Moonhill Indonesia (moonhill.id) - Salah satu wujud keanehan mayoritas warga +62 adalah melihat seseorang hobi mengoleksi sebagai kebiasaan yang aneh dan kekanakkan. Padahal hobi mengoleksi adalah hal yang biasa dilakukan, terutama jika memiliki minat dan kegemaran pada bidang tertentu.
Misalnya, saya sebagai penulis pun mengoleksi keyboard mekanik. Seseorang yang menyukai idola K-Pop mungkin mengoleksi album atau photocard dari grup idola mereka.
Semua kegemaran yang dinikmati dan dilakukan dengan bertanggungjawab, alias tidak merugikan orang lain dan diri mereka sendiri, itu sah-sah aja. Tidak ada salahnya jika seseorang memiliki kegemaran mengoleksi, asal bukan mengoleksi luka batin. Sebab lebih baik mengoleksi kenangan indah seperti yang diinginkan Hong Haein dari K-Drama “Queen of Tears”.
Lagipula, mengumpulkan benda-benda atau mengoleksi sesuatu, sudah menjadi praktik manusia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan saking umumnya kegiatan mengoleksi, ada area ilmu khusus yang mempelajari hal ini, namanya Psychology of Collecting.
Dalam postingan kali ini, kita akan bahas lebih dalam––sekaligus membenarkan diri––tentang kenapa kegiatan mengoleksi adalah hal yang lumrah dan tidak perlu membuat kita insecure atau malu hanya karena orang lain tidak mengerti apa yang kita sukai.
{tocify} $title={Table of Contents}
Orang yang menari akan dianggap gila oleh orang lain yang tidak bisa mendengar musiknya.
Berdasarkan penelitian Shirley M. Mueller M.D. yang diadakan di Amerika, ada banyak banget faktor yang menyebabkan seseorang ingin mengoleksi sesuatu. Misalnya, berdasarkan rarity atau tingkat kelangkaan suatu benda––semakin langka maka semakin dilirik oleh kolektor––sampai mengoleksi sebagai cara untuk mendapatkan stimulasi intelektual. Sebab, untuk dapat memahami benda koleksi, seorang kolektor memerlukan tingkat pengetahuan tertentu.
Ada pula elemen sosial dalam kegiatan mengoleksi. Misalnya, untuk masuk dalam komunitas tertentu dan menjalin relasi dengan orang baru, seseorang mungkin mulai memberi perhatian pada benda-benda koleksi yang diminati oleh komunitas yang ingin ia masuki.
Jika kamu tertarik, kamu bisa membaca lebih banyak seputar topik psikologi dari mengoleksi di halaman Shirley M. Mueller M.D. yang sudah saya tautkan di atas. Dia juga bercerita tentang benefit mengoleksi yang bagus untuk orang-orang berusia lanjut, dan masih banyak lagi. {alertInfo}
Tentunya, orang yang menari akan dianggap sédeng oleh orang yang tidak bisa mendengarkan musiknya. Itu memang sudah kenyataan kehidupan. Kita sendiri pun pasti menganggap orang lain yang punya kegemaran dan koleksi berbeda dengan kita sebagai orang yang aneh. Sehingga, sangat sulit jika kita harus membuat semua orang mengerti akan kegemaran kita.
Jika dimanfaatkan dengan baik, hobi bisa menunjang kesuksesan seseorang.
Jika kamu cerdas…maksudnya, sangat cerdas, bukan hanya akademis tapi juga cerdas di jalanan––street smart. Maka, sebaiknya kamu tidak mengecilkan diri dan meninggalkan kegemaranmu.
Sebaliknya, gunakan kegemaranmu sebagai jalan untuk membuka bisnis atau memulai usaha. Barang-barang koleksi juga bisa jadi sumber investasi yang niche. Misalnya, koleksi benda-benda kesenian semacam lukisan sampai keramik.
Melalui hobi koleksimu, kamu juga bisa mulai membuat konten seputar koleksi dan kegemaranmu, membahasnya dalam situs blog khusus atau konten di YouTube. Kamu bisa gabung dengan komunitas untuk mengenal orang-orang lain di dalamnya, berkenalan dengan orang baru dan menjalin koneksi yang baik.
Jadi, menurut saya, sebaiknya tidak perlu mendengarkan apa kata orang lain. Apalagi mendengarkan kata-kata dari jenis orang paling buruk, yaitu, tipe orang yang mengecilkan orang lain hanya karena memiliki kesukaan yang berbeda dari mereka.
Untuk mengakhiri postingan kali ini, saya hanya ingin bilang, kamu berhak memiliki hobi mengoleksi, selama masih dalam batas-batas kewajaran. Kamu berhak memiliki kegemaran, dan hal itu sangat-sangat normal. Yang tidak normal justru orang yang mempermalukan orang lain karena memiliki kegemaran.