Ilusi Disrupsi, Ketika Solusi Menjadi Sumber Masalah Baru


Istilah "disruption" atau dalam BahasaIndonesia, "disrupsi" merupakan istilah yang sering terdengar saat kita mulai melihat tren bisnis start-up, teknologi dan inovasi. 

Dalam bahasa Indonesia sederhana, istilah "disrupsi" berarti gangguan atau perubahan besar yang tiba-tiba, yang membuat cara-cara lama menjadi tidak relevan atau tergantikan. Disrupsi biasanya terjadi ketika ada inovasi atau teknologi baru yang sangat berbeda dan lebih efektif sehingga mengubah cara orang melakukan sesuatu.

Contohnya:
  • Ketika ojek online muncul, banyak orang mulai menggunakan aplikasi untuk memesan transportasi, sehingga cara tradisional mencari ojek di pangkalan menjadi kurang populer. Ini adalah bentuk disrupsi di bidang transportasi.
  • Telepon pintar (smartphone) menggeser penggunaan telepon rumah dan komputer untuk banyak aktivitas sehari-hari.

Di era disrupsi teknologi, banyak bisnis dan startup muncul dengan janji membawa solusi bagi berbagai masalah sehari-hari. Awalnya, kita menyambut kehadiran inovasi ini dengan antusias – mereka menjawab kebutuhan kita, mempermudah hidup, dan memberikan pengalaman baru. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan penting: apakah inovasi ini benar-benar menyelesaikan masalah, atau justru menciptakan masalah baru?


{tocify} $title={Table of Contents}


Teknologi di Era Modern dan Post-modern Society

Di era modern society, inovasi seringkali dipandang sebagai solusi atas masalah sosial yang kompleks. Semakin maju teknologi, semakin yakin kita bahwa hidup akan semakin mudah. Namun, di era post-modern society, kita mulai melihat dampak-dampak lain dari inovasi ini – dampak yang tidak selalu positif. Justru disrupsi teknologi ini melahirkan tantangan baru yang seringkali tak terduga. Berikut adalah beberapa contohnya:

Modern Society vs. Post-Modern Society dalam Konteks Teknologi

Modern Society: Mementingkan rasionalitas, efisiensi, dan kemajuan. Teknologi dipandang sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, menciptakan tatanan sosial yang stabil, dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Post-Modern Society: Lebih kritis terhadap narasi besar tentang kemajuan. Di era ini, muncul kesadaran bahwa kemajuan teknologi dan modernitas juga membawa dampak sampingan yang rumit, seperti fragmentasi sosial, identitas yang rentan, dan ketergantungan pada teknologi.

1. Transportasi Online: Efisiensi yang Memunculkan Eksploitasi

Di masyarakat modern, transportasi online dianggap sebagai solusi bagi kemacetan dan mobilitas yang terbatas. Namun, dalam kerangka post-modern society, muncul tantangan baru:

Efisiensi vs. Eksploitasi: Demi efisiensi, pengemudi online seringkali mengalami tuntutan kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang, namun dengan perlindungan kesejahteraan minim. Mereka rentan pada ketidakpastian penghasilan yang bergantung pada algoritma dan kebijakan perusahaan.

Photo by Roman Odintsov

2. Langganan Streaming: Kemewahan Konten yang Menguras Dompet

Di era modern, layanan streaming dianggap sebagai kemajuan dari TV kabel, memberikan akses luas ke konten global. Namun, di era post-modern:

Fragmentasi Biaya Langganan: Banyaknya layanan streaming membuat orang harus berlangganan beberapa platform sekaligus jika ingin akses konten yang berbeda-beda. Total biaya bisa jauh lebih mahal dari langganan TV kabel, dan konsumen terjebak dalam pola pengeluaran baru. Ini menggeser kenyamanan menjadi beban finansial.

Kebutuhan Internet yang Tinggi: Agar pengalaman streaming optimal, pengguna membutuhkan koneksi internet cepat yang kadang biayanya tak murah. Ini menambah biaya tetap yang pada akhirnya dapat melebihi total biaya yang dikeluarkan untuk TV kabel konvensional.

