Awalnya, aku galau banget, mau nulis tentang hal ini dimana, tapi setelah
ditimbang-timbang, sepertinya argumen dalam tulisan ini masih memuat pandangan pribadiku yang belum sempat
aku diskusikan dengan teman-teman lain dari komunitas illustrator.
Jika seseorang benar-benar seorang “Artist” (seniman) maka dia tidak akan pusing dengan hadirnya teknologi baru ini. Seniman sejati akan terus berkarya, terlepas dari apa pun alatnya. Mereka akan melihat teknologi ini sebagai peluang untuk mewujudkan ide dan berkomunikasi dengan cara yang baru. Namun, jika ternyata seseorang itu hanya seorang “Craftsman” (pengrajin), cenderung melakukan hal-hal yang repetitif sampai bisa di otomatisasi. Sebaiknya mereka bersiap-siap mencari pekerjaan baru, sebab pekerjaan mereka bisa dengan mudah digantikan oleh robot.
Jadi, kalau teman-teman illustrator/seniman visual di sini tertarik dengan topik ini, mohon berikan pandangan kalian juga di kolom komentar.
Begini, guys… kalau kamu orang yang aktif di internet seperti aku dan
teman-temanku, mungkin kamu menyadari ada fenomena yang terjadi belakangan
ini, yaitu gerakan NO AI GENERATED IMAGES yang
dilatarbelakangi oleh kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang semakin
canggih.
By the way, pengetahuanku seputar teknologi dan pengembangan kecerdasan buatan ini masih terbatas, jadi aku akan melihat topik ini dari sudut pandang sebagai orang biasa, sebagai pekerja kreatif yang mendesain dan menulis, juga sebagai penikmat karya.
Sebenarnya aku paham, kenapa para seniman visual, baik yang tradisional mau
pun digital, mencemaskan dan memprotes perkembangan Artificial Intelligence
(kecerdasan buatan i.e AI) yang sekarang sudah merambah ke
text-to-image dengan kualitas tinggi. Dengan memasukkan instruksi
dalam bentuk teks ––atau prompt–– seseorang bisa menghasilkan sebuah karya
visual yang unik dan menarik.
Kemudian, ada juga perkembangan AI dari segi menulis dan membuat musik. Dari
luas, kemajuan pesat ini seakan-akan dibuat dengan sengaja untuk menggantikan
manusia. Hal ini menimbulkan kecemasan dimana-mana, tak terkecuali insinyurnya
sendiri––sebab sekarang, AI juga sudah bisa menulis coding.
Sebagai seorang kreatif yang sehari-hari mendapat penghasilan dari pekerjaan
kreatifku, aku jadi bertanya-tanya;
Jika robot, komputer, atau kecerdasan buatan sudah bisa mengerjakan sesuatu
yang kompleks secara otomatis, apakah manusia akan kehilangan kreativitas?
Apakah manusia akan kesulitan menemukan pekerjaan? Atau justru sebaliknya,
akankah tercipta peluang baru karena teknologi ini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang ingin aku diskusikan lewat tulisan
ini.
Asal Usul Protes Seniman Pada AI Generated Images
Etika Penggunaan Data, Longgarnya Regulasi, dan Kurangnya Perlindungan
untuk Seniman
Protes dari para seniman visual, sebenarnya berasal dari pelanggaran etika.
Para insinyur AI menggunakan karya-karya yang dilindungi hak cipta untuk
mengajari mesin mereka cara menggambar. Pemilik karya ilustrasi, foto, atau
lukisan, tidak diberi pilihan untuk menyerahkan karya mereka, jadi kurang
lebih,
AI Generated Images ini dilatih dengan karya-karya curian untuk
menggantikan si pemilik karya––ironis banget!
Parahnya lagi, layanan AI Generated Images ini dijual, dengan model biaya
langganan yang lebih murah daripada menyewa jasa seniman manusia. Semakin
marah deh para seniman, selain karena karya mereka dicuri, mereka ga dapat
kompensasi, sekarang layanan itu mengancam profesi mereka juga.
Lalu kalian mungkin bertanya-tanya, kok bisa perusahaan dan para insinyur AI
menggunakan data-data yang dilindungi hak cipta?
