“Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar” oleh Richard Carlson merupakan buku terjemahan dari judul aslinya, “Don’t Sweat The Small Stuff”.
Sinopsis:
Banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya hanya masalah kecil, tapi kita memperlakukannya sebagai masalah besar. Sebenarnya, dengan membentuk perspektif baru bahwa masalah-masalah itu memang kecil, kita mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan hal yang benar-benar merupakan masalah besar.
Dengan gaya tulisan yang mudah dipahami, buku ini menyajikan cara-cara membentuk perspektif yang lebih positif tersebut sehingga kita akan belajar untuk berdamai dengan diri sendiri dan lebih peduli. Hidup kita akan lebih terfokus pada masa kini, hubungan kita dengan orang lain akan menjadi lebih baik, dan batin kita akan menjadi lebih tenang.
Beberapa contoh poin yang ditawarkan dalam buku ini, yaitu:
- Berdamailah dengan ketidaksempurnaan
- Jangan menginterupsi atau memutus kalimat orang lain
- Berbuat baiklah kepada orang lain dan jangan ceritakan hal itu kepada siapa pun
- Jadilah pendengar yang baik
- Jangan lupa, “hidup bukanlah keadaan gawat darurat”
- Tahan keinginan untuk cepat-cepat melontarkan kritik
- Tetaplah merasa nyaman meskipun tidak mengetahui sesuatu
- Berhentilah menyalahkan orang lain
- Isilah hidup dengan kasih sayang
- Percayailah intuisi kita
Review / Ulasan
Selain poin-poin di atas, sebetulnya buku ini memuat total 100 poin atau cara agar masalah kecil tidak lagi mengganggu hidup kita.
Beberapa poin yang ada dalam buku ini mungkin mengingatkan kita ke filosofi stoicism. Tapi, saya tidak yakin apakah Richard Carlson menyatakan dirinya seorang stoik atau tidak, tetapi, apa yang dia sampaikan dalam bukunya memang nasehat praktis yang mungkin juga dipengaruhi oleh filosofi tersebut.
Richard Carlson, Ph.D. merupakan penulis buku-buku bestseller seri “Don’t Sweat The Small Stuff” mulai dari tentang uang, keluarga, pekerjaan, bahkan untuk anak remaja.
Buku yang satu ini lebih umum dan dapat diterapkan dalam konteks kehidupan secara luas, terutama, bagi orang dengan rasa insecure serta overthinking berlebihan.
Yang saya suka dari buku ini adalah penjelasannya tidak bertele-tele, langsung pada poin dan tetap berada dalam konteks. Contoh yang diberikan sangat relevan bahkan sampai hari ini. Padahal buku ini dirilis tahun 90-an, sebelum era digital. Jadi, rupanya, masalah manusia (lagi-lagi) dari dulu sampai sekarang itu sama aja.
Buku ini tidak perlu dibaca dari awal sampai akhir. Buku ini bisa dibuka secara lompat atau random dan dibaca per bab yang diperlukan. Buku ini bisa jadi pengingat bahkan untuk kita yang udah mengerti apa saja nasehat-nasehat itu.
Yang saya kurang sukai dari buku ini, hampir tidak ada. Jika ada yang perlu saya tambahkan ketika kamu mau membaca buku ini, ingatlah:
Mungkin orang akan salah paham dan mengira, “oh hidup bahagia perlu menghindari konflik” padahal ada konflik dalam hidup yang perlu dihadapi untuk membuahkan perubahan dan transformasi. Hanya saja, konflik seperti itu tidak dijabarkan secara rinci dalam buku ini.
Selain itu, menghindari konflik juga salah satu cara seseorang yang kurang percaya diri menghindari konfrontasi yang menghambat perkembangan dirinya. Jadi pemaca perlu mencerna buku ini dengan sadar, bahwa ada masalah besar yang lebih penting selain dari yang sudah dijelaskan oleh Carlson.
Makanya, penting untuk melengkapi poin-poin dalam buku ini dengan membaca buku lain dari penulis lain, misalnya, “The Subtle Art of Not Giving a F**k” dan “Everything is F**ked” oleh Mark Manson.