman” dari komunitas penggemar. Secara Online, anggota kelompok memberi dukungan pada satu sama lain karena menggemari hal yang sama. Tidak berhenti sampai di situ, tapi mereka mendapatkan “poin” karena menyampaikan pendapat “ortodoks” kelompok tertentu tentang kegemaran itu melalui cara-cara seperti menyumbang karya, fanfiction, berpartisipasi di acara pameran (convention), dan lain sebagainya.

Orang-orang yang kecanduan validasi dan perhatian itu, mendapat supply dari jurang online. Apalagi jika dunia di luar sana kurang bersahabat. Hal itu membuat mereka memiliki loyalitas ekstrim pada kelompok, dan kebencian ekstrim pada kelompok luar. Mereka bisa begitu karena terjebak dalam fandom mereka, sehingga mereka berhenti peduli dengan orang-orang di luar dunia itu.

Bagaimana Sebaiknya Kita Menyikapi Penggemar yang Toxic?

Well, bisa jadi amat sulit untuk menjadi manusia normal dan rasional dalam sebuah fandom yang terkenal karena sikap toxic penggemarnya.


Berusaha melabrak penggemar toxic karena sikap mereka hanya akan mendorong mereka lebih dalam ke echo-chamber, bahkan semakin mengasingkan mereka secara sosial. Yang ada, perlakuan kasar dan sikap superior penggemar toxic akan semakin menjadi-jadi.

Kadang, mengabaikan mereka adalah cara terbaik supaya kita tetap waras. Berusaha melakukan konfrontasi bisa menyebabkan mimpi buruk, perputaran argumen tanpa henti, atau lebih epic lagi, membuat mereka merasa sebagai korban yang ter-bully dan terlecehkan.

“PERHATIAN adalah pengahargaan” atau bahasa jakselnya, attention is a reward.

Pembahasan dalam artikel ini tentang penggemar toxic, agaknya, bisa jadi bahan pertimbangan kamu menentukan “standard” kualitas orang seperti apa yang layak mendapat perhatianmu.


Kalau kamu punya pertanyaan lain atau saran topik yang ingin dibahas secara mendalam, sampaikan request-mu lewat formulir kontak berikut ini:

{contactForm}


Referensi Luar

7 Komentar

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

  1. Kangen sama masa-masa kita bisa dapet temen baru lewat hobi yg sama. Udah jarang banget fandom yg sehat tuh.

    BalasHapus
  2. Wah terimakasih kak atas penjelasannya, rasa penasaran selama ini jadi terjawan

    BalasHapus
  3. Kalau udah jadi toxic gini malah menjurus ke masalah psikologis ya. Banyak banget juga sebenarnya faktor dari kondisi fans yang toxic mulai dari lingkungan sehari-hari yang toxic, pelampiasan yang nggak sehat ke artisnya sampai muncul-muncul fanatisme (istilah kerennya you are mine). ❤️

    BalasHapus
  4. Apapun yang dilakukan berlebihan pasti jadi toxic. Begitu juga fandom, padahal seru kl fandom bisa saling dukung dan update tentang idolanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku kangen masa dulu bisa saling dukung sesama penggemar, ga terpisah-pisah kayak skrg. Semua sibuk cari perhatian buat dirinya sendiri, atau saling serang dengan penggemar dari fandom lain.

      Hapus
  5. Wah, tulisan yang sangat menarik. Gak nyangka bisa sampe segitunya ya. Memang kalau berlebihan membawa efek negatif

    BalasHapus
  6. Kalo sudah toxic kadang susah obatnya, pindah lingkunganpun masih bisa toxic juga

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.