Sewaktu kembali ke Indonesia, mau tidak mau aku memperhatikan perdebatan kuno tentang ada atau tidaknya sosok tuhan.
"Tuhan" yang kumaksud dalam postingan ini, merujuk pada entitas yang memiliki kekuasaan, kekuatan, dan kesempurnaan di atas manusia. Entitas yang menciptakan segalanya dan masih memegang kendali atas segala aspek kehidupan di semesta kita ini.
Kalau kamu datang dan membaca tulisan ini dengan harapan menemukan satu argumen yang bisa mengakhiri perdebatan itu untuk selama-lamanya, maka aku beri tahu dari sekarang, kamu tidak akan menemukan jawabannya di sini. Karena tujuan dari postingan ini adalah menawarkan pertanyaan yang berbeda.
Namun, sebelum kamu lanjut membaca, ada baiknya kita sepakati lebih dulu beberapa hal di awal:
1. Skeptisme dan pemikiran kritis adalah tanggungjawabmu sebagai pembaca.
2. Sebagai penulis, aku hanya di sini membagikan buah pikiranku.
3. Kamu sangat boleh memiliki pemikiran, opini, kepercayaan, dan pemahaman yang berbeda dariku.
Jika ketiga hal di atas sudah disepakati, maka mari kita lanjut.
Mulanya perdebatan tidak produktif ini berasal...
Aku akan jelaskan kenapa aku bilang perdebatan ini tidak produktif di akhir tulisan. Tapi sebelum sampai ke sana, aku perlu bahas beberapa hal lebih dulu.
Di Indonesia khususnya, kita lahir dalam keluarga yang sudah memiliki kepercayaan atau agama. Terlepas dari dijalankan atau tidaknya aturan kepercayaan atau agama tersebut. Setidaknya, kita diperkenalkan tentang konsep "adanya tuhan" dari orang-orang terdekat. Bagi bayi yang baru lahir, tentunya konsep ini datang lewat orang tua, saudara, atau siapa pun orang yang mengambil peran sebagai caretaker.
Sering kali, kita tumbuh besar dan hidup dengan kepercayaan atau agama yang sudah ditanamkan sejak kecil, tanpa memiliki kesempatan untuk bertanya. Ada kalanya juga kita tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan keraguan, atau mempertanyakan hal yang sudah dianggap biasa oleh banyak orang di sekitar kita.
Kejadian yang mengguncang kepercayaan atau keyakinan.
Kalau kamu menonton film "Inside Out 2" setidaknya kamu pernah mendengar konsep core belief atau keyakinan inti yang dimiliki oleh tiap-tiap orang. Orang yang ku maksud, ya termasuk kamu sendiri, orang tua, saudara, teman, dan juga aku---orang yang gak kamu kenal sekali pun.
Keyakinan Inti (Core Belief): kepercayaan mendalam yang mendasar tentang diri kita sendiri, orang lain, dan dunia. Keyakinan ini sering berkembang di awal kehidupan, dipengaruhi oleh pengalaman, keluarga, dan budaya, dan bisa bersifat positif atau negatif. Contoh: "Saya berharga," "Saya tidak dicintai," "Dunia itu berbahaya." Keyakinan ini mendorong perilaku, emosi, dan interpretasi kita terhadap peristiwa, seringkali secara bawah sadar.
Tiap orang memiliki core belief ini, dan identitas diri kita (Ego), juga termasuk kepercayaan diri, tergantung pada core belief. Sesuatu yang sudah biasa, bisa saja terserap dan menajadi bagian yang membentuk core belief.
Ego adalah konsep dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud yang mewakili bagian rasional dan realistis dari kepribadian kita. Ego membantu menyeimbangkan keinginan Id (dorongan instingtif) dan standar moral Super Ego. Ego beroperasi berdasarkan "prinsip realitas," mencoba memenuhi keinginan dengan cara yang dapat diterima secara sosial dan bisa dicapai. Contoh: Jika kamu lapar, Ego mungkin memotivasi kamu untuk menyiapkan makanan atau membeli makanan daripada mengambil makanan orang lain secara impulsif.
