Sejak Twitter dibeli oleh Elon Musk, salah satu orang terkaya di dunia, muncul banyak kecaman dan kritik tentang kebijakan baru yang ia berlakukan untuk perusahaan tersebut. Salah satu gebrakan awal Musk saat Twitter resmi menjadi miliknya adalah memecat beberapa executives.
(Saya ga sebutin nama-namanya siapa aja karena selain jabatannya, mereka ga begitu signifikan. Saya juga males nyalin, daripada pusing, yekkan?)
Banyak orang merasa keputusan Musk memecat banyak pegawai dan executives Twitter ini terlalu berlebihan. Ga sedikit juga yang protes karena Twitter akan berbayar jika ingin menggunakan "centang biru" di profil pengguna. Biayanya, kurang lebih $8 US per bulan.
Banyak yang khawatir kalau Twitter akan semakin "berantakan" di bawah kepemilikan Musk. Misalnya, dalam artikel CNN Amerika berikut ini, banyak orang kulit hitam kuatir dengan hate speech yang makin menjadi tanpa ada moderasi. Menurut Musk, moderasi yang tidak termoderasi (YEAH, I know, but it is what it is) memungkinkan si moderator untuk melakukan sensor ke pihak yang tidak sealiran dengan kepercayaannya.
Sebetulnya, Musk punya poin, sewaktu dia bilang, free speech yang sesungguhnya itu, kalau kita membebaskan mereka yang punya pendapat dan pandangan berbeda dari kita.
Bener memang. Ga salah. Sebab, kalau kita terus terpapar pendapat yang sama dengan kita, akan tercipta suatu echo-chamber atau ruang gema, dimana semua pemikiran dan pendapat kita selalu mendapat pembenaran. Kayak ga pernah salah, gitu.
Tapi, saya ga bahas-bahas "yang berat" di tulisan ini. Saya lebih tertarik dengan berbagai drama yang diterima oleh Elon Musk gegara serangkaian keputusannya untuk platform Twitter. Serta, bukti bahwa Twitter tidak dibuat untuk kedamaian.
Moderasi Konten dan Sejarah Ad-pocalypse di YouTube
Semoga kamu masih ingat dengan drama ad-pocalypse yang terjadi pada YouTube beberapa tahun silam. Banyak kreator yang kehilangan penghasilan dalam jumlah besar, karena pengiklan menarik iklan-iklan mereka dari YouTube.
Para pengiklan khawatir image brand atau image perusahaan mereka hancur karena YouTube meletakkan iklan mereka di halaman video kurang "pantas".
Sejak Ad-pocalypse terjadi, YouTube memperketat moderasi konten di platform-nya. Makin banyak aturan dan kebijakan yang perlu dipatuhi oleh para kreator.
Sekarang, mungkin kamu bertanya, kenapa platform besar milik Google itu takut pada pengiklan? Ya, logikanya, platform gratis yang kita gunakan sehari-hari, misalnya Facebook, Instagram––bahkan Google Search sekali pun––mendapat uang dari iklan.
Ada istilah kalau iklan itulah yang memampukan internet berjalan. Tanpa iklan, platform yang kita gunakan tidak akan ada sampai sekarang.
Moderasi konten bukan persoalan gampang. YouTube baru stabil sekarang-sekarang ini, setelah memperkenalkan YouTube Premium dan punya moderasi konten yang lebih baik––seenggaknya para kreator tidak dirugikan sepihak. Moderasi konten adalah tulang punggung dari sebuah platform kalau mereka mau mendapat uang dari pengiklan.
Sayangnya, dengan keputusan Elon Musk untuk melonggarkan moderasi konten di Twitter, membuat banyak pengiklan semakin ragu buang uang pemasaran ke Twitter. Sebelum dibeli Elon Musk, para pengiklan lebih dulu melihat Twitter sebelah mata, gegara banyaknya masalah di platform tersebut.
Twitter sebagai platform, cenderung menarik jenis-jenis pengguna politikus dan jurnalis. Alhasil, konten-konten di Twitter cenderung lebih "serius" daripada menghibur. Twitter tidak dianggap serius oleh advertiser sewaktu bersaing dengan platform hiburan seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube yang kontennya lebih general dan beragam.
