"Dunia ini dipenuhi kegelapan dan bayangan yang tergelap ada di tempat yang paling terang." –Alexandra Hart.
Pernahkah kalian menyukai seseorang—teramat suka padanya—hingga rasanya dirimu tak pantas mendapatkan cinta dari orang itu?
Hal itu lah yang terjadi pada Cassie, salah satu karakter utama dalam novella yang ditulis oleh Katia Elson, yang berjudul The First Time I Saw Jupiter. Novella ini menceritakan pertemuan tak terduga antara Cassidy Aubrey (Cassie) dengan August Day (Augie).
Sinopsis "The First Time I Saw Jupiter"
Di sebuah pesta pembukaan galeri milik kakaknya, Theodora (Theo) Aubrey, Cassie bertemu dengan Augie. Pertemuan itu bukanlah kali pertama bagi mereka, namun itu adalah pertemuan pertama yang membuka kisah cinta mereka berdua.
Cassie yang merupakan sosok fotografer penyendiri tak sengaja bertemu Augie yang tengah berusaha mencari minuman yang tak disediakan di pesta. Cassie mengenal Augie sebagai teman baik kakaknya. Itu sebabnya, dengan murah hatinya ia menawarkan minuman yang dicari Augie, yang ia simpan di hotel tempatnya menginap.
Tentang Tokoh: Cassie Aubrey
Sebuah tindakan kecil yang cukup berani, mengingat Cassie bukanlah tipe orang yang akan berani memulai langkah pertama lebih dulu. Gadis muda itu tumbuh sebagai sosok yang tak terlalu terbuka. Bahkan di awal cerita telah disampaikan bahwa ia tak memiliki banyak teman.
Tak seperti Theo yang punya banyak kawan dan kolega, Cassie cenderung tertutup dan tak terlalu aktif dalam mencari kenalan. Cassie kerap kali tak menggubris ucapan Sang Kakak yang selalu menyuruhnya untuk bergaul dan mencari relasi sebanyak-banyaknya.
Di saat yang sama, seantero kota mengenal keluarga Aubrey sebagai keluarga yang licik dan kotor. Sebagai seorang "Aubrey", kakaknya lebih cenderung pamrih. Tak seperti dirinya yang lebih tulus dan tak membeda-bedakan orang lain.
Bagi Cassie, apalah pentingnya bergaul jika dirinya dan Alexander Hart—penulis favoritnya—saja sudah cukup untuk membunuh waktu. Ia mengagumi, bahkan boleh dibilang mengimani segala sesuatu yang ada pada Alexander Hart; pola pikir, ketidaksukaan terhadap politik, seni, dan masih banyak lagi. Bahkan ketika penulis kesayangannya itu tewas karena bunuh diri, ia hampir saja mengikuti cara Hart untuk mengakhiri hidupnya.
Itu sebabnya, adalah sebuah keajaiban yang memang telah diatur oleh Semesta baginya ketika ia bertemu Augie. Tak ada yang tahu dari pertemuan itu dirinya bisa keluar dari cangkangnya, dan mulai membuka diri pada orang lain. Tawaran untuk minum di hotel yang ia sampaikan pada Augie membawa mereka dalam satu malam menyenangkan yang tak akan dilupakan oleh keduanya.
Tentang Tokoh: August Day
Di sisi lain, Augie adalah seorang wanita yang sebentar lagi akan menjadi janda. Pernikahannya sebelumnya gagal karena satu alasan krusial. Di awal cerita novella ini, pembaca dibawa untuk mengetahui sekilas masa lalu Augie yang cukup jauh dari kata "bahagia".
Ia adalah seorang gadis yang punya luka dan trauma. Misalnya saja saat ia merasa telah mengecewakan kedua orang tuanya ketika dipaksa bermain piano. Augie kecil mengacaukan pertunjukan pianonya karena rasa serangan panik yang melanda. Ia merasa tidak berbakat dalam segi musikalitas, namun terpaksa belajar piano karena orang tuanya memaksanya.
Ia juga pernah menjadi korban perundungan saat kecil. Ditinggalkan teman tanpa alasan sudah menjadi hal lumrah baginya. Atau jika menilik lebih jauh lagi, serangan panik yang dialaminya bisa saja berasal dari trauma akan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pamannya sendiri.
Di usianya yang dewasa, bayangan akan wajah pamannya yang tengah melecehkannya masih saja menari-nari di kepala. Segala luka di masa lampau tersebut membuatnya kerap kali gelisah dan gugup ketika ada di keramaian. Rasa gugup itu tak hanya sekadar perasaan cemas semata. Ia akan panik luar biasa, jantungnya berdebar kencang, dadanya terasa sesak, bahkan tubuhnya sampai gemetaran. Sedahsyat itu rupanya efek luka dan trauma di masa lalu di kehidupan seseorang.