Photo by Cottonbro Studio

3. Pendidikan Daring: Akses Baru dengan Tantangan Baru

Pendidikan daring dianggap sebagai solusi untuk akses pendidikan yang lebih luas. Namun, di masyarakat post-modern, masalah baru muncul:

Kesenjangan Akses Digital: Pendidikan daring memperlebar ketimpangan di antara siswa yang mampu membeli perangkat dan paket data dengan yang tidak. Modernitas membawa akses, tapi pada saat yang sama menciptakan ketimpangan baru.

Efektivitas Pembelajaran: Interaksi digital tidak selalu mampu menggantikan interaksi tatap muka, sehingga kualitas pembelajaran sering kali menurun. Murid cenderung kehilangan fokus dan sulit memahami materi, terutama bagi anak-anak yang masih memerlukan pendampingan.

Photo by Roman Odintsov

4. Privasi dan Keamanan Data: Tantangan Baru di Era Digital

Dalam masyarakat modern, data dianggap sebagai alat untuk memahami konsumen dan meningkatkan layanan. Namun, di masyarakat post-modern, data pribadi adalah identitas yang rentan:

Kompromi Privasi untuk Kenyamanan: Banyak platform digital mengumpulkan data pribadi pengguna untuk optimalisasi layanan, namun sering kali tanpa transparansi yang cukup. Pengguna mungkin tidak menyadari bahwa data mereka bisa disalahgunakan atau dijual untuk kepentingan lain. Privasi di era post-modern menjadi komoditas yang mahal.

Photo by Pixabay

5. Misinformasi: Tantangan Baru dari Monetisasi Informasi di Era Digital

Kemudahan akses informasi yang dihadirkan oleh teknologi digital sering kali disertai dengan ledakan informasi yang tidak akurat atau sengaja dimanipulasi. Di era monetisasi konten online, perhatian pengguna menjadi barang dagangan, yang menyebabkan preferensi pada konten yang viral dan sensasional dibandingkan informasi yang akurat dan kredibel. Berikut beberapa tantangan utama dari misinformasi dalam disrupsi teknologi di Indonesia:

Viralitas Mengalahkan Validitas: Platform digital, terutama media sosial, mendorong konten untuk viral dengan algoritma yang menilai popularitas. Informasi yang kontroversial atau mengundang emosi sering kali mendapatkan perhatian lebih dibandingkan informasi yang benar tapi kurang menarik. Akibatnya, informasi yang belum diverifikasi atau bahkan menyesatkan sering kali menyebar lebih cepat daripada klarifikasi atau fakta yang sebenarnya. Ini menjadikan viralitas lebih penting daripada validitas, dan kebenaran menjadi korban dari sensasi.

Monetisasi Melalui Sensasionalitas: Di internet, klik dan waktu tayang pengguna adalah aset bernilai tinggi. Banyak konten diciptakan untuk memancing perhatian, sering kali menggunakan judul yang bombastis atau konten yang emosional untuk meningkatkan lalu lintas pengunjung. Sayangnya, ini menciptakan insentif untuk menghasilkan informasi yang lebih sensasional daripada faktual. Bahkan berita palsu atau hoaks kerap dimonetisasi demi keuntungan iklan, dan ini mengaburkan garis antara informasi dan manipulasi.

Efek Bubble Filter dan Echo Chamber: Algoritma media sosial yang didesain untuk meningkatkan keterlibatan (engagement) sering kali hanya menampilkan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna. Ini menciptakan "ruang gema" (echo chamber) di mana seseorang hanya melihat informasi yang sesuai dengan pandangannya. Pengguna cenderung merasa lebih yakin akan informasi yang mendukung opini pribadi mereka, yang memperkuat bias dan membuat mereka lebih rentan terhadap misinformasi. Dalam jangka panjang, fenomena ini menghambat pemahaman bersama dan memicu polarisasi sosial.

