Kebiasaan memamerkan kekayaan atau prestasi di media sosial, atau yang dikenal sebagai flex culture, telah menjadi sesuatu yang populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, fenomena ini juga menuai kritik yang cukup banyak, terutama karena dampak negatifnya pada masyarakat.
Untuk kamu yang masih asing dengan istilah “flex” culture atau “flexing”, secara umum, flex culture di media sosial berarti menunjukkan;
"Kebanggaan atau kebahagiaan atas sesuatu yang telah kamu lakukan atau miliki, biasanya dengan cara yang menjengkelkan orang" (Cambridge Dictionary).
Namun, ada juga arti lainnya, yaitu;
"Bertindak menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti berapa banyak uang yang kamu miliki, atau tentang barang-barang mewah seperti pakaian desainer" (Urban Dictionary).
Tujuan flexing dapat bervariasi, seperti mendapatkan endorsement, menunjukkan kredibilitas, atau bahkan untuk mencari pasangan. Selain pencitraan diri, flexing berfungsi sebagai alat pemasaran bagi perusahaan, melalui strategi market signalling dan kerja sama dengan influencer sosial media untuk menarik perhatian calon konsumen. Dalam konteks ini, flexing dapat membantu dalam mengembangkan bisnis.
Namun, dalam beberapa kasus, flexing dapat digunakan untuk menipu orang lain, seperti afiliasi trading yang memamerkan kekayaannya untuk menarik orang untuk mengikuti trading yang dipromosikannya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menilai dengan cermat seseorang yang memamerkan kemewahan di media sosial.
Belum lagi dampak psikologis dari flex culture ini, yang dapat membuat orang merasa rendah diri dan tidak memadai ketika melihat orang lain yang tampak lebih sukses atau kaya. Selain itu, flex culture juga dapat menciptakan pola pikir yang mengedepankan obsesi yang tidak sehat dengan benda-benda materi. Ketika orang terus-menerus berfokus untuk memperoleh lebih banyak materi, mereka menjadi kurang peduli dengan hal-hal yang sebenarnya penting dalam hidup mereka.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menghindari flex culture dan memperkuat kesadaran akan pentingnya menghargai nilai-nilai sebenarnya seperti kerja keras, integritas, dan empati. Dalam hal ini, pendidikan dan kesadaran masyarakat dapat memainkan peran penting untuk mengubah arus budaya yang salah ini.
Masalah dengan flexing adalah, seringkali membuat orang kehilangan sikap rendah hati dan empati. Sebagai gantinya, media sosial dijadikan sebagai kesempatan untuk memamerkan kekayaan dan status sosial seseorang. Hal ini dapat sangat merugikan bagi orang yang kurang beruntung atau sedang mengalami kesulitan dalam hidup, karena menciptakan rasa inferioritas dan ketidakmampuan.
Flex culture telah menjadi fenomena yang merugikan dan merusak di media sosial. Ini mempromosikan sikap yang kurang rendah hati dan empatik, obsesi yang tidak sehat dengan benda materi, dan kecenderungan untuk memprioritaskan status sosial daripada hubungan manusiawi.
Jadi, mari kita berhenti memamerkan kekayaan dan kemewahan kita, dan mulai fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita. Media maupun diri kita sendiri perlu menunjukkan sikap anti terhadap flexing, entah itu secara verbal ataupun reaksi terhadap mereka yang masih melalukan perilaku flexing ini agar terhindar dari dampak negatifnya.