Bittersweet Novella dengan Kisah Cinta Tak Biasa
Kombinasi menarik antara Augie yang ceria dengan Cassie yang pendiam. Seperti gula pada kopi, diamnya Cassie justru melengkapi Augie. Menjadi sosok pendiam terkadang adalah sebuah kelebihan. Dalam diamnya, Cassie menguarkan pesona careness dan awareness-nya.
Walau biasanya tak banyak bicara, namun Cassie bisa dengan mudah menyadari bahwa Augie butuh ketenangan, jauh dari hingar bingar pesta. Ia juga merupakan seorang pengamat. Suka sekali memperhatikan. Dari curi-curi pandang yang selama ini dilakukannya, Cassie bisa memotret dengan jelas rupa dan postur tubuh Augie yang menurutnya keren. Ia mengagumi Augie sejak awal, walau tak pernah mengatakannya pada siapapun. Menurutnya, Augie adalah sosok wanita atraktif yang cocok bergaya feminim ataupun tomboy.
Seperti yang saya singgung sebelumnya, sedari awal Cassie telah tertarik pada Augie. Ia kerap salah tingkah jika wanita itu datang untuk menemui kakaknya. Sayangnya, Cassie yang penyendiri merasa terlalu malu dan tak cukup percaya diri untuk menampakkan batang hidungnya di depan Augie. Itu sebabnya, ketika kali ini ia memiliki kesempatan berduaan dengan Augie, ia riang bukan kepalang.
Bagian menarik dari "The First Time I Saw Jupiter"
Ada sejumlah hal menarik yang membuat saya suka sekali dengan novella ini. Satu di antaranya (dan yang utama) adalah penggambaran karakter yang kuat. Baik Cassie, Augie, bahkan Theo, dideskripsikan dengan baik oleh penulis.
Dengan membaca satu-dua chapter saja, kita sudah paham betul bahwa Augie adalah sosok yang sopan, suka memperhatikan, suka barang mewah, magnetis, good-looking, dan pengertian. Cassie sendiri, adalah sosok yang manis, sabar, teliti, humble, tulus, dan unpredictable. Sementara itu, Theo digambarkan sebagai sosok yang memandang segala sesuatunya berdasarkan harta dan kekuasaan semata. Semua karakteristik itu tentu menjadi bumbu yang bisa meracik novella ini menjadi kisah pertama yang membuka rangkaian cerita dari Cassie dan Augie.
Hal menarik kedua adalah perkembangan romansa kedua karakter yang tidak tergesa. Memang betul kedua karakter utama jatuh cinta dalam waktu yang singkat, namun perkembangan perasaan itu tidak terburu-buru.
Sepanjang membaca, kita akan melihat "tarik-ulur" yang dilakukan Cassie dan Augie. Lucunya, keduanya sebenarnya sudah menyukai satu sama lain sejak lama, namun keduanya menyimpan rasa itu diam-diam.
Geregetan banget nggak sih? Kenapa nggak bilang langsung kalau saling suka? Setidaknya itu yang muncul di kepala saya sepanjang membaca The First Time I Saw Jupiter. Tapi ternyata slow tempo itu justru membuat pembaca jadi nagih untuk segera baca sekuelnya.
Hal menarik ketiga dari novella ini adalah tentu kisah cinta keduanya yang tidak biasa. Berbicara mengenai kisah cinta tidak biasa antara Cassie dan Augie mengingatkan saya akan film "Call Me by Your Name".
Kisah cinta keduanya memiliki kesamaan, yakni vanila. Vanila? Es krim? Tentu bukan. Vanila yang saya sebutkan di sini tentu tidak merujuk pada rasa makanan atau minuman, melainkan salah satu genre yang umum di kalangan pembaca. Sayangnya, masih sedikit yang tahu tentang istilah yang satu ini.
Simple-nya, vanila adalah genre yang menampilkan kisah cinta yang cenderung umum dan mudah dipahami pembaca.
Bukan hanya itu, vanila biasanya fokus pada kisah cinta yang dipenuhi dengan ketulusan, baik di percintaan remaja maupun dewasa. Genre yang satu ini sering dianggap sebagai genre yang menenangkan dan membuat kupu-kupu beterbangan di dalam perut para pembaca.
Tepat sekali, seperti efek yang ditimbulkan ketika membaca bab demi bab dari total lima belas chapter yang ada pada novella ini.
Kisah cinta yang diceritakan dalam The First Time I Saw Jupiter cukup ringan. Tentu hal itu sesuai dengan konsep novella yang dibawa oleh Katia Elson. Ada rasa penasaran yang muncul ketika saya membaca novella ini.
Mau lebih! Mau baca kelanjutannya secepat mungkin agar bisa tahu ke arah mana kisah cinta Augie dan Cassie akan bermuara. Untungnya, Katia Elson telah menyediakan sekuel dari The First Time I Saw Jupiter, yakni The Second Time I Saw Jupiter. Jadi, tak perlu risau menunggu lebih lama untuk menikmati ke-vanila-an dari dua karakter utama dari novella tersebut.
