Sudah waktunya Komisi Penyiaran bubar?


Moonhill Indonesia (moonhill.id) - Komisi Penyiaran Indonesia atau lebih sering disingkat dan disebut KPI, tampaknya sudah tidak lagi mampu menjalankan tugas-tugasnya. Mulai dari masalah internal dengan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang mencemaskan, ditambah dengan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang terkesan dibuat asal-asalan. 

Sudah lama sekali tidak ada prestasi yang kita dengar dari lembaga pemerintahan yang bernama KPI ini. Lalu mengapa masih dipertahankan? Setelah banyak diprotes pun, mereka tetap memilih tutup telinga, tutup mata, membatu dan mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita.

Apalagi dengan dibuatnya Draf RUU Penyiaran yang amat problematik dan bertentangan dengan ujaran-ujaran “mendukung ekonomi kreatif” dari Kemenparekraf (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Jika RUU tersebut disahkan, maka bukan hanya ekonomi kreatif saja yang mati, tapi juga kebebasan pers.

Berikut ini beberapa argumen mengapa KPI layak dibubarkan:

{tocify} $title={Table of Contents}

Komisi Penyiaran Hanya Membodohkan Masyarakat Kita

Melarang ini, melarang itu, bukan cara untuk mengedukasi. Bukannya memiliki efek positif, terlalu banyak menyensor dan berusaha mengendalikan perilaku justru berdampak negatif bagi orang yang berusaha dipengaruhi. Sudah banyak studi yang membuktikan bahwa sensor berlebih hanya berdampak negatif dan tidak mencapai tujuan yang diinginkan. 

Sensor berlebih untuk tokoh kartun, Sandy Cheecks dari Spongebob Squarepants.

Tampaknya KPI tidak pernah melakukan riset sebelum melakukan kebijakan. Seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lembaga-lembaga pemerintah lebih sering melakukan hal yang mudah tapi salah daripada hal yang benar karena sulit. Jika KPI terus melakukan apa yang mereka lakukan dan tidak memperbaiki diri, maka masyarakat kita akan semakin bodoh dan bodoh, kebalikan dengan niat yang mereka sampaikan.

Dalam studi yang tautannya sudah dicantumkan di atas, disebutkan bahwa sensor berlebih pada murid-murid sekolah dapat menciptakan jurang pengetahuan yang dalam tentang pengetahuan sekolah hingga kehidupan. Murid-murid yang terlalu banyak dilarang ini dan itu, khususnya tentang sex, pada akhirnya terjebak dalam kegiatan yang mencelakakan dirinya dan orang lain. Hal itu adalah akibat dari sensor berlebih yang mereka terima, sehingga tidak ada edukasi.

Kenyataannya hal ini pun udah mulai terjadi di Indonesia, dengan banyaknya anak dibawah umur yang terlibat sex bebas. Walau pun belum ada studi di Indonesia yang meneliti hal ini lebih dalam, namun jika ditinjau dari hasil penelitian yang sudah ada, hal ini diduga dari kurangnya edukasi sex di sekolah dan dari orang tua, serta dari penyensoran berlebih. 

Ada pula kumpulan hasil penelitian lain soal dampak sensor berlebih yang di antaranya terdengar familiar dengan masalah masyarakat kita secara meluas. Yaitu, dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis dan empati, melewatkan kesempatan belajar dari sejarah, dan yang paling parah, menurunkan kemampuan untuk berdemokrasi.

Lagi pula, edukasi adalah tugas Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), dan bukan tugas dari Komisi Penyiaran. Tidak perlu jadi ilmuwan atau lulus S3 untuk tau kalau kerjasama antara lembaga pemerintah dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah yang besar seperti “edukasi”. Jika memang perlu dilakukan edukasi, maka sebaiknya Komisi Penyiaran fokus mempertegas rating tontonan, mengawasi sinetron-sinetron yang tidak bermutu, dan lain sebagainya. Sensor berlebih, bukan solusi.

Komisi Penyiaran Tidak Mampu Melakukan Tugasnya

Jika kamu membaca Draf RUU Penyiaran yang dibuat oleh Komisi Penyiaran, tampaknya, bukan hanya berniat membungkam kebebasan pers dan kebebasan ekspresi masyarakat, tapi juga ingin memperpanjang masa jabatan para anggota dan dewan kehormatan diubah jadi bersifat tetap

Ini, apa coba landasannya anggota dan dewan kehormatan perlu diperpanjang masa jabatannya?

Keputusan membuat RUU semacam itu agaknya wajar jika hasil kerja mereka selama ini memuaskan, jika memang kebijakan mereka terbukti berhasil dan diperlukan oleh masyarakat. Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya. Dengan isi RUU yang bertabrakan dengan UU lain dari Dewan Pers dan Kominfo saja sudah membuktikan kualitas kerja mereka selama ini; amat sangat buruk.

Jika kita melakukan survey meluas tentang kepuasan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Komisi Penyiaran, sudah bisa diprediksi bahwa hasilnya akan negatif. Berarti tidak ada alasan yang jelas dan sungguh aneh jika masa jabatan anggota hingga dewan kehormatan diperpanjang sampai bersifat tetap. Ketidakpuasan masyarakat, pers, dan kreator konten dengan adanya Draf RUU Penyiaran saja sudah bisa jadi indikasi, bukan?

Sudah ada banyak sekali kritik dan protes yang diterima oleh Komisi Penyiaran ini. Kebijakan-kebijakan mereka yang tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat, bisa dengan mudah kita temukan di berbagai media pemberitaan.

Asumsinya, banyak pihak menyebut, Komisi Penyiaran Indonesia sudah tidak ada kerjaan sejak masyarakat lebih suka menikmati konten dari platform over the top. Komisi Penyiaran tidak memiliki kewenangan untuk mengatur platform-platform over the top seperti Disney+, Netflix, HBO Max, dan YouTube yang sudah punya aturan sendiri. 

Padahal peralihan masyarakat ke platform penyiaran online karena masyarakat kita tidak puas dengan kualitas konten yang tersedia di penyiaran konvensional, yang tidak lain dan tidak bukan, adalah hasil penyortiran Komisi Penyiaran sendiri.



Katia

Anagram of a fiction writer, telling stories since 2014. Co-founder of Moonhill.id.

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.