Elon Musk memang mengungkapkan kalau Twitter jadi punya banyak pengguna aktif sejak dia bikin sensasi. Tapi bukan berarti para pengiklan mempertimbangkan platform tersebut. Pengguna aktif Pinterest masih lebih banyak dibanding Twitter, apalagi kamu ga pernah denger orang komplain soal platform yang satu itu kan? –– Masa iya, dekorasi rumah mendadak jadi political atau memulai Perang Dunia Ke-3.
Pengguna Twitter Tidak Akan Siap untuk Kedamaian
Di sebuah negara Utopia entah di realita alternatif ke berapa, mungkin kita melihat Twitter tanpa Tweet-War (perang antar pengguna di platform Twitter). Namun sayangnya, Twitter Utopia tidak akan pernah ada di realita yang kita miliki.
Sejak Elon Musk "berulah" jumlah pengguna aktif di Twitter melonjak drastis. Banyak orang komplain soal Twitter di Twitter. Meski pun banyak yang ga suka dengan keputusan Musk, pendapat yang mereka unggah di Twitter tetap menguntungkan Twitter.
Cuitan Elon Musk bikin ngakak.
Banyak jurnalis berbondong-bondong berusaha menjatuhkan nama Elon Musk di platform milik Musk. Kalau kalian sempat memperhatikan cuitan Musk beberapa waktu terakhir, pasti kamu sudah tahu apa saja berita-beritanya.
Entah sentimen macam apa yang dimiliki jurnalis AS pada Elon Musk. Pandangan mereka berubah-ubah dan tidak konsisten. Saat awal Elon Musk mau membeli Twitter, Musk dikatain menghamburkan uang, dan Twitter dikatakan sebagai platform media sosial yang udah sekarat.
Lalu, saat ada masalah dalam proses akusisi Twitter, Musk disebut sebagai orang yang pintar karena mau mempertimbangkan ulang keputusannya membeli Twitter. Penemuan Musk tentang banyaknya bot di Twitter, bikin mereka main bersemangat menjelek-jelekkan Twitter, masih berharap Musk tidak jadi akusisi perusahaan itu.
Kemudian, saat sekarang Musk sudah resmi jadi pemilik Twitter, serangan yang awalnya ditujukan pada Twitter berbalik padanya. Mulai dari dikatain aneh dan ga jelas––bawa-bawa wastafel ke kantor Twitter––sampai yang paling baru, Twitter dikabarkan akan shut down karena banyak pegawai yang mengundurkan diri gegara ga suka dengan Musk.
Let that sink in…
Sejak dramanya beli platform Twitter sampai resmi jadi pemilik, berita tentang Twitter dan Musk tidak pernah berhenti. Tidak heran kenapa pengguna aktif Twitter melonjak demikian drastis.
Jadi, bukan moderasi konten super ketat seperti di YouTube, Facebook dan kawan-kawannya yang cocok untuk tipe pengguna Twitter, justru "kebebasan berpendapat" dengan adanya kelonggaran moderasi konten.
Sayangnya, memang itulah yang terjadi. Bahkan Hank Green pun menyadari hal tersebut.
Apa Sekarang Masih Terlalu Dini untuk Menilai?
Elon Musk memang punya wacana memperkenalkan Twitter Blue, sebuah layanan premium untuk platform tersebut. Sebelumnya, sewaktu YouTube memperkenalkan YouTube Premium, banyak yang kurang menerima produk tersebut. Tapi, makin ke sini, nyatanya ada banyak yang berminat menggunakan YouTube Premium sampai mencari ulasannya di Moonhill.
So, rasanya banyak perkembangan yang belum bisa kita nilai hari ini. Bisa jadi Twitter akan menjadi platform terbaik setelah Meta/Facebook, atau bisa juga sebaliknya.
Saya bukan fangirl-nya Elon Musk, tapi saya tahu dia orang pintar sampai bisa jadi salah satu manusia terkaya di dunia dan CEO dari SpaceX dan Tesla. Entah, inovasi dan pemikiran seperti apa yang Musk miliki untuk Twitter. Kita tidak pernah tahu secara pasti.