Yang terakhir adalah pesan yang dibawa oleh penulis. Dalam novella ini, penulis beberapa kali membawa isu-isu psikologis, baik digambarkan secara tipis-tipis, maupun terang-terangan. Kita bisa melihat alasan mengapa Augie tumbuh menjadi sosok yang mudah mengalami serangan panik. Kita juga bisa tahu bagaimana rasa rendah diri yang dirasakan Cassie. Walaupun hidup bergelimang harta, namun sebagai seorang "Aubrey", ia kerap merasa hampa. Ia tak menyukai hidupnya yang sering kali didamba-dambakan orang lain.
Simbolisme: Kenapa Jupiter?
Selain itu, sepanjang saya membaca novella dari Katia Elson ini, saya bertanya-tanya, mengapa novella ini diberi judul The First Time I Saw Jupiter? Kenapa planet Jupiter?
Dalam satu bab memang diceritakan jika Cassie mengajak Augie untuk melihat planet Jupiter melalui teropong, tapi mengapa planet itu yang dipilih? Apa istimewanya? Apa karena Jupiter adalah benda langit paling terang keempat setelah Matahari, Bulan, dan Venus? Atau hanya karena Jupiter adalah satu dari lima planet yang bisa diamati dengan mata telanjang dari Bumi?
"Seperti cincin-cincin Jupiter, aku baru saja teringat akan pemandangan yang kulihat kemarin malam. Sambil memandanginya menari di barisan lain, aku bertanya dalam hati, "seperti Jupiter ya, Cassie? Gerakan, putaran, dalam tarian bagaikan entropi yang bergulir tanpa henti di kehidupanku dan kehidupanmu. Musik yang berdentum-dentum itu adalah waktu.""
Mungkin alasan pemilihan Jupiter sebagai simbol pada novella ini adalah untuk menggambarkan permasalahan Cassie dan Augie. Seperti yang dikatakan Augie dalam kutipan di atas, cincin-cincin yang memutari Jupiter seolah menjadi penanda mengenai berbagai macam masalah yang muncul di kehidupan keduanya. Bagi Augie dan Cassie, mungkin ini menjadi kali pertama bagi mereka untuk melihat "Jupiter" di antara mereka. Momen ini menjadi momen krusial karena nantinya Cassie dan Augie akan memilih apakah mereka siap menghadapi "Jupiter" mereka atau memilih lari sebelum berani memulai.
Kekurangan dari "The First Time I Saw Jupiter"
Tak banyak kekurangan yang saya temukan dari The First Time I Saw Jupiter. Setidaknya hanya ada dua yang cukup mengganggu, yang pertama adalah salah ketik dan yang kedua adalah sudut pandang. Kesalahan tipografi saya temukan di beberapa bab, seperti misalnya kelebihan dan/atau kekurangan satu huruf, kurang tanda petik, dan sebagainya. Tapi tenang saja, masih minor, kok. Tidak sampai yang membuat pembaca mengernyitkan kening karena terganggu.
Kemudian, pergantian sudut pandang di setiap chapter menjadi satu hal yang cukup tricky. Apalagi ada satu dua chapter yang menggunakan point of view yang berubah-ubah.
Mungkin maksud penulis menggunakan teknik tersebut adalah untuk bisa memberikan gambaran mengenai isi hati, pikiran, dan pendapat dari dua karakter utama dalam novella ini. Untuk pembaca yang terbiasa membaca cerita dari dua sudut pandang, hal ini mungkin tak akan jadi masalah.
Akan tetapi, sebaliknya, jika pembaca tak terbiasa membaca dari dua sudut pandang, hal ini akan menjadi struggle tersendiri. Bahkan saya sempat beberapa kali salah memahami; sudut pandang siapa ini yang tengah bercerita?
Anyway, secara keseluruhan, saya berani memberikan rating 8.5/10. Cerita vanilla ini menarik, tidak membosankan, justru membuat penasaran, dan unik. Bittersweet, seperti pertemuan Cassie dan Augie.
Entah kemana kapal mereka akan berlabuh, kita cari tahu saja kelanjutan kisah cinta mereka di sekuel novel ini. Kalian bisa menemukan The First Time I Saw Jupiter pada website official Katia Elson. Cukup dengan membuat akun, kalian sudah bisa membaca karya-karya Katia Elson tanpa perlu membayar sepeser pun.
Sudah berkualitas, gratis, mudah diakses pula. Panjang umur untuk Katia Elson, haha. Selamat membaca!
Artikel ini dikontribusi oleh: Fadila Rana Laluna
Nama Pena: Purple Moonlight
Medsos: @lalunafr (Instagram)