Jadi, di Amerika ada hukum yang namanya “Fair Use” dimana karya yang
dilindungi hak cipta boleh digunakan oleh orang lain untuk tujuan akademis,
seperti kritik, pengkajian, riset, dan lain sebagainya, selama tidak
diperjual-belikan.
Aku bukan ahli hukum tapi kurang lebih yang aku mengerti seperti itu.
Basis dari teknologi AI Text-to-Image adalah algoritma dari LAION (lembaga
non-profit)
Para insinyur AI awalnya menggunakan nama organisasi non-profit untuk
mendapatkan “hak istimewa” dari Fair Use tersebut. Tapi, seiring berjalannya
waktu, permainan berubah menjadi tidak adil––bagi seniman yang karyanya
dicuri, juga terancam kehilangan pekerjaan.
Masalah ethics—atau etika—ini, bikin orang lain yang melihat “karya”
dari si AI ga mungkin sepenuhnya mengetahui karya-karya siapa aja yang dicuri
dan pengguna AI juga ga mungkin memberikan credit atau sumber.
Kecuali pengguna AI sengaja menggunakan prompt teks “dengan gaya artist X/Y”
dan mencantumkannya di setiap karya yang mereka upload ke internet.
Sayangnya, karena internet memang tempat yang bebas dan luas,
tidak semua orang mau membuka informasi jika sebuah karya dibuat dengan
bantuan AI. Banyak orang ga betanggungjawab yang sudah mengambil keuntungan dari teknologi tersebut––memanfaatkan regulasi yang kendor, dan perlindungan seniman yang lemah untuk
menjual gambar buatan AI––tanpa kompensasi pada seniman yang karyanya telah
dicuri demi melatih AI.
Seorang seniman sekaligus YouTuber (akan disebut Art YouTuber dalam artikel ini untuk seterusnya) bernama Cynthia Zhou mengatakan, “teknologi AI tidak pernah dibuat untuk memplagiat karya orang lain […] plagiarisme terjadi ketika seseorang menulis prompt, buat karya dengan gaya seniman X.” Jadi, menurutnya, yang salah bukan teknologinya, tapi orang-orang ga bertanggungjawab yang menggunakan teknologi itu.
Double-standard dan Sikap Elitisme, Bakal Bikin Seseorang Semakin Tertinggal
Kalau kamu mampir ke YouTube atau media sosial lain, dan mencari seputar topik ini, kamu akan menemukan berbagai argumen dari bermacam spektrum. Ada seniman yang pro, tapi ada juga seniman yang kontra.
Ada seniman yang mendukung AI dijadikan alat penunjang, ada pula seniman yang melihat AI sebagai akhir dari seni dan kreativitas manusia. Mereka yang kontra pada perkembangan ini, berargumen bahwa gambar yang dibuat oleh AI bukan seni, dan mereka yang hanya menuliskan prompt, bukan seniman.
Menurutku, itu semua tergantung bagaimana kita mendefinisikan “seni”.
Karya yang semata-mata dibuat oleh AI tanpa melakukan perubahan atau adjustment, tidak bisa dianggap sebagai karya seni. Ibarat kita memesan makanan di restoran, kita hanya memesan, lalu pesanan diberikan pada kita, apakah kita bisa bilang, kita juru masaknya?
Mereka yang kontra pada teknologi ini, cenderung “ogah” banget mencoba AI text-to-image. Padahal, perubahan telah terjadi dan “masa depan” ini udah di depan mata. Banyak seniman yang meminta seniman lain untuk berhenti buang waktu dan mulai mempelajari dan memanfaatkan teknologi baru ini, salah satunya Cynthia Zhou tadi.
Rasanya ga etis, jika karena beberapa masalah, kemudian kita melakukan generalisasi; semua orang yang menggunakan AI dalam berkarya, bukan Seniman/Artist sungguhan.
Memang ada masalah dalam prosesnya. Menggunakan data orang lain tanpa izin, juga tidak bisa dibenarkan, apalagi plagiarisme terang-terangan. Namun, apa salahnya juga melihat peluang baik dari perkembangan baru ini?
