Masa Depan Manusia dan AI, Akan Jadi Seperti Apa – The Machine Stops, oleh E.M Forster

E.M Forster, penulis asal Inggris, pernah menjadi nominasi Nobel Sastra.

Ya, kecuali kita tinggal di balik batu, mungkin kita sudah mendengar di sana-sini tentang fenomena AI-boom (Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan yang sedang booming) atau disebut juga dengan The Rise of AI.

Dalam postingan sebelumnya, juga sudah dibahas bagaimana AI––jika digunakan sebagai “alat”––dapat memudahkan proses kreatif seniman yang berasal dari berbagai latar belakang. Namun, insinyur AI Stable Diffusion dengan gamblang mengatakan bahwa AI Generative Model yang ia buat, memang bertujuan untuk menggantikan seniman, terutama seniman visual yang mata pencahariannya datang dari komisi dan pekerjaan membuat ilustrasi.

Gagasan tersebut bisa jadi cikal-bakal masa depan distopia yang digambarkan E. M. Forster lewat sebuah cerita pendek berjudul “The Machine Stops” yang kini sudah bisa dibaca secara gratis di public domain.

Dalam tulisan ini, saya akan merangkum sedikitnya tentang siapa E. M. Forster, gambaran masa depan distopia dalam karyanya, “The Machine Stops”, juga regulasi serta etika AI seperti apa yang harus di buat mulai sekarang.



Siapa E. M. Forster?

E. M. Forster adalah nama pena dari penulis asal Inggris yang pernah jadi nominasi penghargaan Nobel sastra. Beliau lahir pada 1 Januari 1879 di Marylebone, Inggris dengan nama lengkap Edward Morgan Forster. Beliau pernah mengenyam pendidikan di King’s College, Cambridge.


The Machine Stops

Dalam novel pendek klasik yang berjudul "The Machine Stops" karya E.M Forster, penulis menggambarkan sebuah dunia di masa depan di mana manusia sepenuhnya bergantung pada kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)

Cerita ini ditulis pada awal abad ke-20, namun tema yang diangkat masih relevan hingga saat ini karena semakin berkembangnya teknologi AI.

Cerita ini berlatar di sebuah dunia di mana manusia tinggal di dalam ruangan bawah tanah yang steril dan terisolasi. Mereka berkomunikasi melalui layar dan mengandalkan mesin AI yang disebut "The Machine" untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, mulai dari makanan hingga hiburan. Pada awalnya, manusia sangat bergantung pada mesin ini karena dianggap lebih efisien dan nyaman.




Namun, seiring berjalannya waktu, manusia mulai kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri. Mereka kehilangan keterampilan dasar seperti berjalan, merasakan sentuhan, dan berinteraksi dengan dunia luar. Kehidupan mereka terbatas pada ruangan sempit yang mereka tinggali, di mana setiap aspek kehidupan mereka dikendalikan oleh The Machine.

Ketergantungan manusia terhadap AI dalam cerita ini menggambarkan isu yang relevan dalam diskusi tentang masa depan manusia dan AI. Apakah kita akan mengalami hal yang sama seperti yang digambarkan oleh Forster? Apakah kita akan menjadi terlalu tergantung pada AI sehingga kita kehilangan keterampilan dan hubungan sosial yang penting?


Cara Menghindari Masa Depan Distopia dari Sekarang

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita mengintegrasikan AI dalam kehidupan sehari-hari

AI telah memberikan banyak kemajuan signifikan dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, transportasi, dan komunikasi. Namun, kita harus tetap sadar bahwa kecerdasan buatan bukanlah pengganti manusia. Mereka adalah alat yang dirancang untuk membantu kita, bukan menggantikan peran kita.

Penting bagi kita untuk terus mengembangkan kecerdasan manusia dan kemampuan sosial kita. Keterampilan yang unik bagi manusia, seperti empati, kreativitas, dan pemecahan masalah yang kompleks, harus tetap menjadi fokus pengembangan kita. Dalam menghadapi perkembangan AI, kita harus memastikan bahwa kita tetap memiliki kontrol dan pemahaman yang cukup terhadap teknologi yang kita ciptakan.

Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan etika dalam pengembangan dan penerapan AI. Keputusan yang diambil oleh mesin harus selalu mempertimbangkan kepentingan dan nilai-nilai kemanusiaan. Masa depan manusia dan AI haruslah saling melengkapi, bukan saling menggantikan.

"The Machine Stops" memberikan peringatan penting tentang bahaya terlalu bergantung pada kecerdasan buatan. Kita harus belajar dari cerita ini dan menjaga keseimbangan yang tepat antara penggunaan teknologi AI dan kehidupan manusia yang otentik. Dengan memanfaatkan potensi AI secara bijaksana, kita dapat mencapai masa depan yang lebih baik, di mana manusia dan kecerdasan buatan dapat hidup berdampingan dalam harmoni.
Tesalonika

Interdisciplinary artist with background studies in Japanese literature, humanities and creative robotics. Learn more: tesalonika.com instagram email

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.