Ketika ada kejadian yang mengancam core belief ini, bisa saja seseorang menajadi defensif atau tersinggung. Alternatif lainnya, terjadi hukum ke-3 Newton, "for every action, there is an equal and opposite reaction." Untuk setiap aksi, ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah.
Jadi, menurut pengamatan dangkalku, perdebatan gak produktif tentang ada tidaknya tuhan, bermuara dari sana:
Yang sering kali terjadi adalah ketika seseorang mengalami suatu kejadian (tidak perlu spektakuler dan tangible, bisa juga emotional dan tidak kasat mata) dalam hidupnya yang membuat mereka mempertanyakan kebenaran dari kepercayaan mereka akan adanya tuhan atau tidak, berujung pada dua hal;
1. Mengiyakan bahwa tuhan itu ada, atau
2. Meyakini bahwa tuhan itu tidak ada.
(Tentu saja, kejadian dan hasilnya bisa berbeda-beda dan tergantung dari bagaimana pemahaman masing-masing individu tentang tuhan-nya.)
Bias-bias unik yang membawa perdebatan tidak produktif ini terus bergulir dan berlanjut...
Perdebatan antara teist dan ateis tentang keberadaan tuhan sering kali dipengaruhi oleh berbagai bias yang membuat dialog menjadi kurang produktif.
Berikut adalah beberapa bias utama yang mungkin berperan dalam membuat perdebatan ini terus berlanjut tanpa kesimpulan yang memuaskan bagi kedua pihak:
Bias Konfirmasi (Confirmation Bias)
Bias ini terjadi ketika seseorang hanya mencari, menafsirkan, atau mengingat informasi yang mendukung keyakinannya sendiri, sementara mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan.
Misalnya, seorang teist mungkin hanya akan mencari bukti yang mendukung keberadaan tuhan, seperti pengalaman spiritual atau argumen kosmologis, sementara ateis mungkin akan fokus pada argumen ilmiah atau logika yang mendukung pandangan mereka.
Bias ini membuat kedua pihak sulit terbuka untuk menerima sudut pandang lain.
Bias Polarisasi (Polarization Bias)
Polarisasi mengacu pada kecenderungan kelompok dengan pandangan yang berlawanan menjadi semakin ekstrem dalam keyakinan mereka setelah perdebatan.
Dalam perdebatan tentang tuhan, sering kali terjadi bahwa semakin kuat argumen yang ditawarkan oleh satu pihak, semakin keras juga penolakan dari pihak lain, yang akhirnya hanya memperkuat perbedaan di antara keduanya tanpa ada kompromi.
Bias Afektif (Affective Bias)
Emosi kuat yang terlibat dalam keyakinan tentang tuhan, terutama dalam konteks agama dan budaya, sering kali memicu bias afektif.
Misalnya, seorang teist mungkin merasa terancam atau tersinggung jika keyakinannya dipertanyakan, sementara seorang ateis mungkin merasa frustrasi karena keyakinannya dianggap tidak sah.
Bias afektif ini dapat mempengaruhi objektivitas dan membuat dialog menjadi emosional dan kurang rasional.
Bias Kepercayaan Diri Berlebihan (Overconfidence Bias)
Bias ini terjadi ketika seseorang merasa terlalu yakin pada keyakinan atau argumennya sendiri, sehingga tidak terbuka pada kemungkinan bahwa mereka mungkin salah atau ada sudut pandang lain yang valid.
Baik teist maupun ateis dapat terjebak dalam bias ini, terutama jika mereka merasa bahwa argumen mereka adalah yang paling benar dan meyakinkan. Hal ini menghambat diskusi yang terbuka dan saling menghormati.