Jika karena kekecewaan itu kita melihat teknologi ini dengan sebelah mata, sampai-sampai mengeneralisasi penggunanya sebagai “bukan seniman”, membuatku berpikir bahwa hampir sebagian besar orang dalam komunitas seniman punya double-standard dan bersikap elitis saat mendefinisikan "kesenian". Akhirnya, bukan debat produktif seputar regulasi dan bagaimana cara menggunakan teknologi ini dengan baik yang ditemukan, melainkan sikap superioritas dan saling menindas.
Sebelumnya, ungkapan “Modern Art” sempat menjadi meme dan lelucon dari
kalangan "seniman", karena “kurang skill teknis” dan karyanya
tidak terlihat "indah"––Yet, karya-karya Modern Art telah terjual jutaan dolar, memulai
percakapan, terlepas dari isu money laundry dan lain sebagainya.
Sumber
Smithsonian Magazine
Sekarang,
saat mesin bisa menciptakan gambar yang tidak buruk rupa––cakep-cakep
banget memang––dan memamerkan skill teknis tingkat tinggi, para "seniman" yang sama tetap
mengatakan gambar-gambar tersebut bukan seni sampai ogah mencoba teknologi ini untuk menaikkan level kreativitas mereka.
Saya sempat
mendengar pendapat dari seorang seniman tradisional yang sampai hari ini, menganggap Digital Art
bukan seni, karena alat-alat digital menawarkan "kemudahan" dalam proses membuat sebuah
karya. Mirip dengan ungkapan dalam video di atas, dia membenci Modern Art
karena "malas" dan terlalu "gampang".
Lalu, apakah adil jika kita menilai “seni” hanya dari susah atau tidaknya sebuah proses? Dan, apa bisa kita menilai seni hanya dari "indah" atau tidaknya sebuah karya bagi kita?
Nyatanya, Banyak Seniman yang Diuntungkan oleh Teknologi AI
YouTuber asal Rusia, BoroCG (video-nya terlampir di atas),
menjelaskan kalau dalam Bahasa Rusia, ada dua jenis kata untuk membedakan dua
konteks kesenian, yaitu "Art" (seni) dan "Craft" (kerajinan).
Dia menyadari kalau dalam Bahasa Inggris, semua hal––bahkan yang ga
berseni––disebut sebagai "Art" (seni). Bahkan coret-coretan orang yang tidak bisa menggambar juga bisa disebut sebagai Art (seni).
BoroCG memberi pengertian kalau Art (seni) sama seperti Scientist (ilmuwan), orang-orang yang menemukan sesuatu yang baru. Sementara Craft (kerajinan) itu sama seperti Engineer (insinyur), orang-orang yang punya skill untuk melakukan sesuatu dengan hal yang ditemukan ilmuwan. Maka, baginya, nilai seni tidak hanya dilihat dari hal yang repetitif, tapi juga ide atau penemuan baru di dalamnya.
BoroCG juga menarik contoh dari pekerjaannya sehari-hari, saat harus melakukan
tugas repetitif yang memakan banyak waktu untuk mendapatkan variasi berbeda
dari setiap gambar. Menurutnya, Art (seni) bukan sekedar melakukan
tugas repetitif. Itu hanya bagian dari skill
Crafting (kerajinan).
Kini, AI sudah bisa melakukannya untuk
kita dengan biaya yang lebih murah dan waktu yang sangat cepat. BoroCG
mengakui, sejak menggunakan AI untuk membantu pekerjaannya, dia bisa
menggunakan waktu luang untuk memfokuskan pikiran pada segi kreativitas
seperti pengembangan cerita dan ide-ide lainnya.
Ada satu lagi Art YouTuber, mungkin kamu sering dengar namanya, Jazza.
Dia melihat betapa menguntungkannya integrasi AI dalam pekerjaan sehari-hari.
Otomatisasi tugas yang diserahkan pada AI membuatnya punya lebih banyak waktu untuk hal-hal produktif lain.
Kamu bisa lihat sendiri dalam video di atas, Jazza dan rekannya memperlihatkan proses penggunaan AI dari segi
coloring dan refining karya. Hanya dalam 2 minggu, rekannya bisa membuat beberapa contoh karakter, saat sebelumnya proses tersebut memakan waktu selama berbulan-bulan.
