Penerbitan Tradisional dalam Pasar Buku Kini Tak Relevan


Peran penerbitan tradisional dalam peta pasar buku Indonesia kini tak lagi relevan. Dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, rumah penerbitan dan toko-toko buku besar di Indonesia tak lagi punya peran tunggal dalam seleksi pustaka mau pun distribusi. 

Kini, penulis baru, bisa memilih menerbitkan naskah secara mandiri, atau melempar karyanya ke luar negeri. Penulis lama, lebih banyak pindah haluan jadi penulis konten atau artikel daripada menerbitkan buku karena penghasilan yang lebih pasti. Sementara, pembaca, sudah jenuh dengan genre buku yang “gitu-gitu” aja dan perkembangan penerbit ke arah yang tidak kreatif, menjadi alasan pembaca ogah melirik buku terbitan lokal.

Banyak penulis independen potensial, tak ingin menerbitkan karyanya lewat penerbitan tradisional, masih ada pola pikir lama yang menganggap seseorang bisa disebut penulis atau pengarang, jika karya mereka telah diterbitkan secara tradisional.

Dalam tulisan ini, akan dijabarkan, mengapa penulis tak selalu membutuhkan penerbitan tradisional. Serta, peran penerbitan tradisional dalam peta pasar buku Indonesia yang semakin tak relevan.



Going Gentle into That Goodnight

“Penerbit tak lagi menjadi pemain tunggal dalam dunia penerbitan. Dengan demikian, penulis dan penerbit kecil memiliki akses untuk menciptakan pasarnya sendiri. Model transaksi berdasarkan penjualan kini sulit untuk dijadikan pijakan untuk memproyeksikan dan memprediksi keuntungan di masa depan.”

Tulisan diatas dikutip dari “Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi” yang diterbitkan Januari 2020 silam.

Sebagai penulis independen yang menerbitkan karya secara mandiri, beberapa dari penulis itu atau pembacanya, mungkin masih terjebak pola pikir lama, “kalau mau jadi penulis beneran, karyanya perlu diterbitkan oleh penerbit mayor atau tradisional.”

Sayangnya, hal itu sudah tidak lagi berlaku. Ya, dulu penerbit memiliki peran penting dalam dunia penerbitan. Mereka menyeleksi pustaka, menerbitkan, serta mendistribusikan karya dari penulis tersebut. Tetapi, dengan canggihnya Teknologi Informasi, peran penerbit semakin tak relevan. Penulis bisa menerbitkan karya melalui website yang ia buat sendiri, menjual buku yang dicetak secara mandiri, atau membagikan karyanya lewat platform populer. Penulis juga dimampukan untuk berhubungan langsung dengan pembacanya, serta menyajikan karya yang dirasa tepat untuk target yang ia sasar dengan cara yang ia inginkan. 

Tidak ada yang tidak mungkin berkat kecanggihan teknologi informasi. Maka, pola pikir lama juga sama tak relevannya dengan posisi penerbit tradisional dalam peta pasar buku Indonesia.


Nasib Penerbit Mayor yang Ketinggalan dan Semakin Tertinggal

Hidup segan, mati tak sengaja,” merupakan ungkapan yang pas untuk menjelaskan kondisi rumah penerbitan di Indonesia. Mereka terlambat mengantisipasi disrupsi teknologi informasi, tidak mampu mengadopsi media baru dalam model bisnis mereka, dan tak mampu menyusul ketinggalan meski telah bertahun-tahun internet jadi kebutuhan warga Indonesia.

Ketertinggalan tersebut dimanfaatkan oleh penerbit asal luar negeri yang lebih “melek” akan disrupsi teknologi. Di antaranya, Wattpad dan Webtoon yang sampai 2021, masih jadi dua platform penerbitan cerita dalam bentuk elektronik terpopuler di Indonesia. 

Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh alexa.com bulan Oktober 2019 mengenai peringkat atau ranking sebuah situs dihitung dari jumlah pengunjung situs tersebut, Wattpad berada di peringkat 547 di dunia. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-2 sebagai pengunjung situs Wattpad terbanyak di dunia dengan persentase 6,9%.

