Beberapa waktu lalu, saya mampir ke sebuah forum pecinta film (MovieLand) untuk menanyakan pandangan mereka pada industri film lokal. Dari pertanyaan yang saya ajukan, jawaban yang saya dapatkan beragam. Ada sebagian besar yang menjawab dengan nada optimis, melihat adanya perubahan dan kemajuan dalam industri film Indonesia, namun, tak sedikit juga yang masih pesimis dengan alasan-alasan yang saya rasa layak untuk dibahas dalam tulisan panjang.
Sebelum mulai, mari kita sepakati beberapa hal terlebih dahulu;
Pendapat yang saya kumpulkan adalah opini pribadi dari peserta tanya-jawab. Apabila pendapat tersebut tidak sama dengan pendapat kamu, ada kolom komentar di bawah tulisan ini untuk menyampaikan pendapat versi kamu.
Terima kasih pada para anggota dan admin dari MovieLand yang memungkinkan dibuatnya artikel ini.
Nah, setelah kita sepakati disclaimer di atas, mari kita mulai bahasannya.
Alasan Penonton Indonesia Mulai Melirik Film Lokal
Adanya variasi genre dari film-film lokal, menjadi alasan yang paling sering diulang ketika para peserta tanya-jawab menyampaikan pendapat mereka. Sebelumnya, kita hanya disuguhi stagnasi genre di film-film Indonesia. Kalau bukan cinta-cintaan, paling film horor buka-bukaan. Hal itu menciptakan kejenuhan dari kalangan penonton Indonesia.
Ketika film dan serial bergenre baru mulai muncul, seperti Teka Teki Tika, Mencuri Raden Saleh dan Perfect Strangers, penonton Indonesia mengapresiasi keberanian para sineas film untuk bereskperimen.
“Jujur makin lama makin bagus, dulu ane gk ada minat nonton pelem indo di bioskop, sekarang udah mulai sering, apalagi banyak genre baru kaya mencuri raden saleh, gk horror atau romcom melulu.” – D, MovieLand
“Sebenernya banyak potensi disini bikin film bagus kalo kasus pembunuhan kaya film seri detective atau Film Crime thriller. Sambo bisa tuh kalo dibikin film. Tp gk ada yg berani sutradara maen di area aman aja Film yg cepat balik modal kaya Film Horror.” – E, MovieLand
“rata rata cuma yang genre horrornya doang yang niat bikinnya, selain genre itu g ada yang menarik.” – ABW, MovieLand
Memang perkembangan genre ini belum maksimal karena masih di tahap-tahap awal. Namun keberanian para pembuat film lokal memecah stagnasi ini, patut untuk kita apresiasi.
Semoga, kedepannya, sineas kita bisa lebih berani mengusung kejadian-kejadian nyata (seperti kasus penghilangan nyawa Brigadir J) untuk diangkat dalam film. Seperti di Barat, mereka berani mengangkat tragedi-tragedi di dunia nyata ke dalam film. Bahkan sebelumnya, di era 80-an, pembuat film Indonesia lebih garang bernyali. Namun, entah bagaimana, industri film lokal, terjebak dalam zona nyaman selama bertahun-tahun.
“Perkembangan film lokal udah kearah yg lebih baik sih, soal bagus tidaknya, itu masih relatif dan jangan terlalu judgemental juga, kasih ruang dan kesempatan buat para sineas berkembang. Banyakin model cerita aja dulu (bukan genre), kayak teka teki tika ato mencuri raden saleh kemaren itu udah mayan banget (bukan original tapi udah berani main2 di ranah baru), coba digali lagi cerita2 kyk janji joni, ato mungkin kisah penjaga pintu tol (kyk film adam sandler), ga selalu harus soal kesusahan hidup, satu yg kurang di indonesia itu mengangkat soal positif vibes, rata2 yg dijual berkutat di kesedihan, perkawinan rusak, horor ama cinta2an religi.” – EM, MovieLand
Baca Juga → Bedanya Review Film-nya Orang Luar dan Indonesia, Serta Harapan untuk Film Lokal Kedepannya
Ruang-ruang Agar Industri Film Lokal Bisa Terus Bekembang
Perlunya Talenta-talenta Baru
Ada beberapa kekurangan dalam industri film Indonesia yang dapat dilihat sebagai ruang untuk berkembang agar terus maju.
Pendapat berulang mengenai kekurangan film lokal adalah pilihan pemeran yang masih dimonopoli oleh beberapa aktor dan aktris saja. Seperti munculnya Reza Rahardian sebagai pemeran dalam hampir semua film drama. Kemudian, film komedi yang hanya dimonopoli oleh para stand-up comedian.
Adanya stagnasi dalam pemilihan pemeran, menciptakan kerinduan dalam hati penonton untuk melihat talenta-talenta baru.