Proses serupa juga dilakukan oleh
rumah penerbitan online asal Indonesia, katiaelson.com (akan berganti jadi
fiksi.net dalam waktu mendatang) dalam proses sketching dan penentuan
concept art.
Keuntungan dari teknologi ini menyebrang dari seniman visual, ke penulis cerita. Beruntungnya, para penulis punya cara dalam mencari “kata-kata” yang sesuai dengan imajinasi mereka.
Jadi, saat perlu menuliskan “prompt” pada AI text-to-image, mereka hanya perlu membekali diri dengan kemampuan menilai gambar yang bagus dan buruk untuk memilih variasi yang tepat. Maka, fundamentals (atau pengetahuan dasar) menggambar menjadi bekal yang sangat berharga dalam mengoperasikan alat tersebut.
Sebenarnya, tidak salah ketika YouCanCallMeLuke, berkata, “AI akan menjadi narkotika terkuat untuk membawa lebih banyak manusia belajar tentang seni.”
Tergantung Pada Manusia: Menetapkan Regulasi dan Melindungi Hak-hak Seniman
Rasanya aku seperti melihat era internet dibuka untuk semua orang dulu. Banyak yang wanti-wanti soal misinformasi dan penyalahgunaan teknologi, tapi nyatanya, semakin hari semakin banyak peluang yang tercipta juga. Pekerjaan-pekerjaan baru yang sebelumnya ga pernah terpikirkan, menjadi pekerjaan krusial dan dibutuhkan––influencer, blogger, copywriter, dan masih banyak lagi.
Masalah yang tadi udah dijabarkan di atas—etika penggunaan data dan penggunaan AI yang bertanggungjawab—saat ini, mulai dilakukan. Regulasi-regulasi baru ini tidak mungkin terjadi jika para seniman yang memprotes tidak didukung oleh masyarakat luas.
Saat ini, ArtStation, sebagai salah satu sumber data untuk mengajari AI membuat gambar, sudah memberikan opsi pada penggunanya. Mereka bisa memberi tag “No AI” pada setiap karya yang diunggah ke platform tersebut, saat seniman tidak mau karyanya digunakan oleh robot.
Kemudian, MidJourney sudah menghilangkan opsi untuk menggunakan nama seniman dalam prompt. Sehingga para pengguna dan platform mereka bisa dilindungi dari gugatan hak cipta, juga melindungi hak seniman dan karya-karyanya.
Sebagian besar pengguna MidJourney malah setuju dengan keputusan tersebut, bahkan Jimmy the Bug menambahkan, “ya aku setuju dengan regulasi baru ini, memasukkan nama seniman dalam prompt terasa salah.”
Bagaimana Kita Akan Memanfaatkan Teknologi Ini Nantinya
AI adalah alat yang sangat powerful. Ibarat Thanos yang sudah memiliki 7 Infinity Stones. Bagaimana regulasi untuk alat ini dibuat dan ditetapkan, tergantung dari bagaimana perjuangan manusia atas hak-hak sesamanya saat ini.
Platform-platform yang menjual data sampai insinyur yang menyalahi etika, mulai diperketat dan ditetapkan batasan. Mereka yang tidak bertanggungjawab dalam menggunakan alat tersebut, cepat atau lambat juga akan kehilangan kesempatan.
Menurutku, kita juga ga boleh menghujat semua pengguna AI dengan sembarangan, karena ada banyak pengguna AI seperti Tim dari katiaelson.com dan Jimmy the Bug yang mendukung hak-hak seniman visual dengan menetapkan regulasi dan etika––batas-batas––pada diri sendiri selama menggunakan alat tersebut.
Sejauh ini kita udah mendengar banyak testimoni dari kalangan seniman yang menggunakan AI untuk menambah level kreativitas mereka, sampai orang-orang yang tidak pernah menggambar ikut belajar cara menggambar demi memaksimalkan cara mereka mengekspresikan diri lewat seni visual.