Bias Sosial dan Budaya (Cultural and Social Bias)
Latar belakang budaya dan sosial yang kuat di Indonesia, di mana agama dan keyakinan akan tuhan seringkali dianggap sebagai norma, dapat memengaruhi cara pandang individu terhadap isu ini.
Ateisme sering kali dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, sehingga argumen dari pihak ateis mungkin tidak dihargai secara adil, sementara pandangan teistik dianggap sebagai kebenaran umum yang tidak perlu dipertanyakan.
Bias ini membuat dialog cenderung tidak seimbang dan kurang inklusif terhadap perspektif ateistik.
Bias Kognitif dalam Pemrosesan Argumen (Cognitive Bias in Argument Processing)
Kedua pihak sering kali menggunakan teknik retorika dan logika yang membingungkan atau berbelit-belit untuk mendukung argumen mereka, yang membuat diskusi menjadi rumit dan sulit untuk dipahami.
Bias ini dapat berupa penggunaan istilah teknis atau teori yang sulit dimengerti oleh orang awam, yang akhirnya membuat perdebatan menjadi tidak produktif.
Bias Kepentingan Pribadi atau Identitas (Identity Bias)
Di Indonesia, keyakinan tentang tuhan sering kali terkait erat dengan identitas pribadi dan komunitas sosial seseorang. Jika seseorang merasa bahwa keyakinannya adalah bagian penting dari identitasnya, mereka mungkin lebih defensif dan tertutup terhadap perspektif lain.
Misalnya, seorang teist mungkin merasa bahwa mempertanyakan keberadaan tuhan adalah bentuk serangan terhadap identitasnya sebagai orang beriman, dan demikian juga seorang ateis yang menganggap keyakinannya sebagai bagian dari kebebasan berpikir.
Bias Persepsi Ketidakadilan (Perceived Injustice Bias)
Ketika salah satu pihak merasa bahwa perspektif mereka sering disalahpahami atau disalahartikan, mereka mungkin lebih cenderung merespons dengan kemarahan atau kekecewaan, yang dapat membuat perdebatan menjadi defensif dan penuh tuduhan.
Ateisme, misalnya, sering kali disalahpahami atau dicap negatif di Indonesia, sehingga kaum ateis mungkin merasa bahwa mereka diperlakukan tidak adil dalam diskusi ini.
Untuk mencapai dialog yang lebih produktif, diperlukan keterbukaan, empati, dan pemahaman terhadap sudut pandang yang berbeda. Menyadari dan menghindari bias-bias di atas dapat membantu kedua belah pihak mendekati diskusi dengan cara yang lebih konstruktif dan saling menghormati.
Membingkai ulang perdebatan sebagai upaya untuk memahami dan belajar dari satu sama lain, bukan sebagai pertarungan untuk membuktikan siapa yang benar, juga bisa membantu menciptakan lingkungan diskusi yang lebih damai dan terbuka.
Pertanyaan yang sebenarnya lebih layak untuk diajukan (pada diri sendiri)...
Dari sini, seharusnya kamu paham, kenapa aku menyebut perdebatan tentang ada atau tidaknya tuhan, aku rasa kurang produktif di Indonesia.
Bias-bias yang tidak disadari oleh orang-orang yang terlibat dalam mayoritas dialog yang dapat kamu akses di internet, membuat perdebatan ini tidak mengarah kemana pun.
Kamu pun, kalau sedang mempertanyakan keyakinan dan kepercayaanmu, yang ada akan semakin bingung dan tersesat mengikuti percakapan mereka.
Aku ingin menawarkan pertanyaan yang berbeda, mengembalikannya pada si penanya, "apa artinya ada atau tidaknya tuhan bagi kamu pribadi?"
Apa pun jawabannya, kepercayaan atau keyakinanmu, aku harap hal itu membawamu menjadi versi terbaik dirimu yang dapat kamu hidupi di dunia ini.