Gramedia Pustaka mencoba meniru kesuksesan 2 platform tersebut dengan menghadirkan Gramedia Writing Project (GWP).  Pada dasarnya, GWP menawarkan visi-misi yang baik. Melalui GWP, Gramedia ingin memberi kesempatan bagi penulis untuk meningkatkan keterampilan dan memperoleh pengakuan dalam industri penerbitan. Namun, tidak semua penulis memanfaatkan platform tersebut dan tidak semua pembaca mengetahui tentang GWP. Oleh karena itu, platform ini tidak dapat dikatakan sebagai platform yang sangat populer di Indonesia.

GWP masih kalah populer dibandingkan 2 platform yang sudah disebutkan lebih awal. Wattpad dan Webtoon yang lebih dulu dikenal dan diadopsi oleh penulis, kartunis, dan pembaca di Indonesia. Makanya, tidak heran jika masih banyak penulis baru memilih platform yang sudah memiliki “pembaca” daripada mempromosikan karyanya di platform yang kurang populer.

Dibentuknya GWP, mencerminkan narsisme dan rasa penting diri yang masih dimiliki oleh penerbit mayor Indonesia yang jelas tertinggal dari segi kualitas platform dan promosinya.

Kegagalan penerbit mayor di Indonesia mengukuhkan peran dalam peta pasar buku Indonesia juga dikarenakan “kepemihakan” pada genre dan penulis yang sudah populer sebelum diterbitkan. Daripada membentuk “ketertarikan” untuk membaca, penerbit mayor di Indonesia masih sibuk dengan model bisnis lama yang semakin ke sini jadi semakin tak relevan.


Kejenuhan yang Dialami Pembaca di Indonesia

Membosankan,” merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan genre buku-buku yang ditawarkan oleh penerbit tradisional di Indonesia. Lihat saja tropes CEO Ganteng, Hamil di Luar Nikah, Pacaran dengan Bad Boys, dan masih banyak lagi. Bahkan penulis sepopuler Ika Natasha pun tidak lepas dari tropes yang dia ciptakan sendiri. 

Percakapan lain di Twitter.

Kalau tidak masuk tropes tersebut, mungkin masuk latar cerita orde lama-orde baru, atau onani intelektual sang penulis dalam setiap halaman-halaman buku, masih mendominasi.


Tak Ada Lagi yang Mampu Ditawarkan Penerbit Tradisional pada Penulis, Selain ISBN

Selain jaringan distribusi yang tak lagi menarik, peran penerbit dalam seleksi pustaka pun agaknya telah gagal. Mereka tak mampu menciptakan “ketertarikan” namun memilih untuk mengikuti arus demi mendapat pemasukan dari karya populer di internet yang “udah pasti laku”. 

Akibat dari seleksi yang buruk itu, tak bisa dipungkiri jika banyak orang yang dulunya berminat membaca karya penulis Indonesia kini banyak yang memandang sebelah mata.

Percakapan di Twitter.

Berkat teknologi informasi yang semakin maju, tanpa penerbit, penulis masih bisa berkarya. Tapi tanpa penulis, penerbit tak punya barang jualan.

Sebetulnya, ketika penerbit memilih karya-karya yang sudah lebih dulu populer dan memiliki pasar pembaca, membuktikan bahwa penerbit di Indonesia sangat membutuhkan penulis lebih dari sebelumnya. Tetapi, karena mereka masih memiliki narsisme dan rasa penting diri yang tinggi, mereka enggan mengakui dan merasa bahwa masih ada peran penting yang perlu diisi.

Memang sulit menerima kenyataan, dan sayangnya, penulis di Indonesia kebanyakan cenderung “rendah diri”. Mereka yang mengira menerbitkan karya lewat penerbit tradisional bisa menambah nilai buku di mata pembaca. Kebanyakan tak menyadari bahwa merekalah yang punya “kuasa” untuk bernegosiasi.

Andai saja, ada lebih banyak penulis indie mampu mengelola Kekayaan Intelektual mereka dengan baik, serta menyadari nilai pasar yang telah mereka bentuk sendiri tanpa bantuan penerbit tradisional, mungkin mereka bisa seperti Tahilalats yang berhasil mengembangkan Kekayaan Intelektual tersebut ke ranah Global.
Katia

Anagram of a fiction writer, telling stories since 2014. Co-founder of Moonhill.id.

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.