Film “Everything Everywhere All At Once” memenangkan penghargaan Oscar 2023, kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, dan masih banyak lagi.
Film ini menang penghargaan bukan tanpa alasan. Film ini menawarkan kisah yang indah dan dibutuhkan oleh semua orang. Yaitu, menjadi pribadi yang kuat saat menghadapi ketidakpastian.
Kisahnya berpusat pada tiga tokoh, yaitu Evelyn (diperankan oleh Michelle Yeoh), suami Evelyn bernama Waymond (diperankan oleh Ke Huy Quan), dan anak mereka bernama Joy (diperankan Stephanie Hsu).
Pada suatu hari Evelyn, ibu rumah tangga biasa yang selalu gagal melakukan banyak hal, dikunjungi oleh Alpha-Waymond, versi lain dari suaminya yang datang dari realita lain.
Singkatnya, realita tempat Waymond berasal diserang oleh mahkluk sakti dan berbahaya, bernama Jobu Tupaki. Ternyata Jobu Tupaki adalah Joy dari realita tersebut.
Jobu Tupaki, atau Joy, berniat mengakhiri hidupnya dengan menciptakan ketiadaan alias ruang hampa. Itu dia lakukan karena dia sudah terlalu sakti, bisa melompat dari satu realita ke realita lain. Dengan leluasa, dia bisa menjelajahi multiverse tanpa alat.
Saking saktinya Jobu Tupaki atau Joy, dia menemukan hidup ini tidak ada artinya. Semua rasa sakit, semua kesedihan, mimpi-mimpi, ambisi dan ketakutan seseorang, tidak berarti saat dibandingkan dengan luasnya alam semesta.
Luasnya multiverse yang dijelajahi Jobu Tupaki atau Joy, menggambarkan luasnya informasi yang dapat kita akses berkat kecanggihan internet.
Untuk mengalahkan Jobu Tupaki atau Joy, Evelyn berencana membuat dirinya jadi sama saktinya. Tapi, saat dia berada di level yang sama dengan Joy, dia juga mengalami kehampaan. Ternyata, apa yang dikatakan Joy benar, hidup ini tidak berarti.
Pengertian bahwa hidup ini tidak berarti, sebetulnya ada dalam teori filosofi eksistensialisme.
Teori filosofi eksistensialisme menggarisbawahi keberadaan manusia sebagai mahkluk yang bebas dan bertanggung jawab menentukan perkembangannya sendiri melalui tindakan kehendak.
Kadang, kita bisa jadi sama seperti Joy dan Evelyn, merasa kehidupan ini tak memiliki arti. Apa pun yang kita lakukan, usaha apa pun yang kita buat, semuanya seolah sia-sia.
Misalnya, sudah kerja keras, tapi tidak ada perhatian dari atasan. Mungkin juga, kita terlalu sering melihat orang baik dihukum dan orang yang berbuat jahat tidak dapat balasan yang pantas.
Momen-momen seperti itu, mungkin membuat kita berpikir, tidak ada gunanya berbuat baik.
Namun, dalam film ini, karakter Waymond berkata lain. Dia memberitahu Evelyn dan Joy untuk berhenti bertengkar, berhenti melakukan kekerasan dan meminta mereka untuk berbicara baik-baik.
Berikut ucapan Waymond yang menjadi punch line utama film ini,
“berbuatlah baik pada satu sama lain, terutama saat kamu tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Berbuat baik bukan tanda seseorang itu lemah. Justru sebaliknya, dalam film, Waymond yang terkesan pria lemah, malah berhasil menyelesaikan banyak masalah dengan caranya, yaitu berbuat baik.
Berbuat baik jauh lebih butuh usaha ketimbang berbuat jahat.
Saat kita masih bisa bertutur sopan pada orang yang jahat pada kita, maka kita berusaha melawan emosi untuk menghujat.
Saat kita masih bisa melihat bahwa kejahatan itu berakar dari ketidakberdayaan seseorang, kita jadi bisa mengasihani mereka yang jahat pada kita.
Dari situ sebenarnya kita tahu kalau kebaikan jauh lebih kuat, dan mampu membuat seseorang menonjol di tengah dunia yang jahat dan penuh tipu daya.
Mulai sekarang, marilah kita berusaha memilih kebaikan, bukan untuk pahala atau berkat di sorga, tapi karena kebaikan itu baik apa adanya. Karena dengan memilih berbuat baik setiap hari, kita juga melatih diri untuk jadi seseorang yang lebih kuat dan sehat.