“Ga berani ambil resiko demgan pemain baru yang belum terkenal2 amat. Kaya film korea, selalu baru / fresh pemainnya, ntr kita kebawa sm karakter barunya. […]
Film indo biasanya laku klo diambil dr kisah nyata, nah pada saat itu ambillah pemain2 / casting org baru tp punya karakter sm..sy yakin sih akan ada rasa penasaran sm pemain baru.”
– CSY, MovieLand
Sebelumnya, Ngeri-ngeri Sedap sempat dapat pujian karena deretan pemeran yang gak melulu good looking, tapi mampu mencerminkan latar belakang budaya dari para tokoh yang real.
Saya sendiri jengah melihat film Indonesia yang sebelumnya tidak ada “Indonesia-indonesianya” sama sekali. Pemerannya itu-itu saja, bahkan cenderung mengandalkan deretan pemeran blasteran, tampan, cantik, hingga sexy. Hmmm… Contoh saja Paula Verhoeven yang tak mampu berakting, tapi masih disuruh berperan dalam film Supernova hanya karena punya penampilan menarik.
“Sbg penonton, saya pikir industrinya makin kesini makin bagus dan makin byk sineas keren. Tp ttp harus kita akui PRnya masih byk. Mulai dari cast yg menurut saya masih belum byk kejutan, obrolan canggung yg ga natural di script (untuk bbrp film), sampe trailer yg kurang menarik dan terkesan kejar target naik, dll.” – RB, MovieLand
Tentunya, talenta-talenta baru diperlukan jika industri film Indonesia ingin berkembang. Tak hanya pemilihan pemeran, tapi juga penulis naskah yang baru.
Industri film Indonesia sangat membutuhkan penulis yang mampu membuat cerita yang berkesan, menarik, dan segar bagi para penonton. Mulai dari meramu dialog yang realistis, bukan sekedar ucapan-ucapan indah yang canggung dan tidak natural, sebagaimana disampaikan oleh RB lewat jawabannya. Kemudian, perlunya penulis yang mampu meramu konflik yang tak terkesan dipaksakan.
Jika ada kesempatan untuk penulis-penulis naskah baru, pastinya variasi genre yang ada juga bisa dikembangkan dan genre baru lain untuk dijelajahi, seperti genre super hero.
“Semoga ada script yg cukup berani ngasih talent comic yg stereotypical ini tantangan baru dengan memerankan karakter diluar persona comic-nya.” – EM, MovieLand
“Saya sangat antusias sama film dari bumi langit. Yg lain cuma harus di kurangin kisah percintaannya. Soalnya film indo kebanyakan percintaannya.” – AA, MovieLand
Peran Penting yang Tak Bisa Dipenuhi oleh Media Lokal
Peran media lokal bukan hanya mempromosikan “film lokal” pada penduduk negeri ini, tapi memberi pandangan yang luas mengenai film-film yang mereka promosikan. Tak ada kritik, maka sebuah industri pun akan sulit menemukan “cela” untuk melebarkan sayap.
Kerelaan media lokal jadi ajang “publikasi” untuk film-film lokal, dianggap menyesatkan oleh seorang peserta tanyajawab. Hal ini membuat media lokal tak dapat diandalkan untuk mendapat informasi yang mereka perlukan dalam hal memilih film untuk ditonton.
“Kapan ya ada media yg bener2 ngasi banyak sudut pandang soal film, jadi tu ga cuma "ini bagus" "ini jelek" karena beberapa kali nnton rekomendasi media, ternyata busuk bgt filmnya jd kecewa gitu.” – LHP, MovieLand
Kebutuhan informasi tersebut hanya bisa dipenuhi oleh komunitas pecinta film aja. Maka, jangan heran jika penonton film Indonesia meramaikan forum pecinta film dan kanal individu yang gemar membicarakan film. Sebab, ada “jurang” yang tak bisa dipenuhi oleh media lokal yang hanya bertujuan komersil, sampai mengorbankan kebutuhan penonton dalam prosesnya.
Penutup
Jika disimpulkan, penonton Indonesia sebetulnya sudah merasakan perkembangan industri film lokal menuju ke arah yang lebih baik. Mungkin dengan adanya studio film baru yang lebih berani untuk idealis, serta masuknya investor asing dari Netflix, Disney, dan Amazon Prime, memberi ruang sehat untuk bersaing. Secara, sebelum ini industri film lokal hanya dimonopoli oleh produser film yang hanya ingin berdagang.
Tak menutup kemungkinan, industri film Indonesia bisa menjadi semakin baik dan berani berkarya di masa depan. Tentu kemajuan yang kita impikan untuk film-film lokal bisa dicapai jika para investor, produser, dan sutradara mau memberi kesempatan untuk talenta-talenta baru, dan mengerjakan PR yang masih banyak mulai dari sekarang.
Sebagai media alternatif berbasis komunitas, Moonhill pun akan terus berkembang dengan adanya dukungan dari sesama pecinta film. Kalau kamu punya pendapat lain, feel free untuk menyampaikan dan menambahkan di kolom komentar.