Wajar jika masih banyak seniman visual yang ketar-ketir melihat teknologi baru ini. Kemungkinan besar, mereka akan kesulitan bersaing dengan komputer. Ibarat membandingkan sebutir gandum dengan matahari. Tetapi, jika saja mereka mau melihat kemungkinan baik lain dengan adanya AI text-to-image, misalnya mencoba melakukan apa yang dilakukan Jazza dan rekannya, aku yakin dasar-dasar ilmu menggambar yang sudah mereka miliki akan sangat berguna.
Dalam video di atas, Art YouTuber, Ergojosh, memberi ulasan seputar keterbatasan AI yang masih memerlukan bantuan manusia. Misalnya, AI tidak bisa mereplikasi desain atau gambar yang sudah dibuat meski pun menggunakan prompt yang sama. Pada akhir hari, kita tetap membutuhkan manusia untuk menghasilkan karya dengan konsistensi.
Menurutku, rezeki itu udah ada yang mengatur. AI text-to-image memang bisa digunakan oleh siapa pun, seperti kamera yang sudah dimiliki hampir semua orang. Tapi, apakah semua orang yang memiliki kamera adalah fotografer? Tentu aja enggak, kan. Seseorang perlu membekali diri dengan dasar-dasar fotografi untuk mengambil foto dengan baik.
Hati-hati dengan Instant Gratification
Berbahayanya ketika seseorang menggunakan AI semata-mata karena didorong mental konsumerisme. Aku sadar kalau AI text-to-image bisa menjadi mesin dopamin layaknya Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya. Lebih mudahnya disamakan dengan fast food atau junk food. Tanpa mempelajari cara menggambar, seseorang bisa menggunakan AI untuk mewujudkan imajinasinya, kapan pun dan dimana pun, dengan cara yang sangat mudah dan cepat. Lalu, apa bedanya dengan instant gratification?
Waktu yang mereka gunakan untuk mengolah prompt dan mempelajari cara AI bekerja, lebih baik kalau dimanfaatkan dengan belajar menggambar. Mereka bisa lebih mampu mengoperasikan alat dengan baik, seperti yang sudah diperlihatkan dalam video Jazza di atas.
Meski pun Cosmic Spectrum Art (video di atas) termasuk Art YouTuber yang menentang AI Generated Images, tetapi, argumennya seputar konsumerisme dan bahayanya mendapat instant gratification dari penggunaan teknologi tersebut, patut dipertimbangkan.
Menjawab Pertanyaanku Sendiri
Jika robot, komputer, atau kecerdasan buatan sudah bisa mengerjakan sesuatu yang kompleks secara otomatis, apakah manusia akan kehilangan kreativitas? Apakah manusia akan kesulitan menemukan pekerjaan? Atau justru sebaliknya, akankah tercipta peluang baru karena teknologi ini?
Setelah meninjau pandangan seputar AI Generated Images, mulai dari negatif, positif, dan netral, tampaknya kerativitas manusia tidak akan hilang begitu saja. Dengan munculnya alat baru, manusia selalu menemukan cara untuk menggunakannya dalam proses kreativitas mereka.
Memang ada beberapa klaim kalau AI Generated Images sengaja diciptakan untuk menggantikan manusia. Namun… alat itu lemah dalam bagian yang juga menjadi kekuatannya. Kurangnya konsistensi, dan tidak bisa direplikasi, membuat tenaga ahli manusia tetap dibutuhkan, malah semakin krusial.
Sebelumnya, kita punya kemajuan teknologi komunikasi yang menghilangkan banyak gatekeepers––penerbitan, media cetak, dan radio––tapi nyatanya, dengan kemajuan ini, manusia malah dituntut untuk lebih kreatif dan lebih inovatif. Tercipta ruang kolaborasi baru yang sebelumnya ga kepikiran.
Jika sebelumnya, hanya ada studio-studio besar yang bisa mewujudkan visi mereka, sekarang, studio-studio kecil bisa punya kesempatan yang sama. Mereka yang dulunya harus bersakit-sakit punggung mengerjakan tugas repetitif di depan komputer, sekarang seniman bisa punya waktu untuk mengerjakan hal lain yang lebih berarti.
Sejujurnya, aku tidak sabar melihat bagaimana manusia akan menetapkan regulasi untuk melindungi hak-hak sesamanya dan menggunakan alat yang sangat powerful ini demi kebaikan di masa mendatang.