Misinformasi Kesehatan sebagai Tren Berbahaya: Saat pandemi COVID-19 melanda, kita melihat bagaimana misinformasi kesehatan bisa menyebar dengan cepat dan membahayakan masyarakat. Banyak platform yang tanpa sadar mendistribusikan informasi kesehatan yang salah atau teori konspirasi yang meresahkan demi klik dan tayangan lebih banyak. Hasilnya, banyak orang termakan informasi yang tidak berdasar, mulai dari rumor tentang pengobatan alternatif yang tidak aman hingga teori konspirasi vaksin, yang justru memperburuk situasi kesehatan masyarakat.


Masalah baru seperti apa yang akan hadir karena monetisasi teknologi Artificial Intelligence?

Di era ini, kita perlu memahami bahwa tidak semua yang populer atau sering muncul di linimasa kita adalah benar. Algoritma dan monetisasi konten sering kali mengutamakan sensasionalitas dibandingkan kebenaran, sehingga pengguna harus lebih selektif dalam memilih informasi, melakukan verifikasi dari sumber terpercaya, dan menyadari cara-cara informasi dimonetisasi. Alih-alih menjadi konsumen pasif, mari menjadi konsumen kritis yang tidak mudah terpengaruh oleh viralitas semata.

Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul pertanyaan baru: bagaimana dengan peran AI generative model? 

Sistem ini, yang bisa menghasilkan konten otomatis mulai dari artikel hingga gambar dan video, menciptakan potensi baru dan sekaligus risiko baru yang perlu kita pikirkan bersama. Misalnya:

  • Apa dampak dari penyebaran konten otomatis yang sulit dibedakan dari karya manusia? Dengan AI yang mampu menghasilkan teks, gambar, hingga video yang sangat realistis, kita mungkin akan menghadapi tantangan baru dalam membedakan mana informasi yang dibuat oleh manusia dan mana yang dihasilkan oleh mesin. Ini berpotensi menimbulkan kebingungan besar di masyarakat dan mempermudah penyebaran misinformasi dalam skala besar.

  • Bagaimana jika AI digunakan untuk membuat berita palsu atau manipulasi visual yang lebih meyakinkan? Konten buatan AI bisa saja dimanfaatkan untuk tujuan yang kurang etis, seperti hoaks atau propaganda, karena lebih murah dan lebih cepat diproduksi. Ini akan memperumit usaha verifikasi dan membanjiri dunia digital dengan informasi yang sulit diverifikasi kebenarannya.

  • Siapa yang bertanggung jawab atas konten yang dihasilkan oleh AI? Ketika AI generative model menghasilkan informasi atau visual yang salah atau menyesatkan, pertanyaan tentang akuntabilitas muncul. Apakah tanggung jawab berada pada pihak yang mengembangkan AI, atau mereka yang menggunakannya untuk tujuan tertentu?

  • Apakah kita sedang membentuk masyarakat yang semakin sulit membedakan antara yang asli dan yang artifisial? Kehadiran konten buatan AI yang kian realistis bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi secara keseluruhan. Jika kita semakin sulit membedakan realitas dari rekayasa digital, apakah kepercayaan kita terhadap media, foto, video, atau bahkan percakapan virtual akan terkikis?

Dengan munculnya AI generative model, kita bukan hanya perlu waspada terhadap misinformasi tetapi juga terhadap “realitas digital” baru yang bisa membingungkan, memanipulasi, dan bahkan merusak kepercayaan publik. 

Di era ini, kemampuan berpikir kritis menjadi lebih penting dari sebelumnya. Mampukah kita menghadapi tantangan ini dengan bijak? Dan apa lagi tantangan baru yang akan hadir seiring berkembangnya teknologi AI?

Katia

Anagram of a fiction writer, telling stories since 2014. Co-founder of Moonhill.id.

Kamu bisa beri komentar sebagai Anonim, NAMA dan URL Medsos, atau akun Google. Tidak ada moderasi komentar di situs kami. Isi komentar pengguna di luar tanggunjawab Moonhill Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama
Pengunjung situs blog ini diangap telah membaca dan setuju dengan disclaimer konten kami.